Ana sedang duduk termenung sendirian di kursi taman sekolah. Kepalanya benar-benar terasa pusing, wajah pucatnya sedari tadi masih kelihatan walaupun Ana sudah menutupi dengan senyuman, semua orang bertanya apakah dirinya sakit.
“Dunia begitu kejam bagi keluarga gue yang hanya seperti debu berterbangan di mata-Nya.”
Ana memejamkan matanya bersamaan dengan air mata Ana yang turun. Hidup dengan keluuarga yang kacau memang bukan impian setiap orang namun, kita bisa apa kalau takdir saja sudah ditentukan.
“Tasya!”
Dengan cepat Ana mengelap air matanya lalu, menoleh melihat seseorang yang memanggilnya.
“Eh Rafa, iya ada apa?”
“Nggak papa, cuman pengin ngumpul aja kayak dulu waktu kita SMP,” Ana hanya membalas dengan senyuman.
“Iya, gue juga kangen.”
“Sya, muka lo pucet banget sih, lo tadi juga habis nangis ya?” tanya Rafa khawatir.
“Gue nggak papa kok Fa,” balas Ana tersenyum.
“Lo nggak usah nyembunyiin masalah lo, gue tahu dari dulu lo emang suka nyembunyiin masalah lo. Tapi, gue mohon sama lo mulai sekarang lo nggak perlu lagi nyembunyiin masalah lo, gue mau kok dengerin lo curhat.”
“Keluarga gue Fa, pernikahan orang tua gue udah di ujung tanduk. Ditambah lagi Kak Roy yang kemarin lampiasin kemarahannya dengan dugem di club,” ucap Ana beriringan dengan air mata yang mulai turun.
“Lo yang sabar ya Sya,” ucap Rafa sambil merangkul pundak Ana.
“Iya makasih ya.”
Rafa juga menghapus air mata Ana yang turun. Persahabatan mereka memang sangat erat, dari mulai SMP mereka kenal dan sampai sekarang persahabatan mereka masih terjaga.
Alvino yang baru datang langsung membogem wajah Ana menggunakan tangannya tanpa ingin tahu apa yang terjadi.
Bugh!
“Alvino! Stop! Lo ngapain sih?” kesal Ana berusaha melepaskan cekalan Alvino pada Rafa.
“Maksud lo apa hah datang-datang langsung pukul wajah gue?!” tanya Rafa tak terima.
“Lo apain Tasya hah?!”
Bugh!
Sekali lagi pukulan dilemparkan Alvino tepat di bagian perut Rafa. Rafa tak ada niatan untuk membalas perilaku Alvino karena dia sangat benci dengan yang namanya berkelahi apalagi tawuran.
“Alvino, stop dia itu tadi cuman nenangin gue,” ucapan Ana mulai melemah, “Lepasin Rafa.”
“Lo diem!” sentak Alvino.
Ana memegang kepalanya yang tiba-tiba merasakan pusing yang hebat. Pandangannya kabur dan sekitar serasa memutar. Tak lama Ana ambruk dengan wajah yang semakin memucat.
“Tasya!” seru Alvino dan Rafa barengan.
“Tasya, cepet Al bawa UKS Tasya pucet benget,” tukas Rafa khawatir.
Alvino mengangguk dan langsung membawa Ana ke UKS. Alvino langsung terobos aja apapun yang berada di depannya. Sampainya mereka di UKS, Alvino langsung membaringkan Ana untuk ditangani oleh Dokter sekolah. Alvino dan Rafa menunggu Ana diperiksa oleh Dokter dengan khawatir.
“Gimana Dok?” tanya Alvino panik.
“Sebaiknya Ana dirawat di Rumah Sakit, karena kondisinya benar-benar lemah dan membutuhkan cairan,” jelas Dokter.
“Ya udah Al lo bawa Tasya ke Rumah Sakit ya, biar gue yang minta izin ke Guru,” seru Rafa menepuk bahu Alvino.
“Iya, gue bakal bawa Tasya ke Rumah Sakit.”
Alvino menggendong Ana yang masih belum sadar untuk membawanya ke Rumah Sakit. Kepanikan Alvino meningkat kala Alvino melihat wajah Ana sudah sangat pucat ditambah lagi dengan tangan Ana yang dingin. Alvino menambah kecepatan mobilnya agar bisa cepat sampai di Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, Alvino langsung berlari sambil menggendong Ana ke dalam.
“Dok! Dokter!” teriak Alvino panik.
Dua Suster dan satu Dokter datang dan langsung membawa Ana ke dalam ruang IGD. Sedangkan Alvino sedang menghubungi Elina untuk datang ke Rumah Sakit. Lumayan lama Alvino dan Elina menunggu, akhirnya Dokter yang memeriksa Ana keluar.
“Gimana Dok? Gimana kondisi anak saya?” tanya Elina khawatir.
“Pasien sudah kita tangani, nggak ada yang serius. Pasien hanya kelelahan, kondisinya sangat lemah dan dia membutuhkan cairan. Sebentar lagi Pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, kalau gitu saya permisi dulu,” pamit Dokter.
“Alhamdullilah, ternyata nggak ada yang serius,” seru Alvino.
“Iya nak, alhamdulillah.”