Bintang masih belum terbiasa dengan rutinitas membosankannya. Bagaimana tidak? Ia tidak bisa melakukan rutinitas manusia pada umumnya seperti bangun tidur, mandi, makan, dan lain sebagainya. Secara teknis, posisi Bintang sekarang adalah makhluk halus yang tidak butuh tidur, mandi, dan makan. Tak dapat dipungkiri, Bintang sedikit rindu rasanya menjadi manusia yang terlihat bebas untuk melakukan apapun yang diinginkannya, tidak seperti Bintang yang tak dapat melakukan apa-apa dalam keterbatasannya sebagai makhluk halus. Padahal, ia sendiri lupa bagaimana rasanya menjadi manusia. Apabila Bintang dapat mengingat kembali kehidupannya, masihkah ia rindu sekaligus dengki dengan manusia?
Walau banyak mahluk halus dan makhluk tidak halus di sekitarnya, untuk bicara pun juga rasanya malas sekali. Bosan dan sepi pun sudah menjadi keseharian Bintang selama berada di sini. Bintang pun terus bertanya-tanya sampai kapan sesungguhnya ia akan terus begini. Apakah ia lebih baik hidup saja? Atau lebih baik mati saja sekalian—toh ia sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, yang berarti mati untuknya lebih baik daripada hidup?
Bukannya Bintang tidak penasaran akan masa lalunya saat ia masih hidup. Karena Bintang masih dapat melihat dimensi manusia, Bintang sesekali menengok tubuhnya yang tergolek lemas di kasur rumah sakit, walaupun jarang sekali karena jujur ia sangat risih melihat secara langsung tubuhnya sendiri seperti melihat orang lain, terutama saat melihat wajahnya Bintang ingin tahu seperti apa keluarganya, atau orang-orang di sekitarnya saat ia masih hidup. Namun, sampai saat ini, tidak kunjung datang siapapun yang menjenguk Bintang. Padahal, Bintang pikir kisahnya ini akan menjadi seperti adegan sinetron di mana orang-orang terdekat si tokoh yang sekarat akan menangisi tokoh tersebut—ah, serius deh, gara-gara terkurung di dunia sempit sialan yang merupakan kombinasi antara rumah sakit dan dunia ajal ini, Bintang terlalu banyak melihat sinetron sepertinya. Atau setidaknya mungkin seperti pasien di kamar sebelah yang mengalami kecelakaan mobil dan sekarang juga sedang sekarat, di mana istri dari orang itu terus menunggu di sampingnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun atau setetes air mata pun, sedangkan jiwa orang itu—yang dapat Bintang lihat di dunia persimpangan—hanya bisa menontoni pemandangan istrinya yang menunggunya. Bukannya orang itu tidak mencoba untuk hidup kembali, ia sudah berkali-kali mencoba memasuki tubuhnya sendiri, namun tidak mempan. Menyedihkan. Mirip dengan adegan FTV yang ditontonnya beberapa hari lalu.
Namun, Bintang mungkin jauh lebih menyedihkan daripada pasangan suami istri tersebut ataupun adegan FTV yang ditontonnya, bahkan tidak ada satupun orang yang datang membesuknya. Boro-boro menunggu atau menangisinya. Apakah selama hidup Bintang juga begini, selalu sendirian? Sehingga ia sampai memutuskan untuk mati saja.
“Permisi.” tiba-tiba, sesosok makhluk halus muncul di belakang Bintang. Makhluk itu berbadan tinggi dan kurus dengan mata cokelat bening yang tidak seperti mata orang Indonesia pada umumnya, hidung mancung, dan bibir tipis. Tidak seperti Dedi yang transparan, makhluk ini dan juga makhluk-makhluk seperti Bintang memang tidak transparan. Warna rambut dan kulitnya masih terlihat, layaknya manusia biasa. Orang ini—bukan, makhluk ini—berambut coklat kemerah-merahan dan berkulit putih seperti porselen. Makhluk ini seperti memiliki keturunan barat. Ingin rasanya Bintang bertanya, barangkali makhluk ini tadinya aktor? Namun dipikir-pikir, untuk apa? Informasi yang tidak ada gunanya. Siapapun mereka saat hidup, sepertinya mereka semua sama saja di dunia persimpangan ini, sama-sama tak berdaya.
