Potjong Djahanam

Potjong Djahanam
Chapter #1

PRAHARA JURIG CICALENGKA 1970an: Hampura Nyai Kunti!

Mendung berarak menghiasi langit abu-abu di atas kampung kecil bernama Jawara, yang terletak di kaki Gunung Sangiang Mulya yang dijuluki Gunung Mayit1, kecamatan Cicalengka, kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sejak dulu hingga kini, tidak lama setelah tahun baru 1970 yang berlalu tanpa keramaian, daerah ini terkenal angker. Diapit oleh Desa Tenjolaya dan makam Astana Sakti, berbatasan langsung dengan Kecamatan Cicalengka Kulon dan desa Dampit. Penduduk Desa Jawara terhitung lebih sedikit dibandingkan desa lainnya. Kondisi ini bukan tanpa alasan. Aroma kematian yang menghantui sejarah panjang desa ini adalah salah satu penyebabnya. Walau penduduknya sedikit, tetapi beberapa pendekar sakti dilahirkan di desa yang senantiasa dikelilingi rimbunnya pepohonan ini.

Pendatang mungkin bisa terkecoh oleh hawa sejuk pepohonan dan rumpun bambu nan rimbun, yang pada siang hari menjadi penghalang sang surya memancarkan teriknya. Suasana mendung senantiasa menggantung, menciptakan aura mistis yang mendayu. Terlebih bila malam tiba, suara lolongan anjing terdengar dari arah makam Astana Sakti, namun tak pernah terlihat wujudnya. Petir pun kerap menyalak menjelang isya. Kesaksian akan munculnya mahluk halus seperti kuntilanak, sundel bolong, genderuwo, babi ngepet, tuyul adalah bahan obrolan sehari-hari warga di warung kopi. Bahkan kasus penculikan anak kecil oleh kolongwewe saat maghrib juga bukan hal asing. Hal itu membuat para ibu melarang keras anak-anak mereka keluar rumah saat matahari telah condong ke barat.

Beragam kejadian mistis di daerah ini bermula dari kuburan keramat, Makam Astana Sakti. Banyak kuburan dukun sakti dan pendekar berilmu tinggi di sana menjadikan wilayah tersebut mengeluarkan aura angker. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan niat orang untuk datang berziarah ke tempat pemakaman umum tersebut hingga sekarang. Bukan hanya sekedar berziarah, namun juga untuk aktivitas mistis dan keramat, seperti meminta pesugihan agar dagangannya laris dan cepat kaya, ada juga yang menyalahgunakan makam tersebut untuk meminta pelet pencari jodoh, memelihara tuyul, bahkan menyerang lawan bisnis dengan santet, atau menambah kesaktian kebal tusuk (Batu Karang) agar ditakuti orang. 

Siapa pun yang datang mengunjungi area pemakaman tersebut, langsung merasakan aura mistisnya sejak melangkahkan kaki melewati jalan setapak yang seperti terowongan alami dibentuk deretan pohon-pohon bambu di kanan dan kiri. Angin yang bertiup semilir menghembuskan hawa dingin menusuk tulang serta menimbulkan suara desiran laksana jerit kesakitan perempuan dari kejauhan. Tak heran, hanya orang-orang dengan nyali baja yang sanggup memasuki area ini, meski dada berdegup kencang hingga bulu kuduk pun ikut berdiri. Suasana siang hari saja semenjeramkan itu, apa lagi di malam hari. Nyaris tak ada orang yang berani bertandang setelah matahari silam di peraduan.

Aura semakin menakutkan ketika berada tepat di tengah kuburan. Sebuah pohon beringin yang sudah sangat tua berdiri kokoh menaungi pekuburan itu. Konon, di situlah tempat jin-jin jahat tinggal. Kadang kala orang sakti menjadikan area ini untuk tempat bertapa dengan harapan mendapatkan ilmu kebatinan dan kesaktian yang semakin tinggi. Jawara pencari ilmu kebal, ilmu menghilangkan tubuh, membunuh setan, santet atau kesaktian lain kerap mengunjungi tempat ini, memperdalam kesaktian yang terkadang disalahgunakan untuk ilmu hitam. 

