Bintang sudah tidak menghitung lagi hari demi hari yang berlalu dengan sia-sia sejak peristiwa di tempat makan—kala Dedi memberikan perintah untuk mencari jati diri kepada Bintang dan Langit. Bintang masih tidak menemukan dan mengingat apapun, pun orang yang dikenalnya semasa hidup karena tidak ada satupun yang pernah mengunjungi Bintang. Jangankan Bintang, Langit pun juga masih tidak dapat mengingat apa-apa. Padahal, tidak seperti Bintang, sudah ada beberapa orang kerabat yang datang mengunjunginya. Yah, tetapi apa yang dapat diharapkan dari kerabat yang datang berkunjung? Toh mereka hanya berkunjung sekejap saja, dan kembali pulang begitu mendapati Langit yang belum tersadar.
Namun, semua yang mengunjungi Langit terlihat sepantaran dengannya. Mengapa orang tua Langit tidak datang mengunjungi Langit? Apakah mungkin sebelum Bintang mengenal Langit, orang tua Langit telah terlebih dulu mengunjungi Langit? Ah, tapi Bintang terlalu malas bertanya. Atau jangan-jangan, Langit tidak punya orang tua? Bintang pun merasa iba kepada Langit. Namun, Bintang berkaca kepada dirinya sendiri dan malah semakin merasa iba kepada dirinya yang menyedihkan karena ia bahkan tidak punya siapapun.
“Langit, apakah orang tuamu pernah datang berkunjung?” lagi-lagi rasa penasaran Bintang melebihi rasa sungkan dan malasnya untuk bertanya. Barangkali, Bintang dapat menemukan teman yang senasib dan seperjuangan dalam berkawan dengan sepi.
“Pernah, sebelum aku bertemu denganmu.” jawab Langit. Ingin Bintang bertanya lebih lanjut, seperti apakah orang tuanya dan bagaimana perasaannya saat orang tuanya datang. Kemudian, dari siapakah wajah kebaratan Langit itu berasal. Tetapi kali ini rasa sungkan dan malas bertanya lah yang menang atas rasa penasaran Bintang sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya terpendam dalam lamunan.
“Aku punya ide.” Seru Langit, mengagetkan Bintang yang sedang mengantuk karena terlalu banyak melamun. Memang dunia ini sudah gila dan membosankan, mengapa juga makhluk halus yang tak perlu tidur bisa mengantuk?
“Bagaimana kalau kita mencari langit dan bintang?” lanjut Langit, mengemukakan idenya yang membuat dahi Bintang mengernyit.
“Hah? Apaan sih? Kau makin mirip Dedi aja, absurd dan tak jelas. Ini kan sedang mencari?”
“Bukan begitu maksudku. Maksudnya, mencari langit dan bintang sungguhan di luar. Yuk.”
“Oh. Bilang dong.”
“Ya kan aku sudah bilang tadi.”
“Tapi, memangnya bisa? Waktu itu aku sudah coba keluar dari rumah sakit ini, tapi tak bisa.”
“Apa salahnya dicoba sekarang?”
Bintang dan Langit pun berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Benar saja, mereka tidak bisa keluar. Sia-sia.
“Aku punya ide.” Kini, bergantilah Bintang yang memiliki gagasan ide.
“Apa?”
“Kalau mau lihat langit ngapain lewat sini, memangnya mau cari warung? Lihat langit ya di rooftop, lah.”