Kemarin malam aku menangis sampai tertidur. Saat bangun aku langsung dikejutkan oleh dorongan untuk kembali menangis. Jadi seharian ini, hanya itu saja yang kulakukan. Aku sudah merasakan menangis dalam berbagai posisi: memeluk lutut di pojok kamar, tiduran menyamping, tiduran telentang, berdiri, di bawah selimut, dan sembari membenamkan kepala di bantal. Tidak ada yang lebih baik, semua sakit.
Aku dihantui lagi oleh berbagai versi diriku yang dulu bahagia bersamanya, yang sekarang sudah tidak ada. Versi diriku yang menebar tawa karena senda gurau yang kami buat di tengah hiruk-pikuk hidup, diriku yang terkoneksi dengannya dalam percakapan kami yang mengalir seru, diriku yang merasa aman dalam genggamannya. Versi-versi diriku yang itu telah lenyap, dan mereka semua tidak tahu bahwa lelaki yang bersama mereka akan berubah menjadi penjahat.
Playlist patah hatiku terputar sepanjang waktu. Aku tidak mandi, tidak pergi ke luar kamar, juga tidak makan. Satu-satunya tugas yang kulakukan hari ini hanyalah berduka.
Aku berduka untuk diriku yang ikut mati bersama hubungan yang dulu kukira akan hidup panjang. Aku berduka untuk diriku yang berusaha keras menjadi pasangan terbaik baginya. Aku berduka untuk setiap pengorbanan dan pengertian yang berakhir sia-sia. Aku berduka untuk diriku yang tidak pergi ketika dicurangi. Dia hanyalah segelintir lembar, bukan seluruh cerita hidupku, tapi kata siapa aku tidak kehilangan banyak hal dari hubungan itu? Meninggalkannya seperti membunuh bagian diriku sendiri.
Memang begini adanya. Patah hati adalah penyalahan diri yang terus-menerus, duka yang dalam, dan pengungkitan masa lalu yang berulang-ulang. Patah hati adalah segala yang membunuh dari dalam.
Pantas saja menafikan kenyataan lebih mudah untuk dilakukan. Mengakui keburukan orang yang pernah kamu pilih rasanya seperti menusuk diri sendiri, dan dikejutkan dengan betapa buruknya orang yang kamu pilih rasanya seperti mendorong diri sendiri ke dalam jurang.
Ravaka sudah sangat nyata menjadi versi terburuk dirinya. Tidak ada lagi narasi yang bisa menyangkal hal itu. Barangkali dirinya yang baik memang sudah terkikis habis dan barangkali juga dirinya yang baik adalah ilusi yang kukatakan pada diriku sendiri.
Dan aku ingin rasa bersalah tertanam semakin besar di pundak Ravaka, membuat langkahnya berat kemanapun tujuannya. Aku harap dia tidak pernah tersenyum tanpa mengingat senyumnya ketika bersamaku, tercekik setiap namaku melintasi telinganya. Saat dia berbaring di atas kasur, menutup mata, yang bisa dia lihat adalah kilapan aksi kejinya bersama wanita itu, menggelegar, seketika sukmanya tersiksa seperti di neraka. Aku ingin hantuku selalu ada di mimpinya. Dia pantas bangun di pagi hari dengan tamparan keras di batin lantaran telah membuang kasih yang hampir dia miliki selamanya. Tidak ada maaf untuk seseorang yang sengaja menyakitiku, yang membuatku mempertanyakan apa yang kurang dari cintaku. Memaafkan diriku yang pernah memilihnya jauh lebih penting ketimbang memaafkan dirinya. Maka, aku harap dia hidup, dan terus hidup, dengan jiwa yang selalu tersengat kesadaran bahwa aku adalah hal terbaik yang tidak akan pernah dia dapatkan kembali.
Di saat yang sama, aku semakin yakin kalau jauh di lubuk hatinya, Ravaka selalu tahu dia tidak pantas untukku. Hingga dia melewatkan begitu saja setiap kesempatan untuk tidak kehilanganku, tidak mengerahkan jiwa raganya untuk menyelamatkan hubungan kami dari kehancuran. Mungkin dia selalu tahu dengan pasti kalau suatu hari dia akan menyakitiku dan memporak-porandakan apa yang sudah kami bangun. Selama ini yang dia lakukan barangkali hanyalah bermain peran, berlagak seolah dia mampu menjaga hatiku, saat yang benar adalah sebaliknya. Lalu ketika godaan itu hadir, dia tidak lari sekencang mungkin. Dia menerimanya datang dan merangkul ketidakberdayaan. Ravaka menghempaskan diri pada jurang tergelap dan memutuskan untuk tidak keluar lagi dari dalam sana.
