Starla menjatuhkan diri di bangku kantin. Ia mencomot kentang goreng milik Polly, mencelupkannya secara berlebihan ke saus sambal, dan langsung mengunyahnya. Tak lama kemudian, Starla justru melamun sambil memainkan kentang goreng tanpa memakannya.
“Eh, ngelamun. BTW, makasih ya, buat sontekan tugasnya, La. Gue beruntung punya temen sepinter lo,” ujar Polly sambil mengunyah kentang gorengnya. Starla hanya mengangguk-angguk seperti burung. Gadis berwajah bulat itu memperhatikan Starla yang masih mencocol kentang gorengnya ke saus hingga lembek.
“Lo kenapa, sih? Jangan digituin, jijik tauk,” tegur Polly.
“Lagi pusing, Pol. Stres.”
“Apa, sih, yang ngebuat lo stres?”
Starla mengangkat bahunya dan mengelap tangannya di rok. “Banyak, Pol. Show. Pemotretan. Mana udah mau UN dan SNMPTN lagi,” Starla menggerutu.
Polly tersenyum kecut dan nafsu makannya drop mendengar Starla nyeletuk soal UN dan SNMPTN yang bagai mimpi buruk buat dirinya. “Iya ya, lo bener banget .... Aduh ... males nggak, sih.”
Starla mengangkat bahunya dan meneguk teh botolnya hingga tak bersisa. Polly berkata lagi, “Nggak kerasa, ya, cuma tinggal setengah tahun lagi kita sekolah, La ... kalau lulus ….” Wajah Polly jadi mellow. Lantas, ia malah merenungi masa depannya. Polly merasa bahwa dirinya patut khawatir. Gimana enggak? Starla yang pintar saja bisa khawatir soal UN dan SNMPTN, gimana dengan dirinya yang pas-pasan?
“Lah, terus lo, kok, jadi lemes gitu? Ikut-ikutan gue aja.” Starla menyadari perubahan dalam diri Polly.
“Iya, gue jadi mikirin UN dan SNMPTN juga ....”
Starla mengibaskan tangan. “Sudah ah, jangan dipikirin, nanti tambah pusing. Ada kabar apa dari Luna?” tanya Starla mengalihkan pembicaraan.
Polly menggeleng dan menghabiskan Coca-Cola-nya. Lalu, ia pergi sesaat untuk memesan sebotol lagi. “Kemarin malam Luna telepon gue. Kalau gue nggak salah inget, lo ada kasting bareng dia, ya, hari ini?”
Starla mengembuskan napas. Yup, kasting yang menyebabkan pertengkaran dengan mamanya kemarin. Kasting yang diadakan oleh produk sabun itu diadakan sampai dua hari saking banyaknya model yang berminat.
Hari ini giliran Luna kasting. Karena Starla tidak hadir kemarin, dirinya akan bergabung dengan Luna.
“Iya, mestinya sih, gue kasting kemarin, tapi gue males,” Starla menjelaskan.
“Tapi, lo tetap datang, kan, hari ini. Buat apaan coba?” Nada suara Polly seperti menuduh. Sebuah pernyataan yang akan membuat Starla sakit hati kalau ia tidak mengenal Polly luar dalam. Starla menatap wajah bundar sahabatnya yang selalu dihiasi senyum itu.
“Dipaksa Nyokap.”
“Ya bolos lagi ajah.”
“Lo kayak nggak tahu nyokap gue aja, sih, Pol!” bentak Starla dengan kesal. Kekesalan itu lebih ditujukan kepada dirinya dan mamanya, bukan kepada Polly. Starla merasa lemah dan tak berdaya. Meski ia tahu Belinda adalah mamanya, tetap saja kelakuannya membuat hati Starla berontak. Ia gerah, kekuasaan mamanya makin mendominasi dan memuakkan.
Segala cara dipaksakan mamanya untuk menjadikan Starla bintang terkenal. Mulai dari kasting, pemberian kerja yang tidak masuk akal, perlombaan, dan banyak lagi yang lainnya. Starla jadi bete berat. Ia berani bertaruh, sepulangnya ia dari sekolah, di depan sudah ada sopir dan salah seorang asisten mamanya yang akan menjemput serta mengantarkannya ke tempat kasting. Starla mual membayangkannya!
“Iyaaa ... gueee ... tahuuu ... bangettt ...,” Polly menjawab, sengaja dipanjangkan dan diberi penekanan. Mendengarnya, Starla jadi sedikit menyesal. Ia memang sensitif jika membicarakan masalah yang selalu menjadi topik hangat di dirinya, yaitu perseteruan dirinya dan mamanya.