***

Azan isya telah cukup lama usai berkumandang. Suara langkah sekelompok pemuda menapaki jalanan kampung terdengar jelas, mengalahkan jeritan serangga malam dari balik dedaunan. Peronda malam itu telah berkumpul di depan balai desa, terdiri dari Yayan, Encep, Didin, Toha, Ibra, Udin dan Ujang. Seharusnya ada satu orang lagi, yaitu Acep sang jagoan kampung. Ronda seharusnya dimulai setelah isya dan selesai sebelum subuh, tetapi mereka belum bergerak juga karena Acep sang jagoan belum hadir padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Mereka mulai khawatir karena sesaat lagi harus berjalan keliling kampung. Bila ketahuan oleh Pak Kades satu orang tidak hadir, maka sudah dipastikan Pak Kades akan marah.

Iyeu kumaha Acep can aya, tungguan atau tinggal?2” kata Encep mengungkapkan kegalauannya. 

Tos lami telat na, bisi pak Kades ngamuk!3” Yayan menjawab ketus.

Putuskeun regu saja, pake hompimpa!4” Toha menambahkan. Semua anggota mengangguk setuju. Segera saja mereka hompimpa. Hasilnya Yayan berjalan meronda dengan Ibra, Didin dengan Toha, Udin dengan Encep dan terakhir Ujang dengan Acep.

Astaghfirullah! Aing sama Acep!” jawab Ujang bernada protes. 

Teman-temannya malah tertawa terbahak-bahak, seolah bersyukur dengan keluarnya hasil undian tersebut. Mereka menilai Ujang dan Acep adalah pasangan yang ideal, karena Ujang terkenal kocak dan ceplas-ceplos tapi sangat penakut sedangkan Acep sebaliknya, pemberani, tetapi sangat sembrono dan sombong.

Akhirnya regu ronda yang sudah lengkap langsung berangkat menjalankan tugas berkeliling kampung sesuai rute masing-masing, meninggalkan Ujang sendirian.

Tungguan urang atuuuh.5” Ujang mengiba dengan nada memelas.

Mbung!6” kata teman-temannya kompak menolak.

Good bye my love .…” Toha berkata sambil melambaikan tangan. 

“Heh …. Inget Jang, ayeuna malam Jumat kliwon.7” Mendadak Ibra berseru.

Daek salameut Gusti. Hampuraaa! Tungguan atuh sakeudap.8” Ujang kembali mengiba kepada teman-temannya. Namun mereka tetap berangkat untuk ronda tanpa menghiraukan permohonan Ujang. 

Ujang berdiri sendirian menunggu Acep, berusaha mengusir dingin dengan menyelimutkan sarung menutupi badannya. Mulutnya komat-kamit membaca doa apa pun yang dihapalkannya selama sekolah madrasah.

Bismika allohumma ahyaa wa bismika amuut.” Ujang berdoa dengan khusyuk.

Maneh rek sare?9” Acep bertanya dalam kegelapan sebuah suara terdengar dari kegelapan mengejutkan Ujang hingga melompat ketakutan.

Hampuraaa … Juriiiigggg!!! Hampuraa!10” Ujang berseru sambil menutup mata rapat-rapat.

Belegug sia.11” Suara itu menyawab, dan sosoknya muncul dari kegelapan. Ternyata Acep, pasangan ronda yang ditunggu Ujang sejak tadi. Acep tertawa melihat Ujang memegang obor dan gemetaran. 

Aduh kasep. Timana wae atuuh, iyeu tos pukul salapan maleum. Teulat Kang Acep ...,12” kata Ujang menumpahkan isi hatinya.

Cicing sia! Barudak-barudak kamana?13” Acep heran melihat Ujang sendirian.

Ngaronda Kang!14” jawab Ujang yang masih kesal.

Anjing! Geus teu ngaharga’an Aing!15” Acep emosi mengetahui teman-temannya pergi duluan.

Akang nu salah nteu disiplin! Ronda mulai pan jam tujuh malam,16” ujar Ujang.

Kalimat Ujang membuat Acep semakin marah dan membuat matanya melotot murka. 

Sia ngomong naon!!17” Acep menyerang Ujang dengan menarik kerah baju Ujang dengan tangan kiri dan tangan kanan mengepal hendak meninju Ujang. 

“Ampuuuuun Kang Acep!” Ujang teriak sambil menunduk.

Aing sahaaa!18” Acep bertanya sembari mumbusungkan dadanya yang bidang.

Pangkasepna sakampung.19” Ujang menjawab ketakutan.

Aing saha!!” tanya Acep sekali lagi sambil memamerkan otot bisepnya yang kekar.

Idola awewe sa Cicalengka.20” Ujang masih ketakutan.

Lihat selengkapnya