Selama dua bulan, aku berusaha menjalin hubungan yang baik dengan diriku sendiri dan menyiapkan diri untuk hari ini.
Aku sudah memiliki poin-poin apa saja yang akan kulontarkan. Totebag berisi barang-barang buangan darinya sudah dipisahkan. Sudah kuselipkan catatan kecil untuk dia baca nanti. Aku telah memakai tweed blazer hitam dan celana jeans, tampak tak tergoyahkan. Namun Aku tidak bisa menyangkal, ada banyak degup yang terpicu. Bukan jenis degup yang menyenangkan, ini degup karena sesuatu yang besar akan berakhir pada 20 Februari 2024. Hari penghabisan Ravaka di hidupku.
Aku menentukan pertemuan terakhir ini di Melanger Les Space, kafe yang pernah kami kunjungi untuk berpotret di photobox dan mengobrol sampai larut malam. Aku memilih spot duduk yang persis seperti dulu, meja dekat jendela dengan dinding berhias foto hitam putih. Sebuah ironi berada di tempat yang sama dalam situasi yang jauh berbeda. Aku pikir ini hal yang bagus untuk mengingatkan Ravaka betapa kami telah berbeda karena kesalahannya, dan mengingatkanku juga bahwa dia bukan lagi lelaki baik yang saat itu aku lihat.
Dia datang terlambat, tentu saja. Bukan Ravaka namanya kalau tepat waktu. Menyebalkan sekali, bahkan di saat-saat terakhir saja dia masih membuatku menunggu. Kakiku otomatis terhentak-hentak pada lantai marmer. Aku mengecek wajah pada cermin kecil dan melihat merah keunguan pada bibirku agak pudar karena beberapa kali menyentuh gelas, jadi aku menambahkannya agar lebih gelap.
Beberapa menit berjalan, sampai akhirnya aku mendapati penampakan cowok kurus itu di depan pintu masuk. Tetapi bukannya langsung masuk, dia malah berdiri di sana sembari membuka ponsel. Kedua kalinya menyebalkan, tapi kumanfaatkan itu sebagai peluang untuk bersiap-siap. Menegakkan duduk, memajang wajah tanpa ekspresi, dan mengingat sekilas perkataan yang sudah dihafalkan.
Dia memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu bergerak mendekat. Dan aku bersumpah, atmosfer seketika berubah menjadi mencekam. Aku dilingkupi perpaduan ingin lari dan ingin berteriak di saat yang bersamaan. Kedatangannya membawa energi negatif yang memilin perutku, membawa lagi remuk itu.
Ravaka sampai di meja, lalu tanpa berpikir panjang menyodorkan tangan. Aku menatap tangannya mengambang di udara dan tetap diam.
“Salaman?” ajaknya, sesantai bicara pada kawan lama.
Bagaimana bisa dia berpikir aku masih mau bersalaman dengan tangan kotornya itu? Tangan yang telah berkelana di tubuh wanita lain. Bahkan jika aku masih ingat gerakan salam kami, tidak sudi kulakukan itu lagi. Tidak akan kubiarkan bahkan setitik debu kulitku mengenainya lagi.
Tanpa sepatah kata pun aku menggeleng dengan wajah yang datar. Ravaka mengerjap, seperti menelan jelaga. Kemudian tangannya turun dengan hampa. Sungguh, melihat dia kikuk seperti itu pada interaksi awal kami setelah lama berjauhan, memunculkan kepuasan tersendiri. Aku puas telah menolaknya. Dia layak untuk ditolak.
Ravaka yang berkaus abu-abu duduk menghadapku. Hal pertama yang kusadari setelah terpisah sekian purnama adalah dia terlihat … usang. Wajahnya bertaburan bintik-bintik. Rambut dipotong lebih pendek tapi justru memberi kesan lepek. Dia lebih kurus dari yang kuingat. Wajahnya redup, tidak lagi bersinar. Apakah dia menjadi tidak menarik seperti ini karena telah berselingkuh, atau dia memang selalu begitu dan akulah yang dulu menciptakan ilusi bahwa dia rupawan? Mungkin keduanya.
Melihat ke arah gelas Monberry milikku, dia bertanya, “Udah pesen?”
“Udah.”
“Oke,” katanya, lalu bangkit menuju meja pemesanan.
Saat dia pergi, aku bisa bernapas lebih lega. Kehadirannya sangat tidak disambut baik oleh badanku. Dekat dengannya sekarang terasa seperti di bawah ancaman. Kuyakinkan diri bahwa perasaan yang mengganggu ini tidak akan berlangsung lama. Hanya beberapa menit, lalu setelah itu aku akan bebas.
