Lala
PADA TAHUN TERAKHIR MASA putih abu-abu, aku terpaksa ikut melakukan hal yang nyaris mustahil. Belajar siang-malam demi mendapat bangku universitas padahal sedang sayang-sayangnya pada masa SMA. Rasanya seperti baru pekan lalu aku, Ega, dan Rino melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah ini untuk kali pertama. Seragam kami masih menguarkan bau kain baru. Perutku mulas dan senyumku lebar tak wajar, antara gugup dan bersemangat.
Meski kepala sekolah memastikan tak ada aksi senior yang berlebihan di MOS, tetap saja kakak-kakak kelas itu menatap kami seakan kami ini anak kucing yang salah memilih tempat bernaung. Hingga kini, dua tahun kemudian, kami menggantikan posisi mereka dan memandangi murid- murid baru dengan tatapan serupa. Kurasa sesungguhnya itu karena kami iri pada petualangan menyenangkan murid baru yang baru akan dimulai, sementara waktu kami sudah akan habis.
Dulu Ibu pernah bilang, jika bisa, sesekali dia ingin menyelinap kembali ke masa SMA, saat dia pertama kali bertemu Ayah. Merasakan gejolak kupu-kupu di perut saat sembunyi-sembunyi janjian makan di kantin atau pulang bersama naik bus.
Ah, yang benar saja. Sampai sekarang aku belum pernah pacaran. Bahkan, belum pernah ikut saat Ega dan Rino nonton konser RAN atau datang ke ulang tahun ke- 17 teman sekelas. Pada saat-saat itu biasanya aku tidur atau tidak sengaja ketiduran. Kelelahan setelah siang sampai sore harinya naik-turun menara, berulang kali salto ke depan atau ke belakang, lalu meluncur ke air. Besok paginya aku cuma bisa memandangi foto-foto mereka di Instagram dengan iri.
“Makasih, Pak!” Kembalian lima ribu cetakan baru dari tangan tukang ojek kujejalkan ke kantong seragam. Pukul tujuh kurang sepuluh, aku melirik jam tanganku. Rambutku masih setengah basah, tadi pagi tak tersentuh pengering rambut, kusisir dengan jari. Aku bangun kesiangan, sengaja tak menyalakan alarm.
Dua pekan terakhir alarm yang sama membangunkanku pukul setengah lima pagi. Pukul enam aku sudah harus ada di tepi kolam renang, bersiap pemanasan. Latihan berakhir pukul 10, untuk kemudian dimulai lagi pukul 15 hingga Matahari tenggelam. Begitulah rutinitas dua pekan sebelum PON.
Tak jauh dari gerbang sekolah, kulihat Pak Ridho, satpam sekolah, dan Pak Firdaus, guru Fisika, dalam posisi siaga, siap menangkap siswa yang sepatunya berwarna selain hitam polos. Tasya dan Mila, dua gadis yang terkenal suka pakai barang bermerek itu berjalan melintas, meninggalkan aroma parfum mereka di belakang. Bram, si ketua OSIS, sedang berjalan tergesa-gesa sambil membawa setumpuk berkas entah apa ke lorong samping. Tony, anak kelas 2 yang jago main drum itu rambutnya ternyata baru dicukur habis. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri, tak menyangka akan begitu rindu isi dan rutinitas sekolah.
“Akhirnya, La, lo masuk sekolah juga!” Di antara kerumunan siswa di depan ruang tata usaha, muncul gadis bertubuh mungil berambut sebahu berseru sambil setengah berlari menghampiriku, merentangkan tangannya.
“Ega!” Aku memeluknya erat-erat. Aroma vanila parfum Ega yang tidak pernah berganti sejak SMP membuatku sempat memejamkan mata. Bertemu Ega seperti pulang ke kamar nyaman tempatku bisa tenang pakai kaus oblong bolong sekalipun.
