Inara berlari, mencoba menghindar dari para pemuda itu. Namun tiba-tiba saja kepalanya pening, gadis itu berhenti berlari sambil memegangi kepalanya.
Pandangan di depannya yang tadinya satu seolah menjadi banyak. Ia merasakan sesuatu keluar dari hidungnya.
Ah, penyakit sialan ini lagi.
Satu langkah berikutnya tubuhnya ambruk, pemandangan terakhir yang ia lihat hanya seorang pemuda yang menolongnya.
***
"Ah, shit! Sakit banget," umpat Inara, yang baru saja bangun.
"Nah bangun juga lo. Makanya jangan suka ngerjain orang, kualat kan lo sama majikan," omel cowok itu. Kalian pasti sudah tau kan siapa cowok itu. Siapa lagi kalau bukan Arvin, orang terganteng se sekolah ini.
"Berisik tau gak."
Mata Arvin kini terlihat khawatir. Yang ia lihat, tadi gadis itu sempat mimisan. Wajahnya juga pucat, apa gadis itu sakit?
"Lo sakit, Ra?"
Inara menatap Arvin dengan pandangan heran. Tumben sekali cowok sombong itu perduli padanya. "Nggak."
"Itu muka lo pucet banget, tadi hidung lo.."
"Udah, ngapain sih bahas begituan," sela Inara, ia tak ingin seorang pun tau tentang penyakitnya. Terkecuali orang rumahnya.
"Lo mau pulang aja?"
"Ngga usah, gue baik-baik aja."
"Lo mending pulang aja deh, gue anterin ya," bujuk Arvin.
Inara tetap menolak. Ah, Arvin kehabisan bujukan kali ini. Namun ia teringat sesuatu, dan mungkin ini akan membuat gadis itu menurut. "Lo kan harus nurut sama gue, kalo lo bantah artinya lo udah siap dong—"
"Oke gue pulang!" Gertak Inara yang sudah jengkel. Selalu saja itu yang menjadi ancaman. Dasar cowok nyebelin.