Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #32

31 - Kapan Pulihnya?

Suatu saat di masa depan, aku ingin memiliki ruangan bernuansa tenang semacam ini. Ruangan berdinding putih yang bersih, dengan tamanan berdaun mungil menghiasi pojok ruangan dan perabotan minimalis yang tertata rapi. Aku juga ingin menyediakan kursi yang empuk agar siapapun yang duduk di atasnya bisa bercerita dengan nyaman. Suatu waktu di masa depan, aku ingin mendengarkan keluh kesah orang-orang dan membantu mereka menemukan cahaya.

Untuk sekarang, aku ada di posisi yang sebaliknya.

“Saya sadar tindakan dia sudah sangat salah, tapi saya juga merasa meninggalkan dia akan jauh lebih menyakitkan,” kataku, duduk menyerong menghadap seorang wanita berjas krem yang mungkin berusia tiga puluhan ke atas.

“Kamu takut tidak sanggup mengatasi sakit yang akan muncul kalau kamu melepaskan dia,” katanya menyimpulkan apa yang kumaksud.

Sudah lebih dari setengah jam Bu Nami—seorang psikolog klinis—mendengarkanku mengoceh panjang lebar tentang apa yang dilakukan Ravaka. Tidak bisa dipungkiri aku merasa agak malu berada di sini sebagai klien. Namun suara Bu Nami yang tenang seolah memberi isyarat bahwa lemah, bingung, dan sakit bisa dirasakan siapapun—bahkan oleh orang-orang yang dilatih untuk menjadi penolong—dan mencari bantuan profesional selalu menjadi opsi yang benar.

“Iya, karena itu artinya saya juga harus melepaskan semua kenangan, harapan, dan usaha yang kami kerahkan untuk hubungan ini. Semua itu berarti besar buat saya.”

Bu Nami mengangguk-angguk, menulis sesuatu pada catatannya, lalu kembali menatapku dengan senyum yang lembut. “Rasanya sulit ya untuk melepaskan hal-hal indah yang pernah kalian miliki dan menerima kenyataan bahwa saat ini hubungan kalian sudah tidak sehat untuk dipertahankan.”

“Iya, begitu. Sepertinya beberapa waktu ke belakang saya memang sangat sulit menerima keadaan kami yang jadi berantakan ini dan saya lebih memilih untuk mengabaikan luka yang muncul, seolah kami baik-baik saja dan akan kembali seperti dulu.” Aku menjeda sejenak kalimat untuk mengumpulkan kata dan keberanian. “Saya bahkan merasa kalau saya menyudahi hubungan ini, maka saya tidak bisa menemukan orang yang lebih baik dari dia.”

Sudah. Sudah kukatakan bulat-bulat jelaga yang menumpuk di tenggorokan, yang membuatku bungkam pada sakit yang mengoyak-oyak akal sehat.

“Apa yang membuat kamu merasa tidak ada orang yang lebih baik selain dia?” Bu Nami memberi pertanyaan itu tanpa terdengar mengintimidasi. Suaranya tetap stabil, tatapnya terjaga teduh padaku.

“Mungkin karena … saya pernah begitu yakin dia orang yang tepat untuk saya. Dulu rasanya dia juga sangat yakin tentang saya dan hubungan kami, dulu kisah kami rasanya sangat indah. Lalu …” Kedua tanganku yang bertaut saling meremas. “Lalu perselingkuhan itu terjadi. Sekarang saya jadi takut, kalau orang yang pernah sesuai harapan saya saja bisa bertindak seperti itu, apa akan ada yang lebih baik lagi?”

“Pada awal hubungan, dia begitu sempurna di mata kamu. Perselingkuhan itu pun mematahkan pandangan baik yang kamu bangun tentang dia. Banyak yang runtuh di dalam diri kamu ya?”

Aku melirik kedua kaki kemudian mengangguk. Bu Nami mengartikulasikan dengan tepat perasaanku, hingga mau tidak mau fokusku kembali pada sakit yang membelenggu di dalam dada. Sekarang aku merasa seperti ada di antara reruntuhan bangunan yang dibangun bata perbata bersama Ravaka, pernah berdiri dengan megah, sebelum dia menghancurkannya semena-mena dan menyisakan bangkainya yang berserakan untuk aku ratapi.

“Sekarang, kenyataannya dia menyakiti kamu dengan melakukan perselingkuhan itu. Apa kamu masih merasa dia orang yang terbaik untuk kamu, Rashma?”

Aku menengadah untuk melihat Bu Nami kembali. “Saya sadar apa yang dilakukan Ravaka membuktikan bahwa dia tidak baik untuk saya, tapi—” Aku mengambil napas. “—saya masih terganggu dengan pikiran bahwa tidak akan ada orang yang mau menetap untuk mencintai saya bahkan jika saya memberikan orang itu segalanya. Bahkan jika saya memaafkan kesalahannya, bahkan jika saya memberinya kesempatan berkali-kali, bahkan jika saya menahan sakit demi melindunginya … saya akhirnya tetap berhenti diperjuangkan.”

Lihat selengkapnya