Lala
LANGKAHKU KE RUANG GURU terhenti saat menangkap sesosok siswa yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumnya. Dia terlihat sedang dimarahi, atau tepatnya sedikit berdebat dengan Pak Ali, guru olahraga yang juga mengajarku.
Heran. Pak Ali sudah bersuara geram, sementara raut wajah cowok itu tetap tenang. Berani sekali.
Aku baru menyadari apa kesalahan cowok itu ketika melihat dia melepas sepatu putihnya. Pak Ali mengambil sepatu itu.
Dan … ups!
Cowok itu tersenyum ke arahku. Aku melirik ke kanan kiri, tapi tak ada siapa pun di sekeliling. Jelas dia sedang tersenyum kepadaku. Aku jadi sedikit panik karena ketahuan sedang memperhatikan, tapi juga senang karena cowok itu tampan. Ingin kubalas senyum tapi gengsi, tidak kenal. Aku menahan bibirku tetap datar, lalu secepat mungkin berbalik, menuju ruang guru. Bel sudah berbunyi.
“Assalamu’alaikum.” Aku berdiri di depan pintu ruang guru. Beberapa guru sedang menyiapkan tumpukan buku dan kertas, bersiap mengajar ke kelas.
“Wa’alaikumsalam. Masuk, La.” Pak Firdaus, guru Matematika, menjawab dari meja seberang.
“Eh, Lala.” Bu Retno, guru Kimia, wali kelasku, bersiap keluar ruangan saat aku akan masuk. “Selamat ya, sudah menang. Dapat medali apa?”
Aku tersenyum kikuk menyambut uluran tangan Bu Retno. Tapi, wanita itu malah menarik tanganku, kemudian mendaratkan pipi kanan-kirinya ke pipiku.
“Perunggu, Bu,” jawabku malu-malu.
“Wah, hebat. Nanti yang selanjutnya pasti bisa emas,” ujar wanita itu yakin. Aku bisa melihat pantulan sosokku sendiri di kacamata Bu Retno.
Sebenarnya sekarang aku sedang lebih ingin didoakan bisa mengerjakan ulangan, ujian nasional, dan masuk perguruan tinggi negeri. Tapi, doa yang itu, ya, sebaiknya kuamini juga.
“Amin, Bu,” aku mengangguk.
“Duduk di situ.” Pak Firdaus menunjuk kursi di pojok ruangan beberapa saat setelah Bu Retno pergi.
Aku duduk dan menggantungkan tas ransel merahku di punggung belakang kursi. Aku baru saja membuka ritsleting tas untuk mengeluarkan alat tulis saat Pak Ali, guru olahraga itu, masuk ke ruang guru. Tangannya menenteng sepasang sepatu putih. Sepatu cowok yang tadi.
“Anak baru sudah banyak tingkah.” Telingaku menangkap suara Pak Ali yang menggerutu saat meletakkan sepatu itu di rak di sudut ruangan, tidak jauh dari tempatku duduk. Anak baru? Punggungku menegak.
Pantas wajahnya tidak familier. Seketika aku ingat cerita Ega tentang anak baru 12 IPA 3 yang katanya cakep. Ternyata pengamatannya jitu. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri tanpa suara, tapi tidak lama. Pak Firdaus datang dan menyodorkan dua lembar soal ulangan Matematika yang kuresahkan.
Yudhis
Dengan hanya mengenakan kaus kaki putih tanpa alas kaki, gue jalan lambat-lambat ke kelas. Teman-teman sekelas gue, terutama cewek-cewek yang gemar merumpi itu cekikikan pas gue masuk menuju tempat duduk. Sial!
Melanggar peraturan memang gampang. Tapi, siapa pun belum tentu siap menghadapi konsekuensinya. Dan, konsekuensi terberat ternyata adalah malu.