Satu hal yang Starla sadari sejak dulu, bahwa dirinya dan mamanya memang tidak pernah cocok. Dua orang yang tinggal serumah dengan kepribadian yang bak langit dan bumi. Pokoknya berbeda sekali. Apakah Starla tersiksa dan merasakan neraka rumah? Bisa dibilang begitu. Neraka rumah mungkin menjadi kata yang tepat adanya. Selama tujuh belas tahun ia merasakan bahwa rumah bukan menjadi tempat yang menyenangkan untuk dirinya.
“La ....”
Starla tersadar dari lamunannya. Ternyata, bel sudah berbunyi. Kantin mulai terlihat sepi.
“Yuk, masuk!” ajak Polly. Starla menghampiri Polly dan merangkul sahabatnya itu. “Sori ya, Pol. Tadi gue nggak bermaksud buat jutek sama lo .... Abisnya ...,” Starla menggigit bibirnya, “gue kesel banget sama nyokap gue. Dia maksain gue harus ikut kasting ini. Dia maksain segalanya, ngatur hidup gue dan bikin gue jadi kayak robot. Padahal, lo tahu, kan, gue nggak mau … gue nggak suka ….”
Polly mengangguk. Di wajahnya tidak tersirat rasa sakit hati sedikit pun. “Nggak apa-apa. Gue ngerti banget, kok. Masa, sih, udah sekian lama temenan sama lo masih nggak ngerti juga? Nyokap lo, kan, begini.” Jari telunjuk Polly terpasang di jidatnya membentuk garis miring. Keduanya tersenyum masam. Mereka segera memburu langkah cepat-cepat menuju kelas sebelum guru Sosiologi masuk dan memulai pelajarannya.
***
Starla Grace, sebuah nama cantik yang diberikan kepada bayi mungil buah pernikahan pasangan suami istri, Belinda Santosa dan Manuel Jaya, yang nama keduanya memang tidak asing lagi di Indonesia.
Siapa, sih, yang nggak kenal Belinda Santosa? Meski sekarang dirinya sudah pensiun dari dunia modeling, namanya masih bergaung karena sosoknya tetap berkecimpung di dunia fasyen Indonesia.
Belinda, mantan supermodel asal Indonesia yang sukses. Namanya muncul di berbagai media massa ketika ia menjadi satu-satunya model Indonesia yang berjalan di catwalk untuk brand ternama, seperti Valentino dan Versace pada akhir ‘80-an. Selebihnya, ia melebarkan karier ke kota-kota yang dianggap sebagai kota fesyen dunia, seperti Milan, Paris, New York, dan Tokyo.
Belinda menjadikan New York sebagai tempat tinggal selama ia menggapai impian dan ambisinya di luar negeri. Begitu lulus SMA di Jakarta, ia memilih untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Belinda termasuk salah seorang model yang beruntung, begitulah yang semua orang katakan. Selepas SMA, ia langsung mendapatkan kesempatan untuk mengikuti berbagai audisi fashion show. Dan, karena potensinya, dengan cepat ia bergabung dengan salah satu agensi modeling terkemuka di Kota New York. Dan, Belinda tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Bintang keberuntungan selalu menaungi dirinya. Desainer-desainer kelas dunia pun menyukainya. Ini menjadikan ambisi Belinda bertambah, dan ia bekerja keras tanpa kenal lelah. Belum lagi pemotretan yang dilakoninya untuk majalah maupun iklan. Nama Belinda makin berkibar.
Setelah sekian tahun berada di New York, Belinda bertemu dengan Manuel. Keduanya bertemu di sebuah pesta sosialita bergengsi yang saat itu diadakan di sebuah klub ternama, di Manhattan, New York. Sejak perkenalan pertama, keduanya jatuh cinta dan lengket satu sama lain.
Saat itu Belinda berumur dua puluh tahun dan Manuel lima tahun lebih tua daripadanya. Hubungan percintaan keduanya tidak berjalan mulus, apalagi Belinda tak pernah ada di satu kota lebih dari dua hari karena ia harus berkeliling dunia.
Putus-sambung mewarnai hubungan Manuel dan Belinda, sampai akhirnya pada tahun keempat kebersamaan mereka, Belinda yang putus asa dengan hubungan tersebut melepaskan Manuel dengan berat hati, meski dirinya tahu bahwa ia mencintai Manuel.
Manuel, meski ia bisa mendapatkan cewek mana saja karena ketampanannya, hatinya sudah tertambat kepada sosok Belinda yang cantik: dengan garis wajah yang sempurna dan senyum menawan. Karena tidak mau kehilangan Belinda, Manuel nekat menyusul Belinda yang sedang fashion show di Paris. Manuel melamar Belinda. Karena cinta, Belinda pun luluh dan menerima lamaran Manuel. Satu tahun kemudian mereka menikah dan langsung dikaruniai anak pada tahun berikutnya. Mau tak mau, Belinda melepaskan impiannya.