Saat kita tertidur, pernahkah kita tidak bermimpi apapun dan sejauh mata memandang yang tampak hanyalah kegelapan saja? Kemudian, tiba-tiba kita terbangun tanpa mimpi apapun selain dari kegelapan itu.
Tetapi, bagaimana apabila seandainya kita tidak dapat terbangun dari mimpi penuh kegelapan tersebut, yang bahkan mungkin nyata dan bukanlah mimpi?
Mungkin memang tidak masuk akal, namun kegelapan ini rasanya bukan mimpi dan terasa sangat nyata. Ia sudah mencoba sekuat tenaga untuk terbangun, mencoba berteriak minta tolong kepada siapapun—terutama Tuhan yang sudah jarang dipikirkan dan diucapkannya—untuk menyelamatkannya dari kekelaman itu. Tetapi usahanya berbuah sia-sia, suaranya tidak dapat keluar dari bibirnya. Ia pun masih terus terjebak dalam kegelapan yang seolah menghisap energinya perlahan-lahan. Mengapa aku tak mati saja sekalian, pikirnya.
Ia pun mulai lelah untuk mencoba terus berontak. Akhirnya, ia menyerah dan hanya bisa menunggu dalam kegelapan sambil berharap tidak akan terjadi apapun atau tidak akan ada makhluk aneh yang tiba-tiba muncul dalam kegelapan, sembari mencoba mengingat kembali kehidupan yang telah ia lalui selain daripada kegelapan ini untuk beroleh sedikit penghiburan. Namun, ingatannya ternyata segelap dan sekosong penglihatannya kini. Ia tidak dapat mengingat apapun, bahkan termasuk siapa dirinya. Apakah ia pernah punya mimpi? Apakah ia pernah punya ambisi? Sayangnya, sejauh ini yang dapat ia ingat dan rasa hanyalah kesedihan. Bersama dengan pikirannya yang semakin bergerak menjauh namun tak kunjung menemukan apapun, air mata pun mulai jatuh dari matanya yang tak dapat terbuka sedari tadi. Yang lebih menyedihkan adalah, tangannya pun tak mampu menggapai dan menyeka air matanya yang berlinangan.
Ia pun nyaris kehilangan kesadarannya lagi. Tetapi, seketika ia merasakan ada sedikit perubahan dalam kegelapan yang pekat itu. Kemudian, kekuatan yang entah darimana asalnya membuatnya dapat dapat menggerakan bagian-bagian tubuhnya sedikit demi sedikit.
Hitam kelam pun perlahan berubah menjadi kelabu kala ia akhirnya mulai bisa membuka matanya perlahan-lahan dengan sekuat tenaga. Hanya kelabu saja, tidak tampak apapun selain daripada kabut kelabu yang menghalangi pandangan. Bukannya dia tidak berusaha menyingkap kabut tersebut, namun upayanya tidak berbuah hasil karena kabut tersebut seolah diciptakan untuk tidak dapat disentuh.
Walaupun kelabu memang lebih cerah dari hitam, namun tetap saja tidak mencerahkan semua tanda tanya yang berkelebat di benaknya akan semua hal, yang seburam dan sekeruh kabut yang menghalangi pandangannya sejak ia membuka mata.
Apakah aku sudah mati? Apakah ini yang namanya neraka? Apakah ini baru jalan masuk menuju neraka? Karena tidak mungkin surga sekelabu ini. Toh aku tidak mungkin juga masuk surga.
Ia pun termenung dengan pemikirannya sendiri yang sebegitu yakinnya bahwa ia tidak akan masuk surga. Memangnya apa yang sudah dia perbuat? Lalu mengapa sekarang dia di sini? Sudah matikah dia? Kalau benar dia sudah mati, mengapa ia bisa mati?
Tiba-tiba, sedikit kabut tersingkap dan langit malam pun mengintip dari antara celah kabut tersebut. Langit dengan penuh bintang-bintang, beserta satu bintang paling besar dan bersinar yang terletak di tengah-tengah bintang-bintang pengiringnya tersebut. Tetapi kemudian, satu bintang yang paling megah bersinar itu pun terjatuh. Oh, inikah kali pertamanya melihat bintang jatuh?
Jadi, apakah ini jalan menuju surga ataukah neraka? Neraka di belahan galaksi mana pula yang terdapat bintang jatuh? Ia pun masih bertanya-tanya. Namun, kepalanya terasa sakit sekali—entah karena banyaknya pertanyaan dalam pikirannya atau karena tiba-tiba ia mengingat sesuatu—atau karena ia masih bingung apakah sesungguhnya ia masih punya kepala?
Bersama dengan puluhan tanda tanya yang disimpannya, ia mencoba menoleh ke pergelangan tangannya, di mana urat nadinya terletak. Ternyata ia masih punya pergelangan tangan, dan badan. Aneh, padahal tadi pikirnya ia sudah mati dan hanya tinggal serpihan debu saja. Ia pun mendapati sebuah gelang yang melingkari pergelangan tangannya yang bertuliskan sesuatu.
Kepalanya semakin pening dan berputar. Seketika ia pun ingat, bersama dengan bayangan bintang jatuh di depannya yang meledak dan memancarkan seberkas cahaya—bukan, api.
Namanya Bintang.
***
Lagi-lagi hitam kelam, namun kali ini hitam kelam ini memang nyata adanya karena Bintang yakin ia sudah membuka matanya. Bintang pun hanya bisa pasrah kalau memang ini perhentian terakhirnya yang bahkan ia tak tahu di mana, yang tidak mungkin bernama surga karena surga manakah yang hitam atau kelabu? Sepertinya di kitab suci manapun tidak pernah ada surga atau neraka yang bernuansa monokrom seperti ini.
“Bintang?” Yang dipanggil pun terkesiap dan seketika menoleh ke asal suara yang memanggilnya tersebut. Dari belakang, muncul sosok yang seperti manusia dengan jubah panjang bermandikan cahaya putih. Sedikit mirip malaikat maut, bedanya jubahnya berwarna putih bersih dan penuh cahaya—yang menerangi kegelapan di tempat di mana Bintang berada. Bintang masih dapat melihat wajahnya—syukurlah, Bintang sedikit lega karena makhluk ini masih memiliki wajah—dengan bola mata lebar dan hitam, hidung sedikit mancung, janggut tipis menghiasi bibirnya yang lebar, dan kulit yang sedikit transparan sehingga Bintang tak dapat mendefinisikan warna kulitnya. Bintang pun kaget dan makin bingung karena seingatnya dan sepengetahuannya, sepertinya tidak ada jenis setan atau iblis yang sebercahaya ini.
“Ya…?” Hanya itu yang keluar dari bibir Bintang, saking banyaknya tanda tanya yang ingin ia utarakan dan tak tahu mana yang harus disuarakan lebih dulu. Siapa aku? Oh iya, aku kan Bintang. Tapi siapakah Bintang? Di mana aku? Apa aku sudah mati? Apakah ini neraka? Apakah semua iblis berwujud seperti Anda, bukan seperti yang di film-film? Dan lain sebagainya.