Portrait of Yesterday

Febriyanti Putri Ruspandi
Chapter #3

BAB 2: Potret yang Terbakar

Pagi ini sebuah stasiun televisi menayangkan berita mengejutkan yang menjadi pembicaraan hangat masyarakat di internet. Berita tentang pembunuhan yang terjadi di kotaku tapi ini berbeda dan benar-benar insiden yang aneh. Korban dibunuh dengan paku di kepalanya. Di lokasi pembunihan yang terjadi di dalam sebuah ruangan, ditemukan barang-barang dengan kondisi yang terlihat sangat berantakan seolah-olah pelaku menerbangkan semua benda di lokasi pembunuhan itu. Anehnya adalah tidak ditemukan sidik jari di antara barang-barang tersebut. Namun ada seseorang yang mengatakan jika pelaku mempunyai kemampuan telekinesis.

Iya, telekinesis. Kemampuan mengendalikan barang dengan pikiran. Tapi teori seperti itu, jika tanpa bukti mana mungkin membuat orang dapat memercayainya. Di tempat kerjaku, berita tidak jelas seperti itu langsung ditolak. Bahkan beberapa hari lalu ada berita yang sama mengejutkannya menjelaskan tentang keberadaan seseorang yang memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain. Tentu berita itu menimbulkan kontroversi di masyarakat dan semakin panas saat masuk ke dalam dunia maya.

“Papa?”

Aku yang mendengar suara Violet langsung meraih remote di hadapanku lalu segera mematikan televisi. Aku tidak ingin ia melihat berita teror terutama tentang pembunuhan.

“Apa, Violet? Segera mandi lalu sarapan.”

“Baik.”

Suaranya terdengar masih mengantuk dan kemarin malam ia juga terlihat sangat mengantuk. Mungkin terlalu lelah setelah bermain dengan Ethan dan Zoe. Tapi dia terlihat sangat senang kemarin saat ada dua orang yang menghabiskan waktu bersamanya. Aku bangkit dari sofa di depan TV untuk segera menyiapkan sarapan sebelum Violet keluar dari kamar mandi. Hari ini Zoe libur dan mengatakan jika ia ada jadwal kuliah hari ini.

“Papa! Kemarin aku bermimpi indah, lho!” seru Violet berlari menuju ruang makan dengan rambut yang masih basah. Aku mengambil handuk kecil lalu meletakkan handuk tersebut ke atas kepalanya kemudian mengusapnya perlahan. Sambil mengeringkan rambutnya, aku balik bertanya, “Memang mimpi seperti apa?”

“Aku bertemu dengan Mama!”

Aku tersenyum tipis, bahkan kemarin aku juga mimpi tentangnya. “Lalu?”

“Mama terlihat sangat cantik. Lalu Mama melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum.”

“Benar-benar mimpi yang indah, ya.”

Aku menyisir rambut coklat Violet dengan perlahan sambil mendengar cerita darinya. Banyak hal yang ia ceritakan dengan penuh keceriaan. Hingga rambutnya tersisir lurus dan rapi, aku mengambil pita lalu menguncirkannya di belakang rambut Violet.

“Sudah selesai. Sekarang habiskan sarapanmu.”

Gadis itu menurut sambil melangkah menuju meja makan dengan riang. Tingkahnya itu yang menghiburku sampai sekarang dan saat hari di mana aku kehilangan istriku, Lily.

Saat musim gugur tiba di kota lamaku, adalah saat di mana aku bertemu Lily dan juga menjadi musim ketika aku berpisah dengannya. Setelah dia meninggal karena sakit, aku seperti kehilangan warna dalam foto kehidupanku. Tapi Violet membantuku mencari warna itu kembali dan mencari sesuatu yang hilang dalam setiap potret foto yang kuambil setelah kepergian Lily. Saat kehilangannya memang ada rasa yang hilang, tapi lagi-lagi berkat Violet. Setelah itu aku memutuskan untuk pindah ke kota besar dan tinggal di apartemen. Aku memulai mencari suasana baru dan beradaptasi dengan lingkungan baru serta bertemu dengan orang baru. Semua berubah kecuali kesedihanku.

Aku yakin Violet juga merasa sangat sedih dan kesepian setelah kepergian Ibunya. Tapi anak itu... ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya di hadapanku. Malah dia yang menghiburku dengan sikap cerianya dan membuatku makin terfokus saat memotret apapun.

Satu-satunya harapanku yang tersisa dan membuatku memiliki tujuan untuk bertahan hidup. Saat bersamanya, aku dapat melihat dunia dipenuhi pemandangan yang indah. Saat melihat melalui lensa kamera, dialah yang paling indah, sama seperti Lily, dan juga bunga Violet yang bermekaran.

***

“Will Lyon. Fotomu benar-benar menarik.”

Pemimpin redaksi, Pak Garfield duduk di tempat kerjanya yang berada di hadapanku sambil membolak-balik lembaran foto dan mengamatinya dengan wajah terkesan.

“Terima kasih, Pak.”

“Aku akan memakai fotomu dan ini uangmu.”

Tanpa ragu aku menerima lembaran yang disodorkan padaku itu untuk mengambil bayaranku. “Kerja bagus Lyon. Tapi bagaimana kalau kau mencoba mengambil foto tentang pemilik kekuatan supranatural?”

“Kekuatan supranatural?”

“Kau melihat berita tadi pagi?”

Aku langsung mengingatnya. “Berita pembunuhan itu?”

“Iya. Dari dulu sebenarnya sudah ada kabar jika kekuatan supranatural itu ada dan akhir-akhir ini banyak insiden yang terkait dengan hal tersebut. Tapi sama sekali tidak ada foto yang membuktikan kebenaran tentang kekuatan itu. Kalau kau mendapatkan buktinya, pasti beritanya akan laku keras.”

Sejenak aku memberi jeda sambil mengangkat sebelah alisku. “Tapi aku lebih penasaran, sejak kapan Anda tertarik dengan hal seperti itu?”

“Entahlah. Lebih baik kalau seluruh dunia segera tahu tentang kebenarannya, bukan?”

Aku tidak tahu harus membalas apa setelah itu. Di saat yang bersamaan dan di waktu yang tepat, fotografer lain datang ke ruangan Pak Garfield sambil membawa amplop yang pasti adalah hasil potret miliknya.

Lihat selengkapnya