✨✨✨
Aku mau kasih review film horor rumah kentang. Apaan, tuh, rumah tua gitu ngebawa-bawa nama kentang. Mending kalo batakonya dari kentang. Ini sih, cuma rumah tua biasa yang ditinggali sama hantu anak kecil. Mana kentang-kentang yang dimaksudnya?
Ngejelekin nama baik kentang aja. Sebagai kaum kentang, aku pastikan kalau ketemu produsernya suatu saat, aku bakal protes harus ngebersihin nama baik kentang.
Jangan main-main sama kentang, nanti aku tuntut kamu pakai pasal 310 KUHP ayat (1), yang berisi tentang pencemaran nama baik. Tuh, pencemaran nama baik hingga membuat si empu nama merasa malu.
Lho, ini sih aku harus nuntut Piya segera.
Oke, tapi bukan itu yang mau aku bahas.
Kalau kamu mikir, aku dan Piya pasti pemberani karena nonton film horor. Mana sekarang malam Jumat keliwon, pukul 00:00, dan di luar hujan deras menerpa Ibu Kota.
Sekali lagi, kalau kamu masih mikir begitu, berarti ding dong. Kamu salah banget. Kalau tebakan benar juga tetap gak dapat hadiah, sih.
Badanku meringkuk membelakangi layar tipis, bersembunyi di balik bantal-bantal berbentuk labu halloween. Sedangkan Piya, ah, dia emang resek. Sejak film diputar, dia pake penutup mata dan telinga. Tambah reseknya, dia cengar cengir makan popcorn. Anehnya, dia cekikikan mulu kek kuntilanak. Aku curiga dia kesambet kuntilanak gila di kompleks sebelah.
Kesal, aku menarik penutup matanya. Otomatis, Piya tersentak, melempar tatapan 'apaan sih' ke arahku.
"Kamu ngapain sepanjang film pake tutup mata segala?" tanyaku to the point.
"Oh, bilang dari awal dong!" jawabnya. Ya ampun, kan aku baru ngomong sama dia. "Itu, dari tadi gue lagi nonton film Mr. Bean Holiday tahun 2007, yeay—yippee!" terangnya ber-yippee-ria sambil mengacungkan salam peace dua jari, meski aku gak bisa merasakan ke-yippee-an yang dia maksud.
Aku mengerutkan alis, mulai kepo dan bertanya, "Kok bisa?"
"Gue bikin proyeksi film di kelopak mata, terus kuping gue disumbat gini biar jelas dengar suara filmnya," kata Piya.
Wow, penyihir bisa gitu, ya? Keren keren.
Excited, seketika ada dorongan yang memaksaku meminta hal serupa. "Aku juga mau nyobain, ih!" balasku kegirangan. Aku menggoyangkan kaki bergantian secara naik turun—hal yang tidak bisa sebuah kentang lain lakukan—saking cerianya.
Piya tersenyum simpul, memasangkan penutup mata dan telinga. Aku bersandar nyaman di sofa empuk, merelaksasikan tubuh yang sempat tegang karena film horor.
Kini, semuanya tampak gelap, dan aku hampir gak bisa dengar suara apa pun. Kecuali suara Piya yang menempel di telingaku.
"Mau disetel judul film apa, Pi?" ucapku. "Romantis?"
"Bukan."