Posesif

Bentang Pustaka
Chapter #2

Pertengkaran Tiada Akhir

Tujuh tahun kemudian ....

Seorang gadis terlihat menikmati makanannya di pojok ruangan restoran cepat saji. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang memenuhi ruangan berbentuk segi empat tanpa sekat itu, yang menatap seolah dirinya sinting. Masa cewek cantik, cantik banget malah, cara makannya bikin orang yang melihat jadi tidak berselera makan lagi.

Cewek berhidung mancung itu melahap sebanyak mungkin hamburger yang ada di tangannya. Mulutnya sampai berlepotan saus tomat, saus sambal, dan keju cair. Ia tetap tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sekelilingnya. Ia menjilat jari-jarinya yang kurus lentik dengan kuku yang terpotong rapi. Yang ia pikirkan hanyalah cara menghabiskan makanan ini dalam waktu secepat-cepatnya karena perutnya sudah .…

“Starla! Lo gila, ya! Rakus apa laper lo?”

Suara itu mengagetkan cewek cantik bernama Starla Grace. Ia berhenti mengunyah, memegang dadanya yang kebat-kebit karena terkejut. Mata kecilnya berkedip-kedip. Tetapi, begitu melihat siapa yang datang, ia menikmati lagi burger-nya, abai pada si pemilik suara. Tinggal dikit lagi, begitu otaknya mengajaknya berbicara. Setelah itu, kamu bisa menghabiskan kentang gorengnya! Perutnya pun girang.

Kepuasan terpancar di wajahnya tepat saat suapan terakhir dari double cheese burger menggelinding masuk ke perut. Mulutnya yang berlepotan ia bersihkan dengan tisu. Sambil tersenyum, Starla menepuk-nepuk perutnya yang kenyang. Kakinya yang jenjang bergoyang santai di bawah meja. Ah, kenyang!

Tetapi, tidak untuk Polly. Sahabat Starla yang gendut tapi imut ini malah mual. Ia tatap burger yang dibelinya dengan hampa, perutnya bergejolak karena lapar, tapi ia tak tahan melihat tingkah Starla. Akhirnya, Polly memilih tindakan ekstrem, ia berpindah meja. Ia cengkeram baki berisi makanannya dan menggesernya ke meja sebelah, membelakangi sahabatnya.

Starla—gadis cantik berusia tujuh belas tahun—geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Polly. Setelah meneguk minuman bersodanya yang terasa dingin di tenggorokan, Starla mulai mengunyah kentang goreng. Bibirnya yang tebal dan indah itu bergerak lebih lambat dibanding sebelumnya, sewaktu ia menghabiskan burger dengan kecepatan penuh. Sesaat kemudian, pandangan Starla terhalang oleh sosok tinggi dan langsing yang mendekat ke arahnya, dengan rambut panjang yang menutupi sebagian wajah cantiknya—Luna.

“Mana burger lo, La?” tanya Luna kepada Starla sambil celingukan. Starla cuma senyum sambil menepuk-nepuk perutnya dan membuat Luna, sahabatnya itu, memelotot hingga bulu matanya yang lentik ikut naik.

“Aduh, Starla … makannya dikunyah, nggak, sih! Kalau makan jangan langsung ditelen, dong!” Luna protes dengan suaranya yang halus. Ia menggelengkan kepala tidak percaya melihat sahabatnya bertingkah seolah tidak diberi makan selama berbulan-bulan. “Ya, pake kali, Lun! Rahang gue nggak segede itu buat nampung langsung burger-nya,” sahut Starla, yang masih asyik menikmati kentang goreng. Luna setipe dengan Starla, sama-sama mempunyai tubuh yang tinggi dan langsing. Namun, sikap keduanya jauh berbeda. Luna lebih dewasa dan anggun, juga sedikit pendiam, sedangkan Starla kebalikannya.

“Untung lo datangnya telat, Lun. Gue sampe enek ngelihat dia makan. Makanya gue pindah,” Polly yang duduk tepat di belakang Luna ikutan nyeletuk. “Ssst! Kalau makan nggak pake ngomong!” Starla berdesis sambil mengusir Polly dengan mata yang mendelik. Polly membalas dengan juluran lidah. Luna cuma geleng-geleng kepala dan memulai makan siangnya yang sudah terlambat.

Tidak lama, Polly bergabung lagi dengan Starla dan Luna sambil membawa minuman bersodanya. Mulut Starla mulai diam karena semua makanan sudah habis. Kini ia memainkan ponsel miliknya. Iseng, beberapa kali Starla mengambil foto Luna dan Polly. Luna mengusir Starla dengan halus karena ia malu, ia sedang mengunyah makan siangnya. Sedangkan Polly justru kebalikan dari Luna. Ia bergaya dengan pede ketika bunyi CEKREK! bergema. Narsis bener, deh!

Starla dan Polly tertawa-tawa, apalagi ketika melihat hasil foto Polly yang lebih tepat disebut aneh dibanding bagus. Lucunya, Polly justru suka dan meminta Starla mengirimkan ke ponselnya. Mereka sering melakukan hal ini karena rasa bosan yang menyerang ketika harus menunggu Luna makan. Cara makan serta kecepatan makan Luna memang benar-benar mengalahkan putri keraton!

“Yuk jalan.” Suara yang keluar dari mulut Luna langsung diamini Starla dan Polly. Ketiganya beringsut dari tempat duduk, lalu berjalan beriringan menghabiskan sisa sore dengan cuci mata.

***

Langit Kota Jakarta menyisakan mendung sehabis guyuran hujan sesaat tadi. Butiran air di jendela mobil membuat suasana menjadi lebih dramatis. Starla termenung menatap butiran sisa air hujan yang tadi turun. Ia coba menghitung butiran air yang menghiasi jendela itu, tetapi rasanya sia-sia saja.

Suara Polly yang sumbang mengisi udara dalam mobil sehingga “Saat Bahagia” yang dinyanyikan oleh Pasha dan Andien tidak lagi menjadi sama, alias berantakan. Luna tak bersuara, dan ketika Starla menoleh ke arahnya, ia terlihat asyik bermain ponsel sambil tertawa sendiri. Starla membuang muka, ia sedang enggan bersikap kepo sore ini .

Sopir keluarga Starla menghentikan mobilnya di rumah Polly dan Luna.Terakhir, sang sopir menghentikan mobil di pelataran rumah Starla, yang bagi Starla sendiri rumah itu tidak pernah terasa seperti rumah karena baginya ....

“Starla! kamu dari mana saja?”

Terdengar suara seorang perempuan menegurnya, bahkan sebelum Starla sempat membuka pintu rumah. Starla menarik napas panjang, menoleh ke arah taman di halaman depan yang luas. Di sana terdapat gazebo berbentuk rumah panggung mini, yang dikelilingi oleh kolam ikan koi. Starla menghampiri gazebo. Ia berdiri tepat di jalan setapak yang dihiasi batu alam andesit.

“Kamu dari mana?” tanya perempuan itu, mengulang pertanyaan yang sama. Starla menatapnya dengan sedikit malas. Matanya menyipit karena sinar matahari jingga sore hari sedang turun.

“Pergi sama Polly dan Luna.”

Lihat selengkapnya