"Bu, kenapa tugas terus sih. Ibu gak pernah liat berita di tv ya, tentang seorang murid meninggal gara-gara tugas menumpuk. Harusnya ibu juga care dong bu," sangkal Arvin, saat guru itu memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah.
Guru itu menatap Arvin tajam. "Kamu ini juga gak ngerti, ibu itu udah susah payah, capek sana-sini nilai 5 kelas—"
"Lah ibu mending, 5 kelas tapi satu pelajaran kan? Kita bu, bisa 12 pelajaran dan itu ada tugas semua. Malem untuk tidur disuruh belajar, giliran di sekolah mau istirahat tidur di omelin. Wis angel, angel wis." timpal Awan. Ah ia juga sudah capek, ingin rasanya berhenti sekolah.
Guru itu beralih menatap Awan. Ingin berkata lagi tapi semua murid langsung demo. Hingga membuatnya pusing.
"STOP! Oke, kali ini gak ada tugas! Seneng kalian?!"
Arvin, Awan, dan Caka ber Hi-5 sembari tersenyum penuh arti. "Yes berhasil!"
"Seneng dong bu.."
"Hm, kalian istirahat. Ini sudah bel," ujar Guru itu lalu pergi meninggalkan kelas yang membuatnya puyeng.
"WOAA, Berhasil coy!" pekik Arvin, yang membuat kelas gaduh.
"Gaes, kantin kuy," ajak Caka, merasa cacing di perutnya sudah karaoke.
Arvin mengangguk. Ketiga pemuda itu berjalan dengan gagah melewati lorong-lorong. Caka sesekali mengedipkan sebelah matanya jika ada cewek yang lewat. Sedangkan Awan, ia menyugar rambutnya ke belakang agar terlihat tampan.
Arvin berjalan di depan, kedua tangannya di masukan saku celana, dasinya di biarkan longgar. Untuk apa bergaya-gaya lagi. Toh dia memang sudah tampan.
"Caka lo pesen gih," suruh Awan saat sudah menduduki kursi di kantin.
"Iyo, mana duitnya." Caka menodongkan tangannya di depan Arvin.
"Ngapain lo? Ngemis?"
Caka berdecak malas. "Buat bayar lah, paduka bapak Arvin" dengan senyuman palsunya.
Arvin memberikan dua lembar uang berwarna merah. Caka menerimanya dengan senyum merekah. "Nah bagus nih."
Saat ingin berbalik, Arvin mengatakan hal yang membuatnya malas. "Itu harus kembali, 160 ribu ya."