“Ya..?”
“Ya, permisi. Saya mau lewat. Anda menghalangi jalan saya.” kata orang itu dengan sopan, walaupun bila diperhatikan, kata-katanya sedikit tajam.
“Lewat-lewat aja sih, lagi pula kita kan sama-sama makhluk halus yang sudah seperti angin saja, tinggal lewat.” Bintang pun sedikit terpancing emosi. Namun, orang itu tidak terpancing emosi, malah bergumam kepada dirinya sendiri, oh iya ya. Ia pun berjalan melewati Bintang.
“Tunggu.” Bintang memanggil makhluk itu. Makhluk itu pun berhenti dan menoleh ke arah Bintang. “Namamu siapa? Kamu baru ya di sini?” tanya Bintang, dan entah karena Bintang merasa orang itu seumuran dengannya atau karena sedikit emosi, Bintang tidak sungkan untuk memulai pembicaraan.
“Saya sudah lumayan lama di sini, namun masih belum ingat siapa nama saya.” jawab orang itu, masih berusaha formal.
“Aduh.. Kan kamu hanya perlu lihat badan perlu di kasur rumah sakit, ada namamu bukan?” suasana hati Bintang pun berubah dari sedikit emosi menjadi lumayan emosi.
“Oh iya ya.”
***
“Salam kenal, Langit Senja.” ujar Bintang sambil menyodorkan tangannya, setelah melihat nama yang tertera di gelang yang melingkar di pergelangan tangan tubuh Langit yang terbaring di kasur rumah sakit. Langit pun menjabat tangan Bintang, walaupun secara teknis tangan mereka juga tidak dapat bersentuhan karena mereka transparan. Bintang juga sedikit heran, mengapa nama makhluk itu juga nama elemen alam semesta? Apakah para orang tua mereka pada jamannya gemar memberi nama anak mereka dengan elemen-elemen alam karena kehabisan ide nama-nama bagus?
Namun, Bintang menyadari sesuatu. Ada yang aneh pada pergelangan tangan Langit—yang terkapar di rumah sakit.
“Apakah kamu juga bunuh diri, Langit?” tanya Bintang, ragu-ragu. Ia enggan dan sungkan untuk bertanya, namun di sisi lain rasa penasarannya mengalahkannya. Ia penasaran akan luka gores di pergelangan tangan Langit. Dan juga ada sedikit keinginan untuk mencari teman yang senasib dengannya.
“Aku juga tidak ingat. Tetapi, sepertinya aku merasa tak punya urgensi untuk mengakhiri hidupku sendiri,” jawab Langit, tanpa keraguan sedikit pun. “Sejak awal kemunculanku di sini, doaku hanya satu, yaitu untuk dapat segera hidup kembali.”
“Iya, dia tidak bunuh diri.” tiba-tiba, D alias Dedi sudah muncul saja di antara mereka seperti setan. Oh iya, dia kan memang setan, eh, malaikat maksudnya.
“Lantas…?” Bintang dan Langit pun bertanya-tanya. “Dibunuh?!” Bintang berteriak histeris. Ia tak habis pikir, siapa yang tega-teganya membunuh orang yang kelihatannya baik hati, santun, dan ramah seperti Langit?
“Bukan. Ia mengalami kecelakaan.” jawab Dedi.
“Kecelakaan apa?”
“Banyak tanya. Nanti kamu juga tahu.”
“Apaan sih, Om D? Dari kemarin sok rahasia terus.” tukas Langit. Bintang pun tertawa terpingkal-pingkal mendengar Langit memanggil Dedi dengan sebutan ‘Om’, bahkan lebih parah darinya yang asal memanggilnya dengan panggilan Dedi.
“Kenapa kau dipanggil Om?” tanya Bintang, masih terkekeh.
“IYA, PADAHAL SAYA KAN SUDAH BILANG SAYA BUKAN OM KAMU—”