Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #33

32 - Pulang

Laporan magang dikumpulkan dan masa-masa di Balsi pun berakhir. Aku, Malva, dan Slafi berpamitan dengan para pegawai dan para kucing yang menemani waktu empat bulan kami di sini. Alsi sudah kembali baik padaku, ternyata dia bukan pendendam. Dan oh, dia sekarang adalah busui untuk lima anaknya yang menggemaskan. Bal lebih sering datang, sepertinya dia mau belajar menjadi ayah yang bertanggung jawab. Kita doakan saja.

“Dadah Alsi! Dadah anak-anak Alsi! Muach muach muach!” Malva banyak mengirimkan kiss bye manja untuk Alsi dan anak-anaknya yang sedang berjibaku di dalam kardus. 

Slafi memotret mereka. “Ah elah, gua pasti bakal kangen sama mereka,” katanya dengan bibir yang manyun.

“Sama,” sahutku, sembari memotret juga. Bukan hanya tentang Alsi dan keluarganya, aku akan rindu semua momen yang tercipta di sini. Dari sapaan Pak Zion sampai obrolan seru ibu-ibu pembimbing. Dari apel pagi sampai jam istirahat di depan minimarket. “Baik-baik ya semua keluarga Alsi, semoga kita bisa ketemu lagi.”

Kami melakukan sesi foto bersama dengan para pegawai, bersalam-salaman, saling mendoakan, lalu meninggalkan Balsi. Selanjutnya Aku dan Slafi membereskan barang-barang sebelum pulang dari Kos Cendana untuk kembali ke kos awal kami yang dekat kampus. Malva hadir juga untuk menemani.

“Jadi kamu fix mau udahan kan Ras sama si bahlul itu?” tanya Malva di meja balkon, dia tengah memasukkan beads ke dalam karet bening.

“Iya,” jawabku, sambil menutup koper.

Slafi yang mendengar kami, keluar dari kamarnya dengan beberapa tas jinjing. “Udah kamu putusin dia, Ras?”

“Belum.”

“Mau kapan?” tanya Slafi lagi.

“Pas dia udah pulang ke sini.”

Malva beralih dari aktivitas membuat gelang manik-manik untuk menunjukkan ekspresi kagetnya padaku. “Wah, masih lama dong? Nunggu dua bulanan lagi?”

Aku duduk di kursi seberang Malva dan mengiyakan perkataannya. “Kita mulai hubungan ini secara langsung, jadi aku mau akhiri secara langsung juga. Aku mau tau apa yang dia siapin, sampe dia nyuruh-nyuruh aku buat nunggu. Selain itu, aku juga bisa gunain waktu dua bulan tanpa dia buat fokus ke diri aku sendiri.”

Belakangan ini, aku banyak membayangkan Ravaka dengan wajah bersalahnya. Aku pikir aku berhak melihat versi nyata dari dirinya yang seperti itu.

“Berarti kamu masih jadi pacar dia sampe dua bulan ke depan?” Slafi menutup pintu kamarnya.

“Iya, secara teknis. Tapi kita udah enggak ada komunikasi sebagaimana pasangan seharusnya. Jadi secara kualitas hubungan, kita udah enggak memenuhi kriteria pasangan.”

Dan semakin lama, kami akan semakin jauh dari kriteria itu. Aku akan menggunakan dua bulan ke depan untuk berlatih menjalani hidup tanpa mengetahui keadaannya, sebagaimana dia yang tidak mau tahu bagaimana keadaanku di sini.

Semua barang sudah terkemas, kamar sudah kembali kosong dan bersih. Saatnya berpisah. Bagiku, berpisah dari tempat bisa sama sulitnya dengan berpisah dari orang. Tempat-tempat dan benda-benda bisa menjadi penyimpan memori yang baik. Aku tahu sisi sentimentalku yang sedang dominan sekarang. Tetapi itulah aku, menyukai kenangan, nostalgia, dan masa lalu yang manis. Terkadang bisa terlalu suka. Tidak apa, aku bisa bernegosiasi dengan diriku untuk perlahan melepaskan.

Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada kamar yang menjadi saksi lamunanku di malam hari, selamat tinggal pada balkon serbaguna yang mengetahui tawa kami bertiga dan tangisku yang tak bersuara, selamat tinggal nyanyian anak sekolah yang meramaikan pagi kami sebelum berangkat magang, selamat tinggal bahkan pada kompor yang sulit dinyalakan, dan selamat tinggal Kos Cendana. Aku akan mengingat kalian.

Kami berpamitan dengan Mbak Ami. Aku juga akan mengingatnya, karena sebagai penjaga kos, Mbak Ami selalu sigap membantu kebutuhan kami sembari dengan ceriwis membagikan curhatan-curhatannya.

“Mbak, makasih ya udah selalu bantu kita di sini,” kataku.

Slafi menimpali, “Iya, maaf ya Mbak kalo kita ada salah-salah.”

Lihat selengkapnya