Dua bulan setelah hubungan Rashma dan Ravaka gugur. Dua bulan untuk semakin terbiasa hidup tanpanya. Tidak mendengar apapun lagi tentangnya dan tidak mencoba untuk mencari tahu. Meski sadar kami masih berkuliah di kampus yang sama dan dia tinggal tidak jauh dariku, aku mulai terbiasa menganggap kami hidup di planet yang berbeda.
Tidak berarti aku sudah tidak was-was ketika melewati tempat-tempat yang mungkin dia lewati juga. Di sekitar gang menuju kosannya, area Fakultas Sosial, dan jalan besar yang bebas dilewati siapa saja. Selalu ada kemungkinan aku berpapasan dengan Ravaka, dan sejujurnya aku seperti menunggu-nunggu itu terjadi. Hanya agar aku dapat melatih diri untuk menghiraukannya dan agar aku tahu sudah seberapa kuatkah aku untuk bisa menghadapinya tanpa gentar.
Setelah bertemu beberapa orang yang mirip dengannya, aku jadi sadar, aku masih tidak bisa merasa biasa saja. Jantungku seperti jatuh setiap kali mendapati seseorang bermata sipit dan berkulit terang yang menggunakan motor besar, atau seseorang dengan rambut mengembang dan berkacamata yang ternyata bukan dia. Aku masih melihatnya di orang-orang.
Lalu, suatu hati aku benar-benar melihatnya di tengah jalanan yang padat. Ravaka dengan helm full face, di atas motor besar yang pernah kuisi jok belakangnya. Dia tidak melihatku balik karena aku berada di dalam mobil bersama Mbak Elana dan Mas Lais. Kami bergerak berlawanan. Meskipun hanya sekilas, aku langsung merasa tercekik begitu sadar itu dia. Pengap kembali menjerat dengan cepat, perutku mendadak terperas, dan panas pada mataku tidak tertahankan.
Guncangannya seolah aku akan menghadapi penjahat. Dan sepertinya lebih baik begitu. Aku tidak ingin meminimalisir kejahatannya padaku. Dia jahat, dan tubuhku akan selalu ingat itu. Eksposur tentangnya membangkitkan lagi sensasi yang tidak enak, namun aku tahu itu sebenarnya tanda bahwa tubuhku sedang melindungiku. Tubuhku merekam sakit yang dia beri, agar aku lebih mawas diri, itu adalah sinyal untuk menjauhkan diriku dari dia dan orang-orang semacamnya.
Dan terkadang, aku masih merindukan dia dalam momen-momen kecil. Dalam kesunyian angin yang menerbangkan rambut di atas motor, dalam lagu-lagu cinta yang pernah menjadi soundtrack kisah kami. Aku rindu bukan dia yang sekejam sekarang, tapi dia yang dulu. Aku benci dia yang sekarang, tapi aku tidak bisa lupa dengan sinar yang pernah kulihat darinya. Hari-hari bahagia itu sewaktu-waktu masih memburuku. Yang mana menjadi alasan mengapa kucing, peta, croissant, dan puluhan hal lain tentangnya terasa agak mencubit ulu hati saat kutemui di kehidupan sehari-hari.
***
Hari datang dan pergi dengan beragam untuk mereka yang patah hati. Terkadang ada hari bertema “mengutuk pada pemberi luka”, ada juga hari bertema “meratapi apa yang sudah hilang”, lalu keesokannya bisa datang hari tenang di mana aku bersyukur sepenuhnya atas realitas yang kupilih tanpa Ravaka. Aku bisa tersenyum lalu menangis kemudian tersenyum lagi. Ternyata patah tidak pernah bisa didefinisikan oleh satu rasa.
Khusus hari ini, temanya adalah “kembali ke tempat di mana semuanya bermula”.
