Aku bangun.
Dari kasur dan dari dunia internalku.
Jam di dinding menunjukkan hampir tengah malam dan aku bahkan tidak tahu lagi kemana waktu berjalan. Yang jelas bantalku basah seperti yang biasa terjadi belakangan ini. Kepalaku berat bukan main dan relung dadaku seperti tertimbun gunungan batu bergerigi. Tanpa perlu melihat kaca, aku sudah tahu rambutku sekusut badai. Seisi kamar berantakan, sama seperti penghuninya. Beginilah penampakanku setelah bersemayam di dalam lubang gelap itu.
Lubang yang menghisapku pada kami yang dulu, pada kami yang mungkin terjadi jika saja tragedi itu tidak ada.
Seperti portal yang menyedotku masuk untuk melupakan realita. Di dalamnya aku bisa berkali-kali membuat Ravaka mengatakan apapun yang ingin kudengar, aku bisa melakukan apapun yang menurutku dapat menyelamatkan kami, dan aku bisa tidak menjadi diriku sendiri. Aku menguliti banyak momen yang sudah berlalu untuk tahu letak salahnya. Dijadikan nomor dua memicu pencarian tentang apa yang kurang dari diriku. Apa yang memantik tragedi itu? Bagaimana aku bisa memadamkannya? Berusaha mengoreksi yang kurang itu dalam batin, hingga sakitnya sementara terlupakan dan aku memiliki alasan untuk bertahan. Sayangnya realita tidak sedikitpun berubah. Aku bangun setiap hari dan masih selalu patah.
Aku tetap jauh dari Ravaka.
Ravaka tetap mengkhianatiku.
Kami tetap hancur.
Sebanyak apapun aku tenggelam dalam ruminasi masa lalu dan khayalan masa depan, tidak ada perbedaan yang bisa kuciptakan. Aku harus mengingatkan otakku bahwa semua memang terjadi, dan menghentikannya menciptakan skenario yang tidak nyata. Menjauh dari realita mungkin menjadi cara otakku untuk melindungiku dari sakit yang luar biasa. Namun itu tidak membawaku kemana-mana selain pada patah yang semakin dalam. Aku harus sadar dengan semua yang terjadi, karenanya aku memberanikan diri untuk melihat lagi jejak sakit yang terkubur dalam ponsel.
October 10, 2023
Ravaka:
Ras, aku mau ngomong sesuatu (05.10)
Iya bolehhh (05.28)
Ravaka:
Sebelumnya kan aku bilang kalo di sini aku udah mulai kewalahan. Beberapa waktu yang lalu itu memuncak banget. Aku udah gak tau harus gimana lagi. Udah gak tau mana yang bener dan yang salah. Terus kemarin itu karena ada waktu luang, ada momen buat aku ngobrol sama temen cewek yang sempet tampil silat bareng di Cultural Fest. Sampe akhirnya, aku ajak dia ke kamar. Saat itu keadaannya gelap. Terus kita terbawa suasana dan semua terjadi begitu aja. Aku gak sadar apa aja yang udah kita lakuin. Semuanya begitu cepet. Arrgh, nginget kejadian itu lagi aja bikin aku sesek (05.36)
Aku tau ini udah enggak bisa dimaafin. Tapi maaf ya Ras aku ngelakuin itu (05.37)
Maaf itu terjadi (05.37)
Aku awalnya nggak kuat buat ngasih tau kamu, tapi aku pendem juga malah gak enak. Jadi aku ngasih tau kamu hari ini. Aku kira aku bakal ngerasa better setelah kejadian itu, tapi ternyata malah lebih buruk. Tambah kacau, sekarang aku ngerasa bersalah banget sampe gak bisa ngapa-ngapain (05.38)
ARRGH MAAF YA RAS KAMU PUNYA PACAR SESAMPAH AKU (05.39)
Dan maaf juga kalo jadi ngerusak mood pagi kamu (05.40)
Aku gak nyangka ternyata kamu bener-bener ngelakuin itu. (05.58)
Ravaka:
Rashma, maaf karena semua ini terjadi (06.00)
Sekarang semua keputusan ada di kamu (06.01)
Aku perlu waktu buat memproses semua ini. (06.03)
Ravaka:
Of course, take your time (06.10)
Ravaka, aku bisa kasih kamu kesempatan kedua. (21.00)
Tapi aku nggak mau ini hanya jadi keputusan aku. Ini harus jadi keputusan kita. (21.01)
Kita bisa coba lagi, hanya kalo kamu mau berusaha buat gak ngelakuin hal semacam ini lagi dan jadi pasangan yang lebih baik lagi ke depannya. (21.02)
Aku mengasihani versi diriku yang mengetik pesan-pesan itu. Dia tidak sadar betapa kacau-balaunya tindakan Ravaka. Dia menolak untuk sadar.
Ravaka bukan hanya mencari dukungan dari perempuan lain lewat pelukan, Ravaka membiarkan dirinya tergelincir lebih dalam, lebih salah, lebih terlarang.
Seakan membaca ulang semua percakapan itu belum cukup mematahkan, aku lanjut membuka aplikasi catatan. Aplikasi itu tahu lebih banyak tentang sakitku dibandingkan Ravaka. Malam-malam kuhabiskan untuk tenggelam, jika bukan di dalam kepala, maka di dalam kata-kata yang kupenjarakan dari dunia luar. Catatan di ponsel ini adalah tempat aman pertama untuk menghimpun luka-lukaku yang masih basah.
Aku terus membayangkanmu bersamanya, melakukan interaksi paling intim, saat aku menggeluti hidup di belahan bumi yang lain.