"Ayo kita makan," kata Antonie mengalihkan pembicaraan agar mengakhiri suasana yang membuat suasana tidak menyenangkan tersebut.
"Maaf makananya sederhana saja," kata Nissa.
"Tidak masalah saya tahu kamu kecapaian karena menolong saya. Saya rasa tadi malam kamu juga tidak cukup tidur." kata Antonie sembari melihat lingkar hitam di bawah mata Nissa.
Setelah selesai menyantap masakan yang tersedia Antonie berinisiatif untuk memulai pembicaraan dengan menjelaskan kejadian yang dialaminya semalam.
"Maaf kalau kejadian tadi malam membuatmu ketakutan. Kadang kala trauma masa laluku membuatku begitu. Biasanya Pak Jono yang menolongku stau sekertarisku yang menolongku jika kami sedang bepergian. Jika tidak ada yang membantu hal tersebut akan menyiksaku hingga pagi. Pagi harinya aku tidak akan dapat melakukan apapun," terang Antonie.
Nissa yang mendengarkan penjasan Antonie cukup cemas. "Ia tak habis pikir dengan hal-hal yang dlakukan sang majikan. Trauma seperti apa yang saggup membuat seorang seperti itu?" kata Nissa dalam hati.
Nissa sebenarnya ingin sekali banyak bertaya pada Antonie tentang masa lalunya. Namun hal tersebut ia urungkan. Ia khwatir jika menggali masa lalu majkannya dapat membuat sang majikan trauma kembali.
Telepon milik Antonie berdering. Ia kemudian mengangkatny, di seberang, Jono, supir pribadi Antonie menanyakan kabar. Antonie menjawabnya. Namun sejenak Antonie berpikir sebelum menjawab pertanyaan selanjutnya dari Jono. Nissa tidak terlalu mendegarkan percakapan keduanya ia tengah menikmati buah yang tersedia di atas meja.
"Tunggu sebentar ya Pak. Biar saya tanyakan sekertaris saya dulu..." kata Antnonie. Ia kemudian menutup telepon dan menghubungi seseorang di seberang sana. Kini Nissa mulai mendengarkan.
"Rio apa liburan ini tidak ada hal urgent yang perlu dilakukan?" tanya Antonie. Beberapa saat kemudian Antonie mengangguk dan seolah mengerti. "Begitu ya... oke terima kasih. Kamu liburan di mana sekarang? Apa? Bali? Kamu nggak sama si office lady kita yang cantik itukan? Pantas kamu tidak mengajakku! Huh!" kata Antonie mengahiri percakapan.
Dari percakapan yang didengar, Nissa kini ia tahu bahwa Antonie orang yang cukup supel dan dekat dengan karyawanya. Tidak peduli jabatan apa yang dipunya. Ia akan dekat dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Antonie kemudian menghubungi Pak Jono kembali. "Pak keliatannya saya akan pergi ke rumah bapak sekalian dengan Nissa untuk berlibur. Ya siang ini atau sore saya berangkat. Ya terima kasih pak ya" kata Antonie.
Nissa yang namanya disebut saat pembicaraan tadi kemudian bertanya. "Kita akan ke rumah Pak Jono Paman?" tanyanya.
"Ya, nanti sore tapi sebelum itu beristirahatlah dulu, saya tahu kamu kurang tidur. Aku mengajakmu karena kamu akan sendirian di rumah jika aku pergi sendirian ke rumah Pak Jono. Dan satu lagi, jangan panggil aku dengan sebutan Paman. Geli aku rasaya mendengarnya. Apa aku tampak setua itu. Tentu tidak bukan. Lagi pula kalau orang lain mendengarnya. Nanti aku disangka om-om yang membawa Anak SMA!" kata Nissa.
Mendengar hal tersebut mau tidak mau Nissa tertawa geli membayangkan hal yang dikatakan oleh tuanya.
"Kalau begitu saya harus panggil apa ?" tanya Nissa.
"Panggil saja namaku. Anton" ujarnya.
"Hanya Anton? Bukankan itu tidak sopan memanggil orang yang lebih tua dari kita dengan nama depannya saja?"
"Apakah ada Pilihan lainnya? Misalnya Pak Anton atau Kak Anton begitu atau Tuan Anton?"
"Aku Kurang suka dengan sebutan Pak seperti aku terlihat lebih tua. Dan tambahan Kak kurasa juga tidak sesuai dengan keinginanku. Panggil saja aku Anton." terangnya.
"Bolehkah saya memanggil Tuan saja? Cukup sulit diposisi saya saat ini untuk memanggil Tuan dengan namanya saja. Bagi saya, ada batasan tersendiri untuk orang yang telah baik hati menolong saya."
"Meski Tuan mengganggap saya keluarga sendiri. Seperti halnya Pak Jono yang Tuan anggap Keluarga. Pak Jono memanggil Tuan dengan penggilan yang pantas, Tidak melebihi batasanya. Karena beliau menghormati Tuan," terang Nissa panjang lebar.
