2010.
Memulai sebuah lembaran baru memang tidak pernah mudah.
Apa lagi untuk Bintang, yang baru saja resmi menjadi mahasiswa baru Arsitektur setelah mendapat penyambutan dari rektor beserta jajarannya yang sedang berdiri di panggung yang terletak tepat di tengah aula utama universitas. Jangan lupa para senior di sudut-sudut aula yang sedang mengamati mangsa-mangsa barunya yang berpakaian layaknya sales promotion (SPG) di department store, kemeja putih dan celana kain hitam. Ya, hari ini merupakan rangkaian ospek hari pertamanya di kampus yang baru. Kampus impian Bintang.
Bintang pun memelankan langkahnya, kemudian terhenti. Ragu.
Kampus impian Bintang? Kampus yang terletak di kota kembang ini mungkin memang impian hampir seluruh mahasiswa seantero nusantara, terutama untuk jurusan Arsitektur. Namun untuk Bintang? Entahlah. Di saat yang lain sangat antusias, bangga, dan bersemangat menjadi mahasiswa baru salah satu kampus terbaik di Indonesia ini, terutama untuk jurusan Arsitektur, Bintang merasa datar. Yang jelas Bintang sedang sangat mengantuk sekarang dan sedang berandai-andai apabila dia dikloning, kloningannya saja yang ikut ospek. Alangkah indahnya bila Bintang bisa menikmati sejuknya udara dingin kota kembang sambil tidur di kamar kost, bukannya duduk nggak jelas di aula kampus sambil mendengarkan ceramah, sambutan, apapun itu. Apalagi untuk besok dan mungkin selamanya, tidur akan menjadi hal yang langka untuk Bintang.
Tidak ada satupun yang Bintang kenal di kampus barunya, karena Bintang berasal dari Ibukota Jawa Timur, Kota Pahlawan, tak lain dan tak bukan adalah Surabaya. Jarang sekali ada mahasiswa rantau dari kota asalnya tersebut ke Bandung, karena di kota asalnya sendiri sudah banyak kampus yang reputasi dan kualitasnya cukup baik, jadi tidak perlu merantau. Hanya saja, kalau bukan nekat, namanya bukan Bintang. Pas dengan karakteristik orang Surabaya bukan? Bondo nekat.
Sejauh ini, Bintang sudah cukup lelah dengan percakapan tentang kota asalnya.
“Hai, kenalan yuk, nama lo siapa?” salah satu mahasiswa baru pun melambaikan tangan kepada Bintang dan mengulurkan tangannya. Bintang seketika linglung. Bintang pikir, tidak akan ada kendala atau perbedaan serius di Bandung untuk soal percakapan, ia jarang berbicara dengan Bahasa Jawa karena orang tuanya juga selalu menghimbaunya untuk membiasakan berbicara Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun Bintang lupa, bahwa tidak hanya Bahasa Indonesia yang harus dikuasainya, tetapi juga bahasa gaul ala kota-kota besar. Haruskah ia berbicara menggunakan gue-elo di Bandung?
“Gue Bintang.” jawab Bintang. Ah, sungguh, rasanya aneh sekali.
“Wah, Bintang, namanya bagus ya!”