POST-WAR

Andika purnomo
Chapter #4

Meninggalkan Kepenatan

Gadis tersebut lelah untuk berfikir ia ingin berhenti sejenak memikirkan kondisinya saat ini. Ia pun lelah menangisi kepergian keluarganya yang begitu tragis dan tak pernah terbayangkan. Bahkan ia tak bisa menghadiri acara pemakaman keluarganya.

Keluarga yang begitu dicintainya. Pemakaman keluarganya tampak telah diurus tetangga terdekat mereka. Ia hanya bisa melihatnya dari jauh dengan air mata yang terjatuh.

Kedua orang yang menjemputnya mengatakan berbahaya jika dirinya terlihat dalam upacara pemakaman. Bisa saja informan militer mengatakan bahwa ada keluarga yang tersisa dan untuk menghapus jejak keberadaan serangan mereka yang terbukti salah.

Ketika di dalam mobil gadis tersebut menyandarkan kepalanya. Dalam perjalanan tersebut seseorang yang dikenalnya sekejap melihat gadis remaja dari keluarga yang ia kenal satu mobil dengan dua pria. Dan ia sama sekali tidak mengenal dua pria yang berada di depan mobil tersebut. Terlebih keduanya tampak mencurigakan.

Kenalan gadis tersebut tampak bingung apakah yang dilihatnya benar-benar benar-benar gadis remaja yang dikenalnya. Padahal ia baru saja mendapatkan kabar buruk yang menimpa keluarga mereka. Kabar buruk yang menghancurkan hatinya. Kabar buruk yang seolah-olah telah merenggut sebagian jiwanya. Merenggut belahan hatinya. Wanita yang ia cintai.

Perjalanan memakan waktu berjam-jam. Gadis tersebut tak tahu lagi harus berapa lama mereka ada di dalam mobil. Sesekali dua orang tersebut memberikan makanan yang mereka bawa. Agar gadis tersebut dapat mengisi perutnya. Namun demikian, rasa lapar sama sekali tak dirasakan gadis tersebut.

Di suatu waktu, gadis tersebut bertanya mengapa keluarganya dibunuh pada dua orang yang ada di depan mobil.

"Apa salah keluargaku? Kenapa mereka harus dibunuh? Ayahku, Kakakku, bahkan Adik kecilku, Ibuku yang sedang hamil besar?" kata gadis itu sembari terisak. Kemudian menyembunyikan tangisanya dalam dekapan tanganya. Ia tak sangup menerima kenyataan tersebut.

Namun kedua orang yang ditanya tersebut hanya diam membatu-membisu seribu-bahasa. Tak ada jawaban, hanya suara gemerisik mobil tua yang menjawab pertanyaan yang diajukan. Hanya saja perasaan sesak yang menusuk dan menghimpit dada tampak dirasakan keduanya.

Selama beberapa jam kedepan isak-tangis gadis tersebut masih dapat didengar keduanya. Ketika melihat gadis tersebut melalui kaca spion, Craig jadi teringat oleh putrinya sendiri. Ia perkirakan gadis tersebut seusia putrinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika keadaan terbalik dan putrinyalah yang mengalami kejadian naas dan malang ini. Air mata Craig tampak tiba-tiba saja menetes dari pipinya.

Demikian pula Antonie isak-tangis gadis tersebut seakan menyayat-nyayat hatinya. Perasaanya hancur berkeping-keping. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakulan lagi. Baik Antonie maupun Craig kini bertanya-tanya, Untuk apa keduanya berperang di negara ini? Apa yang mereka perjuangkan sebenarnya? Padahal Antonie pergi ke medan perang hanya untuk melupakan kepedihanya yang ditinggal sang kekasih.

--

Antonie masih menunggu Nissa menyelesaikan Ibadahnya. Ia dulu tak seperti saat ini, ia sama sekali tak memiliki respek terhadap agama. Meski ia sendiri beragama. Namun demikian, ia tak pernah menjalankan ibadah agamanya.

