“Pulang sama gue ya,” pinta Alvino.
“Tapi, supir gue udah jemput.”
Ana masih sibuk merapikan buku-bukunya ke dalam tas. Alvino? Dia bahkan hanya mengeluarkan satu buku saja. Tapi, gimana bisa ya kan dia jadi siswa yang termasuk dalam golongan pintar.
“Supir lo suruh pulang aja.”
“Kasihan lah, udah sekarang lo pulang sendiri dulu aja, besok baru gue pulang bareng lo. Babay,” ucap Ana beranjak pulang bersama ketiga sahabatnya.
Alvino hanya pasrah lalu berjalan bersama sahabatnya. Hening. Iyulah yang dirasakan oleh deretan keempat cowok ganteng itu.
“Eh, nongkrong yuk ke cafe,” ajak Bhara.
“Kuy lah,” ucap Naufal.
“Eh tunggu, jangan bilang lo minta traktir lagi sama gue,” ucap Alvino kesal.
“Udah tenang aja, kita mending ke cafe Reza biar gratis loh,” tukas Naufal.
Reza sontak melotot mendengar perkataan Naufal. “Lo sih iya maunya gratisan terus. Dasar nggak modal!”
Naufal dan Bhara tertawa renyah. Dari kejauhan, Alvino menatap punggung cewek yang sedang berdiri di trotoar. Sepertinya Alvino mengenal cewek tersebut, Alvino pun berlari menghampirinya.
“Eh Al mau ke mana?”
“Bentar!” teriak Alvino sambil berlari.
“Tasya!” sapa Alvino menepuk pelan bahu Ana. Iya lah yakali nepuk keras.
Sontak Ana menoleh ke belakang. “Apa?”
“Katanya supir mau jemput.”
“Nggak tau, katanya Mamah si iya tadi tapi belum muncul juga,” ucap Ana resah.
“Ya udah pulang bareng gue aja yuk.”
“Bentar deh perasaan gue nggak enak, gue telepon Mamah dulu kali ya,” Ana langsung mengambil ponselnya.
Alvino pun diam menunggu Ana telepon keluarganya. Alvino yang melihat Ana resah pun menjadi tak tega.
“Gimana?”
“Nggak aktif, aduh gimana dong gue takut,” mata Ana mulai berkaca-kaca.
“Jangan tumpahin mutiara lo, udah ayok pulang bareng gue aja.”
Ana hanya mengangguk patuh karena perasaannya sudah tidak enak. Lebih baik dia ikut Alvino pulang untuk mengetahui keadaan di rumah yang membuat supir Ana tak menjemputnya.
Sepi. Hal yang pertama Ana rasakan setelah sampai di rumahnya. Mobil Elina juga tak ada di rumah. Ana pun masuk ke dalam rumahnya.
“Assalamualaikum, Mah.”
Alvino pun mengekori Ana dari belakangnya.
“Mamah!”
Ana terus mencari ke seluruh sudut rumah. Kamar demi kamar Ana buka tapi tak menunjukan adanya Elina di rumah.
“Kakak! Gue telepon Kakak dulu.”
Ana langsung mendial nomor Roy. Sebenarnya Roy sedang kuliah mungkin saja dia sedang menghadapi dosen nya. Tapi, gapapa Ana sangat khawatir terhadap Elina.
“Nah, Hallo Kak?”
“Apa Sya, gue lagi di kelas nih ada dosen,” balas Roy setengah berbisik.
“Emm lo tau Mamah ke mana?” tanya Ana hati-hati agar Roy tidak cemas.
“Nggak, emang kenapa? Jangan bilang Mamah hilang,” Roy mulai khawatir.
“Hehe, ya nggak lah yakali udah besar masih aja hilang,” Ana mulai khawatir bukan main.
“Lah terus kenapa nanya?”
“Gapapa hehe, yaudah ya Tasya tutup.”
Ana langsung menutup panggilan dan terduduk di sofa dengan wajah cemas nya. Alvino juga duduk di samping Ana berusaha menenangkan.
“Mungkin Tante Elina lagi arisan kali, atau pergi ke butik mungkin.”
“Ngggak Al, tadi gue udah tanya ke karyawan butik katanya Mamah nggak ada di sana hiks,” Ana mulai meneteskan air matanya.
“Udah jangan nangis, mending kita cari Tante aja yuk,” ucap Alvino sambil merangkul Ana dengan tangan kanannya.
Ana mengangguk lalu bangkit diikuti oleh Alvino. Sampai di ambang pintu, ponsel Ana berdering menandakan ada panggilan masuk. Setelah dilihat, ternyata Elina menelpon Ana, Ana merasa senang bukan main.
“Mamah! Mamah ke mana sih? Udah Tasya cariin ke mana-mana, sek—“