Hujan yang deras jatuh dengan keras ke bumi. Setiap bulir air mengandung makna sendiri-sendiri. Saat itu adalah periode musim hujan terlebat pada puncak musim penghujan. Di antara musim penghujan itu, gadis kecil yang beranjak remaja tersebut dengan riang hati bergegas pulang dengan kantong yang cukup penuh hingga membuat kedua ujung bibirnya tersungging ke atas. Rasa lelah dan peluh keringat kerja keras terhapus seakan hilang disapu derasnya hujan.
Namun, ketika perjalanan pulang, ia menemukan pria aneh yang duduk tertunduk di antara derasnya hujan. Karena penasaran, ia pun medekati pria tersebut. Saat mendekat ia dapat mendengar dengan jelas tangisan dari pria berumur di awal dua puluhan. Air mataya tak terihat lantaran bercampur dengan hujan.
Meski sang gadis remaja tersebut mendekat, laki-laki tersebut masih tidak menyadari keberadaan gadis remaja itu. Ia disibukkan dengan pikiranya sendiri. Mengingat dosa-dosa yang telah ia perbuat.
Tiba-tiba saja ia mengeluarkan sesuatu yang selama ini ia simpan dalam kantongnya.
Beberapa hari yang lalu ia membelinya di pasar gelap. Cukup sulit menemukan barang tersebut di negara tanah kelahiran Ibunya ini, tak semudah seperti di tempat kelahirannya. Dalam setengah tahun terakhir hampir setiap waktu ia membawa benda tersebut. Benda kecil seukuran genggaman bisa jadi adalah jaminan keselamatan yang dibutuhkan.
Namun demikian juga adalah perantara kematian yang bisa mencabut nyawa dalam sekejap. Pistol yang ia genggam dan keluarkan dari kantong tersebut mengangetkan gadis remaja yang sedari tadi memperhatikannya, membuatya terjungkal dan jatuh ke belakang. Gadis tersebut dengan takut namun masih memperhatikan. Pistol tersebut diarahkan sendiri ke arah kepala pria itu. Bukan main kagetnya sang gadis remaja.
"Kakak," kata gadis itu. Sembari meletakkan tangannya ke lutut pria yang berjongkok sambil mengarahkan pistol kekepalanya sendiri.
Pria itu memandang dengan tajam lekat-lekat. Di depannya ada seorang gadis remaja. Mengingatkannya pada seorang gadis yang juga remaja mungkin seusianya yang tergeletak tak bernyawa, yang telah direnggut oleh kedua tangannya. Bajunya yang putih menjadi merah karena darah. Kenangan tersebut muncul kembali dan menyesakkan hati si pemuda.
"Apa kau mau menembakkan itu kekepalamu sendiri? Kenapa? Apa yang membuatmu ingin mati? Jika kakak keluargaku, tentu aku akan bersedih dengan kepergian kakak yang seperti ini, seperti aku bersedih saat kedua orang tuaku pergi meningalkan aku selama-lamanya." tanya gadis itu dengan cemas.
"Saya yakin keluarga kakak akan sangat bersedih seperti kesedihan yang kurasakan saat ini. Bahkan mungkin lebih dari yang kurasakan. Karena kakak dengan sadar mengambil nyawa kakak sendiri. Apakah kakak tahu berapa banyak orang yang ingin hidup namun takdir sudah menjemput?"
Laki-laki tersebut kembali mengingat masa-masa ketika seseorang seusinya merintih meminta tolong ingin hidup dan diselamatkan sambil mengatakan, "Aku berjanji pada Istriku bahwa aku akan kembali," sembari menangis berdoa dengan doa yang terasa asing baginya. Namun umum diketahui orang-orang timur tengah kemudian laki-laki itu meninggal.
Saat tersadar, ia memeluk gadis itu dan mengucapkkan terima kasih telah menyelamatkan nyawanya sambil menangis dengan keras, bersamaan dengan hujan yang semakin deras.