--

Sama seperti pemuda lainnya. Ia masih bertanya-tanya keberadaan Tuhan yang disembah dalam agama.  Namun demikian, setelah ikut berperang ia mulai mengubah pandanganya. Awalnya ia kira semua muslim terbelakang. Namun setelah pergi ke salah satu pusat dunia muslim dan berinteraksi dengan salah satu dari mereka ia mulai menghargai keyakinan penduduk lokal.

Tapi, yang paling menyentuh hatinya adalah saat ini. Saat ia mengantar sang gadis remaja ke perbatasan untuk melarikan diri. Ketika dalam perjalanan sang gadis meminta berhenti di setiap waktu salat tiba.

Lantaran penasaran, Antonie menanyakan pada sang gadis mengapa ia tetap beribadah padahal ia sedang dalam kesusahan. Saat sang gadis yang telah menyelesaikan ibadahnya.

“Mengapa tetap menjalankan ibadah? Bukankah tidak menjalankan ibadah saat kesusahan bukanlah masalah yang besar. Sesekali tidak menjalankanya bukan masalah bukan?" kata Antonie.

Sang gadis sebenarnya tak mau banyak berinteraksi dengan kedua orang tersebut. Namun karena urusan agamanya yang sedang dibahas ia pun mau tak mau harus menjawab pertanyaan tersebut.

Mulanya, sang gadis menatap dalam-dalam mata pemuda yang menanyainya tersebut. Tak sangup menatap lama-lama sang gadis, lantaran rasa bersalah ia kemudian menundukkan pandangannya ia tak sanggup menatapnya dalam-dalam.

"Agamakulah yang menjadi peganganku, tiang terakhir yang menjagaku membuatku tetap berdiri dengan bersandar pada aturan-aturannya yang sudah ditetapkan oleh sang pencipta seluruh alam. Jika bukan karena agamaku yang melarang untuk berputus asa. Lebih baik aku ikut terbunuh atau bunuh-diri."kata gadis itu tegas.

Hal tersebutlah yang membuka mata Antonie dan merubah keseluruhan pandangan Antonie tentang agama. Mulai hari itulah ia mengubah pandangannya pada orang yang beragama.

--

Nissa telah menyelesaikan ibadahnya. Ia memanggil-manggil Tuannya yang sedang termangu dan tampak melamun. Tampak sang tuan pikirannya pergi entah kemana padahal ia telah beberapa kali memanggilnya.

"Tuan..." panggil Nissa membuyarkan lamunan Antonie.

Antonie kembali dari lamunannya. Kini perhatianya tertuju pada seorang gadis cantik yang kini menjadi tanggung jawabnya. Sekelebat ia pun mengingat gadis Timur Tengah yang hidupnya telah hancur salah satunya karena dirinya.

Antonie berfikir bahwa gadis tersebut mungkin saja seusia dengan Nissa saat ini. Gadis tersebut mungkin hanya 3 atau 4 tahun lebih tua. Ia tak pernah lagi menghubungi gadis ini lagi. Sejak 1 tahun yang lalu.

Sejak membatunya keluar dari negaranya, Antonie membiayai kehidupan gadis tersebut. Bahkan, ia memberikan seluruh yang dipunyanya saat pertama kali gadis tersebut melarikan diri. Membuatkan tabungan atas nama gadis tersebut. Sementara Craig mencarikan tempat bernaung sekaligus untuk bersembunyi.

Gadis tersebut tinggal bersama kenalan Craig yang bekerja sebagai palang merah internasional yang mengelola sebuah restoran di Turkey. Sampai gadis tersebut cukup dewasa dan pindah ke Eropa 3-4 tahun yang lalu.

Melalui kenalan Craig, gadis tersebut mengatakan dirinya sudah cukup dewasa untuk bantuan finansial. Ia akan bekerja untuk kebutuhannya sendiri. Lagi pul,a uang yang dikirim Antonie tiap bulannya telah menjadi tabungan yang teramat besar dan lebih dari cukup. Pada masa-masa awal saat sang gadis telah bekerja, ia bahkan tidak menggunakan uang tersebut sama sekali.

