POST-WAR

Andika purnomo
Chapter #6

Kisah pilu Gadis Imigran di Benua Biru

Di sore yang dingin di Benua biru daratan Eropa. Seorang gadis muda terburu-buru pulang Ke tempat tingalnya. Cuaca saat itu dingin. Dingin yang menusuk kulit. Angin yang berhembus cukup kencang saat itu, menambah dingin keadaan yang sudah seperti membeku.

Gadis muda tersebut memiliki mata hitam kecoklatan excotic untuk dipandang. Rambutnya tertutupi hijab merah-muda Sederhana namun angun saat iya kenakan. Wajahnya tirus dengan keangunan alami, dengan kulit kecoklatan khas tempat tingalnya. Ia mengenakan jacket woll berwarna coklat untuk menghalangi hawa dingin, jacket murah yang ia beli dari pasaran. Sarung tanganya berwarna-warni seperti pelangi. Sepatunya berwarna hitam cukup butut untuk dikenakan.

Gadis tersebut berumur 20han kurang lebih seusia anak kuliahan semester akhir. Namun demikian keadaan membuatnya hanya bisa mengenyam bangku sekolah menengah saat berada dikampung halamanya. Di Negerinya nunjauh disana, ribuan kilometer dari tempat berdirinya dia saat ini.

Aisah harus pulang secepatnya buah hatinya menunggunya saat ini. Buah hatinya bersama tetangga sebelah rumahnya yang baik. Aisah saat ini tingal bersama dengan suaminya yang juga berasal dari tempat yang sama. Untuk sehari-harinya ia adalah seorang Ibu rumah tanga. Sesekali Ia diminta membatu di restoran tempat suaminya bekerja, tentu saja dengan permintaan tuan pemilik restoran.

Aisah dengan persetujuan suaminya tentu saja dengan senang hati menerima permintaan tersebut. Hidup sebagai pasangan imigran bukanlah hal yang mudah. Ia dan suaminya tidak lagi punya sanak saudara di tempat mereka tinggal saat ini. Seluruh keluarga intinya saat ini telah terbunuh oleh perang yang sampai saat ini belumlah berhenti meski telah banyak darah tertumpah.

Di Apartment yang keluarga kecil tersebut tinggal banyak orang dari berbagai Negara dengan latar belakang yang berbeda-beda. Disamping apartmentsnya lah ia menitipkan buah hatinya. Pada seorang imigran sama sepertinya.

" Tok-tok tok" dengan perlahan Aisah mengetuk pintu apertemen tetangnya tersebut. Setelah pintu terbuka-kan Iapun mengucapkan Salam." Asalamulikum umi Khusnul" ujar Aisah saat pintu dibukakan oleh seorang wanita paruh-baya Tetangganya yang baik-hati.

" Walaikumsalam. Oh Aisah masuk-masuk" ujar Perempuan paruh baya tersebut mempersilahkan Aisah. Umi Khusnul adalah seorang wanita Asal Lebanon. Ia bermigrasi bersama anaknya yang mencari kehidupan yang lebih baik.

Seorang anak perempuan berumur sekitar 2 tahun kemudian berlari berhambur dihadapan Aisah. Rahma memeluk Ibunya dengan senang bibirnya yang cubi kemarahan di cubit dengan halus Oleh Ibundanya.

" Sayangku, jantung hati Ibu. Hari ini Jadi Anak baikkan? Rahma ngak bikin Nenek Khusnul repotkan? tanya Perempuan tersebut. " Rahmapun mengeleng dengan senyum menggemaskan.

Setelah memberikan oleh-oleh berupa rotis gandum yang dibawahnya ketika pulang kerja pada Nenek Khusnul dan berramah-tamah, Aisah berpamitan agar dirinya dapat menyelesaikan pekerjan rumah yang masih menunggu.

Suaminya masih bekerja direstoran tempatnya bekerja. Suaminya bekerja sebagai salah satu pembantu chef dalam menyiapkan masakan. Gajinya yang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari membuatnya setuju usulan bosnya agar istrinya dapat membantu ketika jam-jam sibuk restoran, walau dalam hati sesungguhnya Ia engan membuat istrinya bekerja.

Ketika malam, ia pulang kerumah dengan keadaan mabuk. Ia mengetuk dengan keras pintu apertemen yang ia tingali. Dengan cepat Aisah membuka pintu agar sang suami dapat segera masuk dan beristirahat. Ia tak inggin ditegur oleh para tetangganya. Seperti sebelum-sebelumnya.

Aisah memandang lekat-lekat suaminya yang kini telah duduk di sofa. Ia heran dan hampir-hampir tidak mengenali suaminya. Mengapa Pemuda dari kampung halamanya yang terkenal saleh serta pandai mengaji menjadi seperti ini.

