“Satu... dua... tiga!”
Suara kamera yang terdengar bersahut-sahutan megiringi seorang wanita yang berdiri di depan kamera sambil berpose menuruti perintah dari fotografer yang penuh semangat. Di sana aku mengamati mereka dengan tatapan kosong. Berdiri di taman kota dan di bawah cerahnya langit biru, banyak hal bagus yang dapat dipotret ketika melihat pemandangan ini, namun tidak untukku.
Tidak ada satu foto pun yang kuambil sejak berada di taman itu. Yang hanya kulakukan sejak tadi hanya berdiri sambil mengamati. Melihat pemandangan dari kedua jari telunjuk dan jempolku yang membentuk bingkai persegi. Hal yang biasa kulakukan saat ingin mengambil gambar, mencari sudut dari bingkai dahulu sebelum memotret. Namun tak ada kesan bagus yang kutemukan di setiap bingkai yang kuarahkan ke sekeliling taman.
Hanya ada pemandangan biasa walau cuaca cerah. Penampakan taman dengan orang-orang yang bersenang-senang dan menghabiskan waktu seorang diri atau bersama. Menurutku itu pemandangan yang biasa dilihat oleh siapa pun ketika berada di taman. Tidak ada momen yang ingin kuabadikan atau subjek yang menarik perhatianku.
“Sedang mencari apa, Will?”
Secara tiba-tiba seorang wanita melompat masuk ke dalam kotak bingkaiku. Wanita yang merupakan kenalanku bernama Sarah, ia merupakan model yang melakukan pemotretan di taman itu atas permintaan dari seorang temanku, Ethan. Entah sejak kapan pemotretan mereka telah selesai. Aku yang terlalu sibuk mengamati sekitar sejak tadi sampai tak menyadarinya.
“Sesuatu yang... wow?” balasku kikuk. Entah karena jawabanku yang terdengar aneh atau karena hal lain, Sarah tertawa kecil.
“Haha... Memang wow yang seperti apa? Dan terutama kenapa nadamu seperti bertanya balik?”
Aku hanya mengangkat kedua pundak dan sempat mengamati gerak-gerik badan Sarah saat berbicara padaku tadi. Lalu pandangan matanya, mengisyaratkan suatu perasaan yang dapat kusadari dengan hanya menatapnya. Tatapan yang sudah biasa kulihat dan terasa familiar.
Dalam beberapa saat suasana di antara aku dan Sarah menjadi hening. Dia terus memandangku dan makin membuatku merasa aneh. Hingga di saat yang tepat, Ethan datang dan mencairkan suasana itu.
“Sarah! Hasilnya benar-benar keren!” serunya dan dengan otomatis, Sarah langsung memalingkan pandangannya dariku. Setelah itu aku dapat bernapas lega.
Ia menghampiri Ethan dengan langkah riang. “Benarkah? Mana, mana? Perlihatkan, dong.”
Ethan menyodorkan kamera dan memperlihatkannya kepada Sarah. Aku hanya terdiam sambil berdiri di belakang mereka. Sementara rekan Ethan yang membantunya melakukan pemotretan sibuk membereskan peralatan fotografi. Jika dilihat-lihat aku satu-satunya yang menganggur di antara orang-orang itu. Entah keberadaanku di sana untuk apa dan perlahan langit berubah warna seiring waktu berjalan menjelang sore.
“Will, coba lihat sini!” panggil Sarah dengan girang. Tapi aku masih mematung di tempatku berdiri saat melihat Ethan yang masih ingin membicarakan sesuatu dengannya.
“Di gambar ini kamu terlihat benar-benar cantik, Sarah.”
“Tapi aku lebih suka ini.”
“Iya! Kau nampak menyatu dengan latar belakangnya.”
Mereka berdua terlihat sangat semangat ketika membicarakan hasil pemotretan mereka. Jadi aku merasa tidak enak ikut dalam obrolan itu, lagi pula di sana aku hanya numpang bergabung karena suatu urusan. Tapi Sarah tetap memaksa tanpa memedulikan ketertarikanku secara pribadi kepadanya yang sebenarnya tidak peduli sama sekali. Namun dari pada menyakiti aku hanya menuruti wanita itu.
“Coba lihat ini, Will! Bagaimana menurutmu?”
Aku menengok ke arah kamera yang ditunjukkan Sarah kepadaku walau sedikit menyiksa Ethan yang kesakitan karena Sarah menarik secara paksa tali kamera yang melingkar di lehernya. Aku dan dia tidak memedulikan teriakan Ethan. Aku hanya terfokus pada layar kamera yang menampilkan hasil gambar pemotretan Sarah tadi.