--
Gadis itu berkulit coklat sawo matang bermata gelap layaknya malam. Di antara matanya yang gelap, tersirat cahaya berbinar layaknya bintang bersinar yang menggantung di antara pekatnya kegelapan. Tanganya tak sehalus gadis seusinya, sedikit kasar menandakan ia bekerja cukup keras untuk hidup dan kehidupan.
Rambutnya tak sehitam perempuan kebanyakan sedikit berwarna coklat lantaran terpapar sinar matahari sepanjang siang dan sore saat berjualan. Hidungnya tak seberapa mancung namun tetap terlihat serasi dengan bentuk mukanya. Saat ia tertawa di antara kedua pipinya yang manis tampak lesung pipi yang menawan.
Senyumnya menenangkan hati. Senyumnya memiiki arti, senyum yang menenangkan jiwa. Senyumnya bukan senyum menawan yang menggoda seperti gadis kebanyakan namun senyumnya seperti sinar matahari pagi yang hangat menghangatkan seakan kehangatanya merasuk kesetiap pori-pori kulit. Dengan senyumnya, bisa jadi ia dapat melelehkan kekerasan hati siapapun yang melihatnya.
Nissa adalah nama gadis itu. Saat usianya masih belia ia telah kehilangan sosok orang tuanya. Ia hidup dengan neneknya dan menyambung hidup dengan berjualan.
--
Seorang pria berbadan tegap dengan sinar mata tegas baru saja tiba. Antonie berjalan keluar melewati Bandara Juanda Surabaya. Tak berapa lama, banyak pengemudi taksi yang menawarkan jasanya untuk mengantarnya kemanapun tempat yang ia butuhkan. Tampang Antoni memang terlihat seperti orang yang biasanya berkantong tebal.
Rambutnya yang coklat kehitam-hitaman sedikit bergelombang kulitnya putih sedikit coklat tak seperti kebanyakan orang Eropa, tak seperti orang Asia juga. Namun demikian, darah Indonesia yang ia dapat dari neneknya menegaskan sedikit penampakan campuran Asia tak terbantahkan dalam gen yang mengalir dari tubuhnya dan tersirat dari parasnya.
Ia mengenakan setelan rapi khas pebisnis. Seakan mendarat setelah ini ia akan langsung saja berbisnis. Memang bisa dikatakan demikian, Antonie memiliki kemapanan dari hasil jerih payahnya. Hidupnya ia fokuskan hanya untuk bekerja. Agar ia bisa melupakan banyak hal pahit yang ia pernah lakukkan, sebuah kesalahan yang ia pilih ketika masih muda.
Beberapa supir tersebut menawarkan jasa dengan menggunakan Bahasa Inggris. Namun Antonie membalas ucapan mereka menggunakan bahasa Indonesia, "Antar saya ke alamat ini" jelas Antonie singkat. "Ke pemakaman pak?” tanya si sopir taksi. "Ya" jawab Antonie singkat. Ini adalah hari kematian sang Nenek. Tak terasa sudah empat tahun berlalu sang Nenek telah pergi. Maka dari itu ia ingin menyempatkan pulang dari kesibukan bisnisnya yang padat untuk mengunjungi makamnya. Sesampainya di pemakaman ia bersimpuh dan berdoa di pusara sang Nenek.
--
Antonie masih mengingat dengan jelas kenangan-kenangan yang menentramkan hati ketika ia tinggal di Surabaya bersama Neneknya ketika masih hidup. Dan kadang kala mencari gadis remaja yang telah menyelamatkan hidupnya. Namun demikian, ia masih tidak menemukan apa yang dicarinya. Bahkan setelah bebeberapa tahun. Meski ia sibuk mengurusi bisnisnya dan harus bepergian dari satu negara ke negara lain terus-menerus.