Tak lama kemudian, dia kembali, membawa energi yang membuat perutku bergejolak lagi. Tak ingin mengulur-ulur waktu, langsung saja kulontarkan, “Sampein apa yang udah kamu siapin.” Sebab seharusnya dia tahu mau bicara apa. Kami sudah bertatap muka sekarang, sudah tidak ada lagi alasan untuk bungkam seperti yang dulu dia lakukan.
Lucunya, dia kemudian malah menjawab, “Sampe di mana sih sebelumnya?”
Sampai di mana katanya? Sampai dimana dia menghancurkan hatiku dan membuat duniaku gelap maksudnya? Mata Ravaka tampak bingung dan langsung saja aku tahu bahwa ternyata dia tidak menyiapkan apa-apa. Dia yang memintaku menunggu penjelasannya ketika sudah kembali ke sini. Ternyata, itu hanya omong kosong.
Geram ikut keluar ketika aku berkata, “Omongin aja apa yang ada di pikiran kamu sekarang.”
Lalu, dengan gaya seolah sedang talkshow, Ravaka bicara panjang lebar tentang masalah-masalah apa saja yang dia alami selama ISEP. Tekanan akademik, ketidakharmonisan dengan teman, kehilangan kunci kamarnya yang menyebabkan denda, isu keluarga. Banyak dan tidak penting. Karena tidak sedikitpun terselip kata “maaf” di antaranya. Hanya pembenaran dan pembenaran. Hal pertama yang terpikir olehnya adalah memberikan alasan dari tindakan durjananya itu, bukannya meminta maaf secara langsung padaku.
“Aku cuma dapet satu kesimpulan dari semua omongan kamu tadi,” kataku, setelah dia selesai mengoceh. “Kamu nyalahin hal-hal di luar diri kamu atas perselingkuhan itu.”
“Ya … semua masalah yang dateng bersamaan itu akhirnya mendorong aku buat ambil jalan yang salah.” Ravaka berkata seolah itu bukan pengakuan paling payah yang pernah kudengar.
“Dari semua opsi yang ada, kamu tetep pilih jalan yang salah itu. Yang kamu tau bakal berdampak buruk buat hubungan kita, pilihan yang kamu tahu bakal nyakitin aku.”
“Saat itu aku udah kacau banget dan semua pilihan bisa kerasa bener di waktu tertentu,” katanya, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa baginya berhubungan intim dengan teman sesama penerima beasiswa di luar negeri itu benar untuk dilakukan, ketika dia tidak mampu mencari solusi lain yang lebih baik.
Betapa polosnya aku yang dulu berpikir bisa menghadapi dia yang memiliki gaya kelekatan tidak aman, kontrol diri rendah, dan koping stres maladaptif. Sekarang aku lebih bisa melihat kalau dia memang tidak mau menghadapi bagian dirinya yang rusak itu. Dia menjauhkan dirinya sendiri dari jalan yang benar.
Di saat aku masih memproses ucapan anehnya, tiba-tiba dia melanjutkan. “Aku pernah cerita kan tentang mantan aku sebelumnya? Kayaknya aku masih belum sepenuhnya move on dari hubungan sama mantan aku yang itu. Terus ada dorongan buat ngebuktiin kalo aku udah move on dengan ngejalin hubungan yang baru. Sama kamu. Tapi sebenernya aku belum siap.”
Pengakuannya seperti petir di siang bolong. Tidak pernah kusangka dia menjadikanku pelarian dari masa lalunya yang belum selesai. Aku sampai terpaku dan semua rencana yang sudah kusiapkan di dalam kepala rasanya rontok dalam sekejap.
Dia menjadikanku sebagai pelarian?!
Aku mengepalkan tangan di atas meja. “Kalo belum siap, kenapa kamu malah ngajak aku masuk ke hubungan ini?” tanyaku, panas dan melotot.
“Dulu aku enggak sadar itu. Kayaknya karena dulu aku lagi ngerasa ada di puncak dunia. Lagi bangga sama diri sendiri, terutama karena ISEP. Itu nge-boost rasa kepercayaan diri kalo aku bisa masuk ke hubungan yang baru. Jadi pas KKN itu aku agak nekat sih buat ngajak kamu pacaran. Padahal sebenernya belum siap.”
Aku sangat ingin menggeprak meja, membaliknya, lalu menindihkannya pada Ravaka. Tetapi kutahan itu sebab ini masih awal dari percakapan yang buruk, dan sebab penjelasannya tadi membuat lidahku kelu. Aku menarik napas untuk menghadapi fakta demi fakta yang menunjukkan betapa busuknya cowok di depanku ini.