Di belakang Ega, seperti biasa ada Rino, cowok yang menurutku wajah dan keluguannya tidak berubah sejak kecil.
“Selamat, ya, La! Gue bangga jadi teman lo. Bisa ikut ngetop!” kata Ega, kusambut tawa. “Selamat, La. Enggak sia-sia lo latihan pagi-sore sampai kulit lo jadi lebih gelap begini,” ganti Rino yang menyalamiku sambil berkelakar.
“Sialan!” aku meninju lengannya.
Teman-teman lain yang melintas ikut menghentikan langkah kami, bergantian menyalami dan memelukku. Beberapa anak kelas satu dan dua yang tak kukenal atau aku lupa namanya pun ikut menyalami. Entah berapa kali aku mengucap terima kasih.
Bersekolah di sekolah umum, bukan sekolah atlet seperti beberapa anggota tim, membuatku menjadi murid istimewa yang dapat dispensasi untuk tidak masuk sekolah setiap jelang lomba. Meski begitu, secara akademis tetap saja aku harus mengejar semua ketertinggalan dan dinilai dengan standar yang sama dengan yang lain.
“Dapat medali perunggu gitu ada bonus enggak, sih, dari Pemda?” tanya Ega setelah kerumunan anak yang menyalamiku beranjak pergi.
“Ada, dong,” jawabku singkat dengan bangga, tapi mencoba tidak terdengar sombong. Tahun-tahun terakhir, aku merasa profesiku sebagai atlet lebih dihargai. Bonus yang kudapat dari perolehan medali kali ini cukup untuk mentraktir Ega dan Rino makan nasi Padang setahun, kalau perlu tiga kali sehari.
“Jadi, gimana ceritanya? Kok, bisa sih batal jadian sama Diva?” aku bertanya kepada Rino. Sepertinya aku sempat sepintas membaca cerita Ega di WhatsApp tentang ini, tapi belum sempat menuntaskannya. Banyak berita lain yang belum aku perbarui selama tidak masuk sekolah.
“Ck. Udah, deh. Enggak usah dibahas.” Rino mengibaskan tangan seperti mengusir nyamuk yang berdengung di telinganya. Sebenarnya itu bukan berita baru. Mana pernah, sih, Rino pacaran? Pikirannya itu terlalu lurus, sederhana, tanpa kelokan, apalagi tikungan. Kalau sampai dia pacaran, apalagi sama Diva yang juga lugu itu, dalam imajinasiku Rino pasti bengong, bingung mengobrol apa.
“Ceritanya cek di HP lo! Makanya pesan gue, tuh, dibaca. Jangan cuma dikoleksi!” Ega berseru kepadaku. Aku meringis sambil merogoh saku dalam tas ransel merahku, meraih ponsel. Terakhir aku membuka ponsel itu siang kemarin, sebelum latihan.
Setelah PON, ada SEA Games dalam waktu dekat. Tak ada jeda untuk istirahat dari latihan. Pada hari biasa, Senin hingga Jumat, aku berlatih pukul tiga hingga enam sore, sepulang sekolah. Sabtu latihan pagi-sore dan libur pada hari Minggu.
“Yah, lo tahu gue tepar banget tiap habis latihan. Masuk kamar langsung tidur. Bangun pagi, sarapan, langsung berangkat. Mimpi aja enggak sempat,” aku bergumam sambil sekilas melihat banyaknya notifi kasi di ponsel.
Alisku naik menyadari ada ratusan pesan sendiri di grup percakapanku dengan Rino dan Ega yang belum kubaca. Rino melirik layar ponselku, lalu ikut memperhatikan grup percakapan kami di ponselnya sendiri.
“Elo tuh kalau update yang penting-penting aja, kenapa? Semuanya lo ceritain. Ada mas-mas ganteng di busway aja pakai lo foto segala, dikirim ke grup. Lebih berfaedah kalo lo ajak kenalan langsung,” Rino berseloroh.
Aku tergelak.