Antonie yang saat ini membuka perusahaan export dan import, ia tidak melanjutkan lagi studynya di Oklahoma. Ia memutuskan untuk terjun di dunia bisnis dan ia rasa keputusanya cukup tepat. Dengan keuletan dan kenalan yang dibutuhkan, usaha yang ia geluti berkembang pesat. Dan bisnisnya berkembang hingga mempunyai kantor dagang di Singapura dan tanah kelahiranya, Amerika.
Bisnis Antonie saat ini telah stabil. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menetap di Surabaya. Ada satu alasan lain mengapa Antonie ingin menetap di Surabaya. ia merasakan ketenangan. Namun demikian mimpi buruk semasa perang masih menghantuinya.
Berbulan-bulan antonie tidak mengunjungi rumahnya di Surabaya lantaran sibuk mengurusi bisnis export-imortnya. Rumahnya dihuni oleh beberapa pembantu rumah tangga yang menetap di antara ruangan rumah, tukang bersih-bersih yaitu Pak Jono yang berusia hampir lima puluhan serta seorang nenek yang bertugas memasak untuk Antonie.
Untuk sang nenek, Antonie mengenalnya sekitar satu tahun yang lalu. Ia dikenalkan oleh Jono. Jono bilang jika bosnya berkenan ia bisa mempekerjakan salah satu kenalannya yang baik untuk tukang masak serta membantunya bersih-bersih. Antonie kemudian mempersilahkan sang Nenek untuk bekerja.
Tak butuh waktu lama, Antonie sangat menyukai sang nenek, pembantu rumah tangganya yang baru. Selain mengingatkanya pada almarhum neneknya sendiri. Masakan Nenek tersebut mengingatkannya akan masakan almarhum neneknya. Jadi setiap pulang ke Surabaya ia akan minta dimasakkan masakan Indonesia kesukaannya. Antonie pun meminta sang nenek untuk tinggal dirumahnya. Tapi ditolak dengan halus oleh Warsih lantaran ia harus menjaga cucunya di rumah.
--
Pada suatu waktu setelah kepulangan Antonie Ia meminta si nenek untuk memasakan masakan kesukaannya. "Nek, masakan sayur lodeh yaa sama ikan pindang goring," pinta Antonie merajuk pada Nenek Warsih
"Iya Tuan Antonie, biar Nenek beli dulu bahan-banhannya di pasar" jelas sang Nenek.
"Pak Jon, tolong antarkan Nenek Warsih ke pasar yaa!" seru Antonie.
"Siap bos" seru pegawai lamanya ini.
--
Beberapa menit kemudian, setelah Jono dan Nenek Warsih keluar rumah untuk berbelanja, teleponAntonie berdering tanpa henti. Ia melihat nama supirnya pada layar telepon genggamnya. "Ya ada apa pak Jon?” kata Antonie.
"Nek Warsih, Pak Antonie...." sembari terdengar nafas tersengal Jono di ujung telepon.
"Ya, Nek Warsih kenapa, Pak Jon? tanya sang bos
“Beliau kecelakaan..." Antonie merasa seakan hatinya dipukul kembali. Namun logika miliknya kembali berjalan menguasai ketenangannya.
"Baik, tolong beritahu alamat rumah sakit Nenek Warsih dibawa saat ini. Sediakan semua yang dibutuhkan Nenek Warsih. Saya akan segera ke sana" terang sang majkan segera bergegas mengambil hal yang dibutuhkan sembari memacu mobilnya dengan cepat namun terarah.
Scane Rumah Sakit
Tak lama berselang Antonie telah tiba dirumah sakit. Ia segera menemui Jono untuk menanyakan keadaan Nenek Warsih.
"Bagaimana Jon?" tanya sang majikan.
"Masih terbaring, Pak...” jawab Jono sedih. Pikiranya melayang-layang.
"Kenapa Nenek bisa tertabrak, Jon?" tanya Antonie membuyarkan lamunan Jono.