Terlebih, pada saat ini Antonie menambahkan jumlah uang kiriman beberapa tahun belakangan dengan nominal yang luar biasa lantaran peningkatan usahanya.

--

"Apa yang mengganggu pikiran Tuan?" tanya Nissa dalam mobil.

"Well kenangan masa lalu mungkin dan sedikit kekhawatiran pada kenalan lama..." kata Antonie.

"Kenalan yang bagaimana?" kata Nissa mulai tertarik dengan obrolan.

" Kenalan seorang gadis yang cukup mirip denganmu..." ujarnya.

"Apakah gadis tersebut kekasih Tuan?" tanyanya penasaran lantaran insting wanitanya mulai tertarik dengan kisah romansa.

Tapi Antonie hanya tersenyum tawar mendengar apa yang ditanyakan oleh gadis di sampingnya. Melihat hal tersebut, membuat Nissa semakin penasaran. Namun demikian ia mengendalikan dirinya, tampaknya Sang Tuan tidak ingin membicarakan hal tersebut. Jadi ia tak lagi melanjutkan pertanyaanya.

Ketika sampai di rumah Pak Jono keduanya pun dibantu Pak Jono mengepak barang-barang mereka. Pak Jono dibantu oleh anak bungsunya bernama Dimas. Dimas adalah seorang Pemuda yang cukup gagah, berkulit sawo matang, dengan senyuman manis tulus khas pemuda desa.

Nenek Nissa pernah bercerita tentang putra Pak Jono yang berkuliah di Universitas Gajah Mada lantaran Dimas pernah mampir dan menginap saat libur kuliah beberapa malam di rumah Antonie jadi neneknya kenal dengan pemuda manis tersebut.

Nissa ingat Neneknya bersemangat saat bercerita soal Putra Pak Jono tersebut. Dia mengatakan bahwa Putra Pak Jono sangat santun dan pribadi yang baik. Lebih-lebih pandai karena dapat masuk perguruan tinggi lewat jalur prestasi. Neneknya cukup ingin mempertemukan Nissa dengan Putra Pak Jono tersebut jika Dimas mampir lagi ke Surabaya.

"Lama tak jumpa Dek. Gimana kabarnya?" sapa Antonie pada pemuda di hadapanya.

"Alhamdulilah baik, Mas. kalau Mas gimana kabarnya?"

"Sehat dan juga baik, Dek." balas Antonie.

Keduanya berbincang ringan di depan rumah Pak Jono. Tidak seperti Pak Jono, Dimas, putranya cukup akrab dan bicara terbuka dengan Antonie. Meski demikian, Dimas tahu batasan-batasannya untuk mengakrabkan diri. Keduanya tampak cukup akrab dari penglihatan sekilas.

Dimas tampak melirik gadis yang berada di samping Bos Ayahnya tersebut dan seketika tersipu malu lantaran gadis tersebut memergoki dirinya sedang dilirik saat berada di halaman rumah.

"Ayo silahkan masuk dulu Tuan. Dim biar Tuan masuk dan istirahat dulu. Jangan dibrondong pertanyan gitu..." seru Pak Jono mengingatkan putranya.

"Oh iya Pak maaf. Jadi lupa kalo ngobrol sama Mas Antonie hehe..." kata Dimas cengengesan.

"Bu tolong tunjukin kamarnya nak Nisaa. Sama bantu bawa barang bawaan nak Nissa..." kata Jono meminta bantuan istrinya. Istri Pak Jono bernama Siti, berusia sekitar 45 tahun. Tampaknya wajah manis Dimas adalah turunan Ibunya.

"Terima kasih, Pak, Bu" kata Nissa pada kedua orang tua tersebut.

Nissa kemudian dibantu Bu Jono ditunjukkan kamar yang akan ditempati.

Lihat selengkapnya