Azan subuh berkumandang dari sebuah musala sederhana di kampung Pungkur Desa Cicalengka Kulon. Musala kecil yang rapi dan bersih dengan kapasitas lima belas orang itu milik keluarga Amir yang sehari-hari digunakan untuk salat berjamaah bersama tetangga sekitar. Nyala lampu minyak menemani kegiatan subuh, karena di tahun 1970an aliran listrik belum sampai ke desa Pungkur dan sekitarnya yang terletak di kaki gunung tidak terlalu jauh dari kota Bandung. Hanya beberapa keluarga kaya sanggup memakai genset. Keluarga Amir hidup sederhana namun cukup dihormati karena reputasi Amir yang baik di mata masyarakat.
Amir adalah bapak dengan dua anak. Kedua anaknya bersekolah di pesantren dekat rumah mereka. Anak tertuanya Novi berusia 5 tahun dan anak kedua Erpin berusia 3 tahun. Istri Amir bernama Julaeha, seorang perempuan berparas manis dan pandai memasak. Amir dan Julaeha dikenal sebagai keluarga yang harmonis dan rukun, sehingga sering disebut sebagai contoh yang baik oleh warga sekitar.
Amir, berusia lewat seperempat abad, bekerja sebagai pimpinan di Koperasi Desa bidang agraria, yaitu padi dan hasil kebun. Berangkat kerja naik sepeda ontel setiap pagi pukul 06.30 tepat adalah rutinitas Amir. Amir senang bersepeda pagi-pagi saat udara sejuk sembari menikmati pemandangan indah desanya menuju kantornya di alun-alun. Pada masa itu sepeda ontel adalah moda transportasi yang lazim digunakan rakyat kebanyakan. Warga yang memiliki mobil hanya 4 orang, yaitu Pak Bupati, Camat, H. Edet, Renternir Koh Alim dan Komandan Batalion setempat. Sementara yang memiliki sepeda motor hanya tiga belas orang.
Pagi hari matahari bersinar cerah saat Amir mengendarai sepeda untuk pergi bekerja sambil sesekali menyapa tetangga yang dijumpai di jalan. Kemudian dia menuju ke arah kota melintasi pasar dan warung Ceu Ida yang cantik tetapi dibenci oleh ibu-ibu sekampung. Amir melihat suasana di warung pagi itu tidak biasa, terlihat heboh. Pedagang dan pembeli tampak membicarakan sesuatu sambil tertawa terpingkal-pingkal. Rasa penasaran membuat Amir berhenti dan mampir ke warung Ceu Ida untuk sekadar mencari informasi.
“Ada berita apa, ya, kok heboh?” Amir bertanya pada seorang pria yang duduk paling dekat pintu di warung Ceu Ida.
“Acep Pendekar Golok Setan dari Desa Jawara itu katanya diculik kuntilanak, terus diperkosa, katanya. Hahaha ....” Pria paruh baya itu menjawab dengan bersemangat.
“Diperkosa kuntilanak? Hamil?” Amir heran.
“Maneh teh sarua gobloknya siga Acep!1” jawab pria di warung.
“Bukan diculik, tapi dikeroyok jin, lalu dibunuh!” Ceu Ida yang muncul mengantarkan kopi untuk pembeli ikut menyawab.
“Dibunuh? Aya-aya wae.” Amir menggelengkan kepala pelan.
“Ntong sombong maneh, zaman para nabi ada ceritanya putra nabi dibunuh jin,” kata seorang pria lain di warung.
“Pak Kades belum datang, ya, Ceu?” Amir bertanya pada Ceu Ida yang sedang mengangkat gelas-gelas kopi kosong dari meja.
“Belum, tumben jam segini Pak Kades belum ngopi. Pak Amir geus ngopi?” Ceu Ida menjawab sambil tersenyum ramah seperti biasa.
“Saya pamit dulu Ceu. Terima kasih. Assalamu’alaikum,” Amir bergegas pergi mengabaikan tawaran minum kopi di warung untuk melanjutkan perjalanannya ke kantor Koperasi Desa. Warga di warung menjawab salam Amir lalu melanjutkan obrolan mereka.
Kabar tentang Acep menjadi perbincangan seru hingga menyebar ke desa-desa sekitar, apa lagi ditambah bumbu cerita-cerita lucu. Sebagian warga ada yang senang mendengar cerita itu, tapi ada yang iba dan ada juga yang cemburu, yaitu gadis-gadis yang dipacari Acep. Mereka tidak sudi Acep dikabarkan terkena bujuk rayu kuntilanak cantik bahkan selingkuh dengan deudeumit2.
***
Adang, Kepala Desa Cicalengka Kulon termasuk salah satu orang yang dibuat pusing oleh kabar tragedi yang menimpa Acep, padahal masalahnya sendiri sudah banyak. Di usia sekitar 55 tahun, tubuh Adang tampak tegap lantaran dia adalah mantan komandan tentara laskar, pensiunan tentara dengan pangkat kapten. Masalah utama yang menggelayuti pikiran Adang adalah hutang yang menumpuk dan makin bertambah bunganya akibat biaya kampanye pilkades. Kemenangannya dalam pemilihan kepala desa tempo hari harus dibayar mahal. Hutangnya berbunga dan bunganya bertambah terus karena meminjam dari renternir yang terkenal pelit dan raja tega, Koh Alim. Meski terlilit masalah hutang, Adang mengelola dana desa dengan cermat dan hati-hati, karena takut ketahuan korupsi, maka Adang berusaha mencari solusi membayar hutang dengan membeli judi togel. Akan tetapi, selama ini selalu apes, tidak ada satu nomor pun yang dibelinya tembus dan menghasilkan hadiah. Rugi terus!
