Portal-Portal Menuju Patah

Firdhaniaty Rachmania
Chapter #38

Epilog

“Empat tahun menjadi saksi perjuangan kita di masa perkuliahan. Berbagai patah yang kita alami dan berbagai bangkit yang kita usahakan, akhirnya membawa kita pada hari ini. Hasil jerih payah kita ada di depan mata, tapi lika-liku prosesnya lah yang membuat kita berkembang.” Sejenak aku mengamati para hadirin yang mendengarkanku dengan khidmat.

“Momen-momen berat yang telah kita hadapi menjadi pengingat bahwa meskipun di depan sana masih banyak lika-liku lainnya, akan selalu ada jalan untuk mengusahakan angan dan harapan yang kita genggam. Teman-teman sekalian, mari kita rayakan pencapaian ini dengan penuh suka cita. Selamat mencapai satu tahap besar dan selamat melanjutkan perjalanan. Sampai jumpa di persimpangan-persimpangan hidup yang ada di depan sana.”

Di akhir pidato, aku menelaah lebih dalam apa yang nyata di depanku. Puluhan wisudawan, orang tua, dan dosen-dosen duduk pada deretan kursi yang mengisi ruangan berlantai dua. Pandangan mereka tertuju padaku dan tepuk tangan mereka menggema dengan ramai. Aku bisa melihat perpaduan dua momen yang kualami di ruangan ini, sekarang dan setahun yang lalu.

Dulu di sini aku mendengarkan arahan dosen dalam pembekalan sebelum KKN, sekarang aku di sini lagi untuk memberi sambutan perwakilan wisudawan di depan banyak orang. Dulu aku tahu tentang mempertahankan, sekarang aku juga tahu tentang melepaskan. Dulu aku akan mengalami patah hati besar, sekarang aku lebih dekat dengan pulih.

Waktu berjalan dan hal-hal berubah. Seindah atau sesakit apapun perjalanan kita, tetap ada akhirnya. Namun akhir dari sesuatu seringnya adalah awal dari sesuatu yang lain. Perpisahan memanggil pertemuan, kepergian memanggil kedatangan, patah memanggil bangkit, dan sakit memanggil sembuh.

Jadi, meski kini semuanya terasa seperti beberapa kedipan mata, aku turun dari mimbar disertai hati yang penuh syukur atas segala perjalanan yang kutapaki selama berkuliah. Aku kembali pada Malva dan Slafi yang berbinar dalam balutan toga, sama seperti aku dan yang lainnya. Mereka langsung menyambutku dengan banyak jempol dan sanjungan. Aku menempati kursi yang diapit mereka berdua, lalu meresapi pencapaian ini dengan sepenuhnya.

Memoriku memutar potongan-potongan kejadian yang pernah terukir selama empat tahun belakangan. Bak kumpulan montase di penghujung sebuah film yang mengharukan, aku melihat diriku dalam berbagai cerita. Euforia ketika aku diterima menjadi bagian dari kampus ini, hari-hari yang dihabiskan di kamar untuk menyimak dosen dari laptop saat kuliah daring semasa pandemi, hiruk-pikuk kelas saat perkuliahan mulai luring, indahnya KKN, suka duka magang, dan jatuh bangun bersama skripsi. Aku ada dalam banyak fase-fase itu, dan aku ada sekarang. Aku yakin, semua pejuang lainnya yang hadir di ruangan ini juga mengalami naik-turun dalam kisahnya mereka sendiri. Di akhir cerita ini, kami gemintang dalam sinar masing-masing.

“Selamat ya sayangku, Ayala seneng deh bisa hadir di hari wisudanya Rashma,” ujar Ayala yang menyambutku di luar gedung. Dia berseri-seri dalam balutan batik mega mendung dan aku mendekapnya erat-erat.

Lihat selengkapnya