Tapi aku yang tidak terlalu menggemari fashion hanya bisa melontarkan komentar, “biasa saja.”
Kedua bola mata Sarah berubah, baru saja sepertinya secara tidak sengaja aku sedikit menyakiti perasaannya. Tapi aku memang mengatakan apa adanya. Ethan yang menyadari, langsung mencari cara untuk mencairkan suasana.
“Maksudmu aku nggak pandai ngambil foto?” balasnya tapi seolah-olah di sini ia yang tersakiti karena omonganku. Tapi aku tak menduga itu berhasil, Sarah langsung tertawa.
“Dasar Will, kamu kaku sekali,” Sarah mengatakan itu sambil menampar punggungku dan tertawa riang. Tapi rasanya ia seperti melampiaskan rasa sakitnya padaku dengan tertawa sedikit dipaksakan untuk memuaskan dirinya. Dan aku tidak menduga tamparannya sangat keras sekali. Wanita benar-benar menakutkan saat tertawa seperti itu.
“Apa kau sudah menemukan foto menarik?” tanya Sarah. Kali ini aku akan berusaha menjawabnya dengan hati-hati. Bahkan Ethan telah memperingatkanku melalui lirikan dan gerak-gerik matanya.
“Belum. Tidak ada adegan bagus atau hal menarik.”
“Kalau begitu bagaimana aku menjadi modelmu?”
“Eh?”
Benar-benar menyulitkan, batinku. Aku berharap Ethan membantuku tapi anak itu sudah tidak berguna. Bahkan saat aku menatapnya untuk memberi kode, dia malah pura-pura tidak menyadari dan hanya menggelengkan kepala.
“Aku ini fotografer jalanan dan mencari foto untuk bahan jurnalis, jadi aku tidak bisa sembarangan memfoto subjek. Apalagi kau seorang model, fokus pada pakaian dan kecantikan, bidangku berbeda dengan hal itu.”
“Ya ampun, Will. Aku tadi hanya bercanda, jadi santai saja.”
Entahlah, aku tidak percaya setelah melihat matanya.
“Lalu kau kesini bukan untuk memotret ku?” lanjut Sarah. Aku ingin sekali membuang napas berat kepadanya. Ke hadapannya langsung.
“Aku ke sini karena ada urusan dengan anak itu. Kami harus segera pergi.”
Aku melemparkan tatapan penuh ancaman kepada Ethan dan kali ini ia mengerti isyaratku yang seolah-olah berkata bahwa segera selesaikan situasi sekarang atau aku tidak meminjamkan kameraku lagi, begitu ancamanku padanya. Ia langsung menganggukkan kepala.
“Iya, Sarah. Aku dan Will harus pergi setelah ini. Biasa... urusan antar Pria jadi sangat sibuk.”
“Oh, baiklah. Aku juga mau pergi. Kalau ada pemotretan lagi, beri aku kabar lagi.”
“Pasti.”
“Dah, Will!”
Sarah melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan kami. Saat langkahnya mulai menjauh, Ethan langsung memasang wajah sinis.
“Kenapa lagi-lagi dadahnya cuma ke kamu doang, hah?”
Aku mengangkat bahuku sambil mengangkat sebelah alis. “Tanyakan sendiri, lah. Aku nggak minta kepadanya.”
Lalu Ethan pergi mengambil peralatannya dan satu-persatu rekan kerjanya beranjak dari taman hingga tersisa aku juga Ethan. Setelah itu ia kembali menghampiriku dan tiba waktunya kami juga pergi dari taman.
“Dah,” sapaku tapi dia malah jalan mendekat, menyusul langkahku dengan terburu-buru.
“Tunggu. Aku ikut denganmu.”
Kami berjalan menelusuri jalanan berpaving yang terhubung dengan taman dan mengarahkan menuju jalan raya ketika sampai pada ujung jalur. Setiap kanan dan kiri dikelilingi oleh pohon dan berbagai tanaman lain. Namun aku memilih jalan ini karena jalan tercepat menuju salah satu tempat yang ingin kukunjungi sebelum pulang. Tapi aku tidak tahu alasan Ethan mengikutiku sekarang.
“Terima kasih untuk hari ini ya, Will. Lain kali aku minta bantuanmu lagi,” katanya sambil tetap berjalan di sebelahku.