Pagi itu Adang bersama pengawalnya, Codot, mampir ke warung Ceu Ida yang lokasinya tidak jauh dari kantor desa. Codot, pria muda berambut ikal, sedikit monyong, berkulit hitam, kurus dan jago silat ini sudah lama menjadi orang kepercayaan Adang, asisten merangkap tukang pukul bila diperlukan. Codot pun tahu bahwa bosnya, Pak Adang, diam-diam punya hubungan khusus dengan Ceu Ida, pemilik warung yang ramah pada semua pelanggannya.
Adang diikuti Codot tiba di warung yang ramai sembari membalas sapaan beberapa orang warga. Adang memesan sarapan dan kopi tubruk asli desa Cicalengka Kulon lalu duduk di kursi kerajaannya, tempat yang biasa dia singgahi setiap ke warung Ceu Ida.
“Darling, seperti biasa Aa pesan mi rebus telur dan kopi tubruk panas,” kata Adang pada Ceu Ida yang menyambutnya dengan senyum ramah.
“Iya, pangeranku sayang,” Ceu Ida berbisik manja.
“Abdi pesen juga, kopi tubruk, Nyai.” Codot mengambil kesempatan ikut memesan kopi.
“Mbung! Bayar heula hutang nu kamari.” Ceu Ida menyawab judes.
“Bere atuh yayangku. Pesenan Codot tanggung jawab Aa3,” Adang menimpali sambil mengedipkan matanya dan tersenyum ke Ceu Ida. Ceu Ida tersenyum sambil berlalu dengan menggoyangkan pinggulnya yang seksi menuju dapur.
Pemilik warung, Ceu Ida, masih terlihat cantik dan memikat di usia pertengahan 30-an. Ceu Ida ditinggal pergi suaminya, padahal wajahnya geulis, kulitnya cerah, giginya putih rapih, dengan bibir tipis merah delima yang kerap menyunggingkan senyum dan sapa. Tatapan mata Ceu Ida selalu ramah, kadang mengerling manja. Tubuhnya terawat dan selalu harum meski seharian menjadi komandan di warung makan miliknya. Konon katanya Ceu Ida diam-diam menjadi simpanan Pak Kades, Adang.
Pak Adang bertanya ke salah satu pemuda di warung, Didi. Di meja sebelah tampak Didi, pemuda awal 20-an tahun sedang asyik bercanda dengan teman-teman sebayanya.
“Didi, nomor togel nu kaluar sabaraha?”
“Salawe4, Pak Kades.” Didi menyawab sambil asik mengunyah bala-bala yang masih hangat.
“Salawe deui, goblok sia! Salawe deui rugi Aing!” Pak Adang kesal.
Tak lama kemudian tiba di warung tersebut Zainul, pria paruh baja dari Minang yang sudah lama tinggal di kampung Kulon. Ceu Ida datang mengantarkan pesanan Pak Kades dengan ceria, meletakkan makanan di meja sembari mengerling manja pada Pak Kades. Zainul masuk dengan wajah kesal dan kecut karena kalah judi togel dan duduk samping Pak Adang.
“Pesan apa, uda?” Ceu Ida menyapa Zainul.
“Kopi!” Zainul menjawab singkat.
“Kopi apa, uda?” Ceu Ida ingin tahu apakah kopi hitam atau kopi susu.
“Kopi kampret!” Zainul menjawab ketus.
“Uda marah?” Ceu Ida terkejut.
“Maaf, ya, Geulis. Uda keceplosan. Kopi hitam.” Zainul bicara dengan lebih lunak.
“Eleh deui Nul?” Pak Adang menyapa Zainul, sudah paham bahwa Zainul suka memasang togel juga seperti dirinya.
”Muhun, Pak Kades. Abdi pasang nomor 52, eeeh anu keluar salawe. Keuheul pisan. Sudah seratus kali pasang, kok meleset, padahal rumusnya sudah betul, apes ini namanya Pak Kades.” Zainul menggerutu.
“Rumus apa Nul?” Pak Adang penasaran.
“Rumus Phytagoras, Pak Kades!” Didi dan beberapa pemuda di warung nyeletuk bercanda. Zainul naik pitam dan berdiri mau menghampiri para pemuda, tapi dicegah oleh Pak Adang. “Tenang Nul,” ucap Pak Adang.
“Barudak, tong sakali lagi gitu ka kolot nya!” kata Pak Adang tegas.
“Siap salah Pak Kades, hampura Pak Zainul,” jawab Didi mewakili teman-temannya.
“Judi itu tidak ada rumusnya seperti matematika, rumus judi itu hanya sewa Jurig, Pak Kades.” Didi menambahkan, bernada pembelaan diri.
“Di, Pak Zainul ini lagi sedih karena kalah terus pasang togel. Saya juga. Jadi, kita harus ada empati terhadap orang yang berduka!” jawab Pak Adang.
“Betul sekali Pak Kades, tapi jika Pak Kades ingin menang togel harus kerja sama dengan jurig, kalau tidak, susah menang dan ada syaratnya. Jadi, kesimpulannya itu rumusnya untuk menang.” Didi menjawab panjang lebar dengan penuh keyakinan.