Suasana sarapan pagi di kediaman Gabriella terasa seepi dan hening. Roy yang sudah mengetahui cerita Ana tentang orang tuanya juga merasa marah. Apalagi dari kemarin antara Arga dan Elina tidak ada yang memulai pembicaraa.
“Tas—“
Ana sudah menyodorkan tangannya menandakan perkataan tidak perlu dilanjutkan. Elina pun menunduk lesu melihat kedua anaknya yang sama sekali tidak mau berbicara padanya maupun Arga. Ana dan Roy sama-sama beranjak pergi dari ruang makan. Ana langsung pergi ke kamarnya dan Roy langsung keluar setelah menyambar jaket hitamnya.
Kebetulan ini adalah hari minggu jadi, Ana bisa menangis sepuasnya di kamar. Ana sudah terduduk di balkon sambil memeluk lututnya. Tak lupa matanya mengeluarkan air mata.
“Semua orang jahat,” ucap Ana sambil terisak.
“Gue nggak kok.”
Ana terperanjat kaget melihat Alvino yang sudah berada di hadapannya. Sorot matanya menatap tak suka ke arah air mata yang menetes dari pelupuk mata Ana.
“Bidadari nggak boleh nangis, sayang air matanya siapa tahu bisa jadi mutiara kan mending di simpan, terus bisa kita jual. Uangnya bisa kita bikin petasan kan,” lawak Alvino sambil menyeka air mata Ana.
“Dasar!” kekeh Ana sambil memukul lengan Alvino.
“Udah ya nggak usah nangis, mending kita jalan aja yuk. Gue udah bawa mobil tuh biar ntar kalo lo tidur gue jadi gampang bawanya, hehe,” ucap Alvino sambil menggaruk tengkuknya, “Owh iya, Mamah juga pengin ketemu lo. Ntar pulang jalan lo mampir ya,” sambung Alvino.
“Emm iya, ya udah lo keluar dulu sana gue mau ganti baju.”
“Gue tunggu di mobil ya,” ujar Alvino beranjak pergi.
Kini Ana sudah berada di dalam mobil milik Alvino. Keduanya melesat pergi entah kemana.
“Mau ke taman?”
“Boleh,” ucap Ana mengangguk.
Mereka berdua sampai di taman. Banyak sekali anak kecil yang sedang berlarian membuat Ana tersenyum gemas. Ana harap bisa melupakan masalahnya sejenak di tempat ini.
“Al, gue mau nanya sama lo,” ucap Ana mulai serius.
Alvino mengangguk dan mendudukan bokongnya di kursi taman diikuti oleh Ana.
“Mau nanya apa?”
“Kenapa lo selalu ajak gue keluar, dan kenapa lo juga sering banget ada di setiap gue lagi seneng ataupun lagi ada masalah kayak gini?”
“Lo pasti tau kan apa arti dari persahabatan yang sesungguhnya,” ucap Alvino sambil menatap ke arah anak kecil yang saling mengejar.
“Tau.”
“Brarti lo udah tahu jawaban dari pertanyaan lo sendiri.”
“Terus kenapa lo sering banget kekang gue, posesif sama gue, selalu larang-larang gue. Maksud lo itu apa sih bersikap kayak gitu sama gue?”
“Karena gue... gue juga nggak tahu, tiba-tiba perilaku itu muncul dari pertama gue liat lo,” jawab Alvino jujur.
“Ter—“
“Nggak usah nanya lagi dong, bosen gue sumpah!”
“Oke,” jawab Ana lalu mengalihkan pandang ke arah lain.
Melihat perubahan raut wajah Ana, Alvino pun merasa bersalah karena sedikit membentaknya. Alvino mengedarkan pandangannya ke segala arah dan mendapati sepeda gandeng yang Alvino rasa bisa mengusir kesedihan Ana.
“Sya, naik sepeda gandeng yuk.”
“Ayok,” jawab Ana penuh semangat.
“Bang, sewa sepeda gandengnya ya.”
“Iya ini.”
“Ayok Sya, gue depan ya.”
Mereka berdua pun mulai mengayuh sepedanya. Ana terlihat sangat senang dan dengan semangat mengayuh sepedanya.
“Yuhuu!” teriak Ana gembira.
“Lo seneng nggak?” tanya Alvino sedikit berteriak.
“Seneng banget Al, gue sayang deh sama lo,” ucap Ana tanpa disaring.
“Apa Sya?”
“Em maksud gue, gue sayang sama lo sebagai sahabat. Lo baik banget sama gue, lo juga sering bikin gue bahagia.”
“Alvino gitu,” ucap Alvino dengan sombongnya.
“Iya deh.”
Mereka berdua terus bersemangat mengayuh sepedanya. Tak jarang juga Ana berteriak senang. Karena mereka asik dengan sepedanya, mereka tak melihat jika ada batu di depan. Sepeda mereka pun tergelincir lalu Ana dan Alvino terjatuh ke samping kiri.
“Aduh sakit,” rengek Ana sambil memmegangi kakinya.
“Mana yang sakit Sya?” tanya Alvino sambil memegang kaki Ana.
“Awhh jangan dipegang sakit,” rintih Ana ketika Alvino sedikit menekan kakinya.
“Eh iya maafin gue udah bikin lo jatuh,” ucap Alvino.
“Iya nggak papa.”
Alvino sedikit memijit kaki Ana membuat Ana meringis kesakitan.