Setelah sekian lama, aku memberanikan diri menerima ajakan teman-teman KKN untuk kembali mengunjungi rumah Bu Ona. Agendanya temu kangen dan makan bersama. Seperti dulu lagi, aku dan teman-teman KKN beriringan menuju Desa Cijaya. Hanya bersembilan. Zia tidak bisa hadir dan satu orang lagi tidak berani hadir. Akan kuceritakan pada yang lain mengapa yang satu itu tidak ada.
Sama seperti hari pertama KKN, aku semotor dengan Tiara. Desir angin dingin yang menemani selama perjalanan masih sama seperti yang kulitku ingat. Setiap lekuk dan naik turun jalan masih seperti yang terpatri di dalam memoriku. Jalur ini tidak banyak berubah, namun aku yang melewatinya sekarang berbeda dengan aku yang melewatinya beberapa bulan yang lalu. Tidak sedang jatuh cinta kali ini.
“Posisi bonding lagi yuk!” ajakku, tak lama setelah kami sampai di rumah Bu Ona. Semuanya sigap menyetujui.
Lingkaran terbentuk lagi di ruang tengah. Kami bercengkerama, membahas kabar satu sama lain, membuka apa yang terjadi pada hari-hari yang hanya dilalui sendiri. Aku memperhatikan lagi wajah-wajah mereka yang sudah lama tidak kulihat secara langsung, dan rindu menggema dengan besarnya. Aku sangat rindu suasana ini dan kami yang seperti ini.
Ketika tiba giliranku untuk bercerita, semua tampak bersiap dan serius. Sepertinya mereka sudah tahu arah pembicaraanku, mereka pasti telah melihat postinganku di media sosial tentang perpisahan dengan Ravaka. Namun itu belum semuanya. Kubeberkan lebih jelas tentang perjalanan hubungan kami, hal keji apa yang Ravaka perbuat, dan sehancur apa duniaku karenanya.
Semua. Kubiarkan mereka tahu apa adanya.
Saras terhenyak dengan mulut yang menganga. “Speechless banget …”
“Aku gemeter dengernya, Ibu Peri …” Caila di sampingku dengan mata yang berkaca-kaca. “Kok tega banget sih dia?”
“Sakit pisan ih, Rashma malah disia-siain …” lirih Risya di akhir ceritaku. Ekspresi pilu mewarnai mukanya.
“Anjir lah si Ravaka!” Tiara mendengus, lalu detik selanjutnya bersuara lemah. “Padahal kalian berdua itu kapalku …”
Ya, kapal yang kupikir juga akan berlayar selamanya, tapi justru karam ditelan ombak pengkhianatan.
“Nggak nyangka sumpah!” Bahkan Ezar yang seringnya lebih banyak menyimak, ikut buka suara soal ini.
“Ck, ck, ck.” Dinar menggeleng-gelengkan kepala. “Bisa-bisanya si eta gitu.”
“Kirain teh si eta bener, heeuh …” tukas Haqi, kemudian mengangguk kecil. “Pantes, ku urang dihubungan, diajak datang ka dieu teu ngabales-bales.”
Tentu saja. Ketika Ravaka meninggalkanku, artinya dia juga meninggalkan tim ini. Semua hal tentang Cijaya akan mengingatkan Ravaka tentang apa yang dia perbuat padaku. Dia tidak akan suka itu, dia lebih suka kabur.
“Ibu peri kalo bilang sama kita dari waktu itu, kita bantu serang dia bareng-bareng!” geram Nala tak terbendung. “Udah buang aja sih yang begitu mah! Enggak pantes buat Ibu Peri.”
Tepat di titik ini aku sadar, ekspresi yang kulihat dari mereka ini yang selama ini takut kuhadapi. “Maaf aku baru bisa kasih tau kalian sekarang, karena sebelumnya masih sakit banget. Aku ngerasa cerita ke kalian tentang semua ini jadi lebih susah karena kalian tau banyak tentang aku dan dia. Kalian saksi awal hubungan kita.”
Paling sulit membeberkan kenyataan pahit ini pada teman-teman KKN, karena aku takut melihat retaknya harapan dan dukungan mereka.