Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #5

Langit

Langit Senja Kencana.

Ternyata itu namanya, yang tertera di name tagnya yang tertulis rapi, yang bahkan jauh lebih rapi dibanding tulisan tangan Bintang yang perempuan. Padahal tipikal orang setampan itu biasanya dinamakan orangtuanya George, atau Chris, atau nama kebarat-baratan lainnya, namun ternyata tidak halnya dengan Langit Senja.

Langit.

Kira-kira, bagaimana rasanya ya, menjadi Langit? Menjadi orang yang selalu dipandang dan dikagumi, persis seperti langit. Seperti namanya. Apakah langit pernah sadar, bahwa ia selalu dipandangi?

“Woi, jangan ngeliatin temen gue melulu. Istighfar!” Ucapan Dimas pun lagi-lagi membuyarkan lamunan Bintang. Siapa lagi yang gemar menganggu orang selain Dimas? Apabila selama hidupnya Bintang sangat ingin memusnahkan spesies kecoa dari dunia ini, kali ini hanya dalam waktu sehari saja, Bintang yakin ia lebih memilih untuk memusnahkan spesies Dimas daripada kecoa. Namun tadi apa katanya? Dimas teman SMA Langit? Mungkin mereka cukup dekat, dan mungkin Dimas sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kira-kira bagaimana ya rasanya menjadi Dimas? Padahal, menurut Bintang, Dimas juga tampan dan tidak kalah jauh dengan Langit. Selain kacamata bulatnya yang membuatnya terlihat keren sekaligus pintar, Dimas memiliki senyum yang manis dengan lesung pipi, dan juga tinggi badannya di atas rata-rata.

“Woi, lo sudah nggak ngelihatin teman gue tapi kenapa lo jadi ngelihatin gue? Istighfar!” timpal Dimas. Bintang pun segera menarik kembali pemikirannya tadi dan membuangnya jauh-jauh.

“JANGAN RIBUT KALIAN! KALAU RIBUT SAYA SURUH PUSH UP!” Ups, senior pun mulai berteriak. Unjuk kegagahan di depan mahasiswa baru bau kencur ini. Padahal senior yang berteriak tersebut, juga memandangi mahasiswa baru tampan bernama Langit Senja.

***

Satu kesan saja untuk ospek, lelah. Setelah melewati masa ospek yang sangat melelahkan tersebut, kini akhirnya tiba waktunya untuk benar-benar masuk ke dalam kehidupan yang sesungguhnya. Perkuliahan. Hari pertama kuliah pun dimulai, dan langsung dibuka dengan mata kuliah yang paling menakutkan bagi mahasiswa Arsitektur, tidak lain dan tidak bukan adalah Studio Perancangan. Studio Perancangan, yang biasanya disingkat hanya dengan ‘studio’ saja, memiliki SKS yang paling signifikan di antara mata kuliah lainnya dan juga memiliki jadwal paling padat, dua kali pertemuan dalam satu minggu yang masing-masing berdurasi delapan jam. Di depan ruangan studio pun, terdapat papan yang telah ditempel kertas berisikan kelompok-kelompok studio yang telah disusun oleh para dosen. Bintang baru saja sempat mencari namanya sekarang karena sejak tadi banyak sekali anak lain yang menyerobot berebutan melihat namanya masing-masing.

Ah! Ini dia. Ternyata Bintang masuk kelompok 1, mungkin karena Nomor Induk Mahasiswa (NIM)-nya 001, efek dari kedatangannya yang terlalu pagi ke pendaftaran ulang universitas. Bukan, Bintang sama sekali tidak serajin itu. Ia datang pagi hanya karena ia sudah lapar pada dini hari, lalu ia memutuskan untuk mencari bubur ayam sekaligus daftar ulang setelahnya, yang ternyata berbuah datang terlalu pagi saat daftar ulang dan mendapat NIM 001. Bintang pun kembali melihat daftar namanya. Setiap kelompok, termasuk kelompok 1, terdiri dari 8 orang yang semuanya belum ia kenal, dan… Langit Senja Kencana? Ternyata dia sekelompok dengan Bintang. Bintang belum pernah bicara, atau bahkan berkenalan, dengan Langit. Apakah dengan menjadi teman sekelompok dimata kuliah studio, yang sesungguhnya tidak terlalu banyak membutuhkan kerja tim karena mayoritas tugasnya individu, akan menjadi kesempatan bagi Bintang untuk banyak bicara dengan Langit?

Dari hari pertama, entah mengapa Langit sudah membuat Bintang penasaran. Bukan karena ketampanannya. James McAvoy juga tampan, namun tidak membuat Bintang penasaran. Entahlah, ada sesuatu yang aneh dan familiar dari Langit. Apakah ini hanya ilusi orang tampan?

“Hahaha! Ini kelompok apaan sih, masa nama-nama orangnya nama langit semua.” Seorang laki-laki pun tertawa, Bintang juga belum mengenalnya. Bintang menoleh padanya, sontak dia juga menoleh ke arah Bintang.

“Yang namanya Bintang itu elo kan?” tanyanya kepada Bintang. Bintang pun mengangguk.

“Nama kamu siapa?” tanya Bintang.

“Oh, gue Fajar.” jawabnya, sambil nyengir. “Abis Fajar, terus Langit Senja, habis gitu Bintang. Pas banget kan? Untung gak ada Matahari, Bulan, atau Awan sekalian. Lengkap deh.”

“Eits jangan salah, kan ada aku juga.” tiba-tiba Luna muncul dari belakang Fajar. Bintang sedikit kaget, karena tadinya ia pikir tak ada yang ia kenal di kelompok itu selain Langit. Namun, setelah Bintang melihat lagi daftar nama pada kelompoknya, ia baru menyadari bahwa nama lengkap Luna adalah Crystaluna. Pantas saja Bintang tadi tidak menyadari bahwa juga ada Luna di kelompoknya. Nama yang unik dan cantik, seperti orangnya.

“Lah, nama lo kan Luna? You definitely can’t sit with us,” sahut Fajar, sambil mengacungkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri.

“Luna kan artinya bulan,” ujar Luna.

“Hahh? Emang iya?!”

Lihat selengkapnya