Tetapi, aktivitasnya di media sosial mengatakan dia bahkan sudah melanjutkan hidup. Beberapa jam setelah pertemuan kami. Meskipun aku tidak melihat secara penuh story-nya, preview dari Instagram membuatku tahu Ravaka kemarin mengunggah gambar tangannya yang sedang menggenggam kamera. Setelah aku mengumumkan berakhirnya hubungan kami, dia menunjukkan pada dunia kamera sialan yang dulu dia beli bersamaku. Dihiasi emoji api, berusaha menekankan dia sangat berambisi kembali pada rutinitas fotografi. Seolah tidak terjadi apa-apa di hidupnya, bersandiwara menjadi mahasiswa hebat kebanggaan semua orang yang baru pulang dari luar negeri, seolah dia tidak menghancurkan dirinya sendiri dengan tindakan asusila yang melanggar norma. Dia menciptakan tirai untuk menutupi citranya yang telah tercoreng besar. Ravaka sangat peduli dengan nama baiknya, hingga hancurnya tidak diakui dan hancurku tidak menggubrisnya sedikitpun.
Apa yang aku harapkan? Ravaka mengakui dirinya adalah lelaki jahat yang dimaksud di story-ku? Tidak mungkin, dia memang sesampah itu.
Dia tidak hanya mengkhianatiku, tapi juga mengkhianati semua orang yang menyimpan harapan besar untuknya. Keluarganya yang selalu mendukungnya, teman-temannya yang melihat dia sebagai sosok yang menyenangkan dan keren, orang-orang yang menganggapnya gemilang. Mereka semua tidak tahu yang sebenarnya, dan aku sangat marah karena mereka semua sama sekali tidak tahu. Aku ingin berteriak di depan muka mereka dan membuka kebusukannya.
Ravaka Margadipta, dia masuk dalam kelompok manusia terkeji di muka bumi!
Dia yang membuat kerusakan, tapi lihat siapa yang menghabiskan banyak waktu menyalahkan diri sendiri? Siapa yang harus berusaha keras memaafkan diri sendiri? Siapa yang terpecah belah? Dia kembali pada kesibukan hidupnya sedangkan aku kembali menjadi kepompong yang terpintal sakit, hanya mampu menatap retakan pada langit-langit kamar, dan berduka untuk semua bagian diriku yang hilang.
Dia yang jahat, tapi aku yang membayar semua akibat kerusakannya. Aku harus melawan hantu-hantu dari kisah lawas kami, ketika dia menikmati berkelana di berbagai penjuru daerah untuk membuat gambar permukaan bumi. Dia akan mudah melupakanku dan menemukan orang baru, saat aku mati-matian menghapus bayangan dia bersama wanita itu dan tertatih berusaha mempercayai cinta lagi. Aku yang harus membangun diriku kembali setelah keruntuhan ini. Pada akhirnya, akulah pihak yang seterusnya membawa luka, tidak akan sembuh hanya dalam semalam.
Selama dua bulan menguatkan diri, aku pikir aku sudah tidak akan patah lagi. Ternyata titik paling patah yang kualami justru datang setelah hubungan itu benar-benar berakhir. Meskipun begitu, aku yakin bahwa untuk bisa melangkah, kesakitan ini memang harus dirasakan sebagaimana adanya. Tidak kutolak, tidak kuanggap tidak ada.
Setidaknya ada satu suara yang berkata: sesakit apapapun saat ini, aku berada di jalur yang benar. Jalur yang kemungkinan besar tidak dia ambil. Aku bisa tidak menjadi seperti dirinya, dengan tidak lari dari semua sakit ini.
Biarkan hari ini menjadi hari berduka nasional untukku.
***
Esok hari, aku cukup merasa lebih baik. Memang belum sepenuhnya hidup, tapi sudah ada peningkatan. Aku menilai itu dari kembalinya aku pada aktivitas-aktivitas manusiawi yang sebelumnya terbengkalai. Makanan tidak sehambar sebelumnya di mulutku. Mandi sudah bisa kulakukan. Remang-remang masih bisa kudengar bualan lelaki itu bergema di kepalaku, namun tidak senyaring kemarin. Frekuensi menangisku juga berkurang. Gelombang besarnya sudah kulalui kemarin, dan sekarang tinggal genangan-genangan sakit yang menjadi residu.
Hari ini Malva dan Slafi mengunjungi kosku sebelum kami pergi makan siang bersama di luar. Katanya mereka mau ikut beristirahat sebentar. Suara notifikasi pesan dari grup “Balsi Ulala” muncul ketika aku baru saja selesai berdandan.
Malva: Ras, kita udah di bawah (10.48)