Ana berjalan lesu di halaman sekolahnya. Dia sudah memaksa untuk tidak berangkat sekolah dengan alasan untuk mendampingi Elina di Rumah Sakit tapi, Roy dan Arga melarangnya dan mengharuskan Ana untuk berangkat ke sekolah. Alvino yang melihat Ana dari kejauhan pun berniat untuk menghampiri Ana. Namun, saat dua langkah sudah Alvino ambil, Rival sudah terlebih dahulu menemui Ana.
“Mau apa sih dia dekatin Tasya!” gumam Alvino dengan rahang mengeras.
“Eh Na kok lo lesu gini,” tanya Rival.
Ana tetap tak menghiraukan pertanyaan Rival dan langsung mempercepat langkahnya meninggalkan Rival di belakang. Namun, bukan Rival namanya jika dia akan berdiam setelah diacuhkan.
“Lo ditanya kok diem mulu sih, mulut lo masih berfungsi kan?” tanya Rival remeh.
“Gue nggak mau ngomong sama lo paham!”
“Paham Ana, sangat paham,” Alvino melangkahkan kakinya maju membuat Ana harus mundur.
Punggung Ana sudah mentok membentur tembok tangan Rival pun mulai mengunci tubuh Ana membuatnya tak bisa berkutik. Hal tersebut membuuat Alvino mengepalkan kedua tangannya hingga membuat kuku-kukunya menjadi putih.
“Gue udah ngomong baik-baik sama lo tapi nggak ada sambutan baik juga dari bibir lo ini,” Rival memainkan telunjuknya di sudut bibir Ana membuat Ana bergidik takut.
“Perlu gue kasarin lo hah?!” Rival berteriak keras.
Siapapun please tolong gue, gue takut banget, batin Ana sambil menunduk takut.
“Banci lo! Cowok yang cuman berani kalo sama cewek,” Alvino langsung mendorong tubuh Rival menjauh dari Ana.
“Maksud lo apaan dorong gue? Mau cari mati?!”
“Terus maksud lo apaan bentak-bentak cewek?”
“Ini urusan gue sama Ana, lo nggak usah ikut campur ngerti!”
“Asal lo tau, sekarang urusan Ana urusan gue juga.”
“Wah, baru kemaren sore di sekolah ini belagu nya udah tingkat akut.”
“Rival, Alvino. Stop! Nggak usah berantem lagi, ayok Al mending ke kelas aja,” Ana langsung menarik pergelangan tangan Alvino.
“Awas lo!” ancam Rival.
Ana tak ingin membuka suaranya. Keadaannya begitu kacau kemarin Mamah dan supirnya kecelakaan, sekarang? Rival selalu gangguin dia.
“Sya, lo gapapa kan?”
Ana hanya mengangguk sebagai tanda jawaban. Alvino merasa Ana sedikit tak bersemangat. Bukankah seorang Ana biasanya mengeluarkan suara cempreng nya itu lalu kenapa hari ini dia lesu.
“Lo kenapa sih? Udah nggak usah pikirin kemarin, sekarang pokoknya lo harus semangat.”
“Gue inget sama Mang Samin Al, biasanya kan kalo pagi tadi gue diantar sama Mang Samin. Pujiannya selalu terngiang di kepala gue Al.”
“Udah, sekarang kan ada gue,” ucap Alvino tersenyum.
“Dih, bodoamat wle,” Anna menjulurka lidahnya sambil berjalan namun, pandangannya menuju ke belakang membuat Ana menabrak tembok.
“Eh Sya awas!” Alvino memperingatkan Ana namun, saat Ana menghadap ke depan dahi Ana langsung terbentur dengan tembok.
“Kan gue udah bilangin, hahaha,” Alvino tertawa paling ngakak.
“Apaan sih lo ihh bukannya bantuin malah ketawa,” ucap Ana kesal.
“Ya kan gue udah bilangin,” ujar Alvino sambil menekan dahi Ana yang terbentur. Ana pun langsung memukul tangan Alvino karena dahinya merasa sakit.
“Sakit bego!”
“Ya kan katanya nih yah, kalo ada orang kebentur apalagi ini tuh jidat itu harus diteken biar nggak benjol,” ucap Alvino serius.
“Tau lah, gue mau ke kelas.”
Ana pun langsung pergi ke kelasnya sambil menghentakan kakinya. Alvino hanya geleng-geleng melihat tingkah Ana.