"Well Baiklah, saya tidak akan memaksakan kemauan saya. Penggilan Tuan lebih baik Dari pada Paman. Saya harap kita bisa lebih akrab nantinya," kata Antonie putus asa karena ia kembali ke awal lagi untuk urusan nama panggilan ini.
"Tentu Tuan saya harap juga demikian. Semoga jika kita bisa lebih akrab saya masih tau batasanya. Kalau Saya dekat dengan seseorang kadang saya suka selengean. Mohon maaf kalau yang seperti itu terjadi," kata Nissa sembari tersenyum
"Baiklah saya pamit ke kamar dulu ya. Tuan? kepala saya agak pusing mungkin kurang tidur," ujar Nissa.
"Yah, yang itu 100 % kesalahan saya" Kata Antonie sembari tersenyum.
Sore datang dan berlalu. Waktu menunjukan pukul 5.
Nissa maupun Antonie telah mengepak barang-barang yang mereka butuhkan. Rencananya mereka akan menginap dan kembali saat minggu sore.
Nissa membuka pintu belakang mobil. Seketika Antonie mengernyitkan dahi tanda tidak setuju.
"Ehemm... Nissa... aku bukan supir pribadimu loh.. dan lebih enak jika ada teman di samping ketika sedang menyetir," kata Antonie protes kepada Nissa. Nissa yang terbiasa duduk di belakang karena kebiasaan jika ada Pak Jono yang mensopiri lupa bahwa mereka hanya berdua.
"Ahh maaf , Tuan, kebiasaan lupa nggak ada Pak Jono." kata Nissa sembari cengengesan dan berpindah duduk di samping sang Tuan yang sedang menyetir.
"Well, begini lebih baik. Kalau mau diskusi jadinya lebih mudahkan?" kata Antonie puas sembari melirik gadis cantik yang ada di sampingnya sembari mengemudikan Mobil. Di awal perjalanan, keduanya hanya diam tanpa ada seorangpun yang berinisiatif untuk membuka percakapan.
Canggung menyelimuti keduanya. Untuk memecahkan rasa canggung, Antonie pun berinisiatif memulai pembicaran. Ia jelas akan bosan jika hanya mengemudi sedangkan ada seorang gadis manis di sampingnya.
"Kata Pak Jono, beliau punya kebun sayuran dan kolam ikan sendiri. Beliau bilang, Istrinya jago memasak dan rasa masakanya tak kalah dengan rasa masakan Nenekmu atau Nenekku. Jika bicara soal lalapan kadang-kala almarhum Nenekku memasakkan sambal lalapan. Dan rasanya seenak sambal lalapan dan ikan goreng Almarhum Nenekmu," kata Antonie.
“Yah sayangnya Nenek kita telah meninggal,” kata Antonie menerawang. Ia kemudian melihat Nissa Anttonie pun tersenyum “Jadi saya harap, saya juga bisa menikmati sambal yang Nissa buat juga. Apalagi di sana tersedia bahan-bahan yang segar,” jelasnya.
“Memang, Istri Pak Jono pasti akan menjamu kita dengan masakan beliau. Tapi, saya meminta beliau, untuk esoknya agar kamu yang memasak,” kata Antonie.
“Kenapa? Harus masakan Saya Tuan?. Bukankah memakan masakan yang sama terus-menerus bisa buat bosan juga. Jika ada kesempatan untuk mencoba cita rasa lain pasti menyenangkan.” jelas Nissa.
Antonie terlihat agak bingung mendengar jawaban Nissa. Namun Antonie dengan segera menemukan alasan yang cocok
“Karena masakanmu mengingatkat akan masakan Nenekku serta Nenekmu. Bukankan, masakan keluarga itu yang selalu kita nanti?” jawab Antonie sedikit ragu. “Dan, Yah.. anggap saja ini permintaan dariku. Mumpung di sini banyak bahan segar. Aku juga ingin memakan masakanmu memakai bahan yang segar” kata Antonie.
Nissa hanya tertunduk malu mendengar ucapan sang tuan. Antonie kemudian membuka jendela kaca mobil untuk merasakan hawa sejuk udara Kota Mojokerto.
Nissa yang tahu waktu telah melawati lebih dari pukul enam sore, meminta pada sang tuan untuk menghentikan mobil di dekat sebuah Masjid. Ia ingin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Antonie mengingat kembali masa-masa saat dirinya masih bertugas di Suriah. Meski hanya enam bulan masa tugas. Enam bulan tersebut terasa seperti di Neraka. Meski saat beristirahat pun ia masih mendengar suara gemerisik peluru atau suara ledakan. Bau mesiu yang menebar ke manapun ataupun bau daging yang terbakar lantaran terkena ledakan masih terekam dengan jelas dalam ingatannya.