Tatapannya yang lurus kemudian berubah pilu. Ia tak mampu untuk menegur suaminya agar tidak meminum alkolol lagi. Namun yang didapatkan Aisah adalah tamparan, yang pada waktu itu membuatnya menangis tersedu. Beberapa kali Aisah mencoba mengingatkanpun hasilnya sama. Jadi pada titik ini ia tak lagi mencoba.

Tak putus-asa Aisah mengganti metodenya. Ia tak lagi meminta kepada suaminya saat mabuk. Ketika sudah lepas dari Alkohollah Aisah mencoba berdiskusi agar suaminya tak meminum Alkohol, Namun suaminya hanya mengabaikannya. Sesekali Ia Marah dan berteriak pada Aisah.

Saat ini, Aisah membantu melepaskan pakaian suaminya dan membatunya ke tempat tidur, Namun Tiba-tiba sang suami yang setengah telanjang mendorong Aisah ketempat tidur dan mulai menindih Aisah. Dibukanya dengan kasar satu persatu baju Aisah. Hingga tampahlah seluruh tubuh Aisah yang indah. Nafsu mengebu yang memburu dari suaminya yang mabuk tak mampu dihalau Aisah ia hanya dengan Pasrah menerima perlakuan suaminya.

Aisah sebenarnya tidak mau melakukan hubungan suami-istri saat sang suami mabuk. Namun jika melawan muka Aisah dapat dipastikan beruhan biru dan lebam pada keesokan Paginya. Ia tahu bahwa percuma saja melawan saat sang suami sedang mabuk.

Bahkan, Aisah terpaksa menikahi sang suami karena kehormatanya direbut saat sang suami Sedang Mabuk. Setelah menjadi istri Aisahpun hanya bisa menangis setelah berhubungan Suami-istri saat sang suami Mabuk. Ia masih teringat saat suaminya memperkosanya dahulu. Dan traumanya masih membekas hingga saat ini. Ia biasanya terduduk, dan Kemudian pindah keruang tamu untuk menangis agar suaminya tidak marah saat Aisah menangis.

Waktu subuh Aisah yang bagun lebih dulu seperti hari-hari yang lain, mencoba membangunkan sang suami dan mengajaknya sholat subuh. Namun ajakannya tidak pernah dihiraukan sang suami.

Ketika Pagi menyingsing barulah Malik bagun dari tempat tidurnya. Makanan telah disiapkan Aisah, namun tiba-tiba sang suami membahas masa-masa berat Aisah. " Kamu sudah tahu Siapa orang-orang yang membunuh keluargamu? " Tanya Malik memulai percakapan.

Aisah mengeleng Ia tak tahu. Ia Ingat. Keluarga yang menampungnya di Turki telah pindah 3 tahun setelah Aisah cukup dewasa. Keluarga keturunan Turki-Amerika tersebut menyambut Aisah dengan hangat saat pertama kali datang ke Negara Asing. Aisah sebenarnya cukup ketakutan dengan kondisinya saat itu. Bagaimanapun keluarga tersebut adalah orang-orang yang tahu informasi tentang dirinya bahkan pembunuh keluarganya.

Aisah adalah pengungsi yang ditolong oleh pembunuh keluarganya. Bagaimana mungkin ia tidak was-was dengan kondisinya. Jadi selama tiga tahun Aisah hidup bersama keluarga penampungnya Ia tetap berusaha menjaga jarak. Meski keluarga tersebut memperlakukan dirinya dengan hangat.

Ketika keluarga tersebut harus kembali ke Amerika sebenarnya keluarga tersebut telah mengajak Aisah untuk pergi bersama mereka. Namun Aisah takut dengan Negara besar tersebut. Ia tahu tidak semua orang Amerika seperti yang telah membantai keluarganya contohnya seperti keluarga Turki-Amerika yang menampungnya atau bahkan dua tentara yang menyelamatkan dirinya.

Namun demikian ia Tetap tak sanggup untuk pergi kesana. Ia pun memutuskan untuk tetap berada di Turki. Sampai tiba beberapa hari sebelum kepergian keluarga yang menampungnya.

Malam sebelum ke berangkatkan mereka kepala keluarga tersebut mendatangi Aisah dan memberikan kepemilikan rumah yang mereka Tinggali beserta sejumlah uang yang cukup besar pada Aisah.

Aisah termangu ia menatap angka yang cukup besar di buku tabungan yang ia Pegang. " Nak" kata Kepala keluarga beserta istrinya menatap Aisah dengan perasaan kwatir. " Selama tiga tahun ini aku telah menganggabmu bagian dari keluarga kami. Walaupun kami tetap merasa kamu tidak bisa membuka diri untuk kami. Kamu tetap dan pernah menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi kami harap kamu tetap berada disini dirumah ini" ujar mereka.

Lihat selengkapnya