Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #7

Teman

Arus pun membawanya yang hanya pasrah terseret sampai ke sini, ke dalam dunia arsitektur, yang belum pernah dan belum dapat Bintang bayangkan dalam masa depannya. Walaupun sudah memulai perkuliahan di jurusan arsitektur dengan cukup intens, Bintang masih tak dapat membayangkan dirinya bilamana menjadi seorang arsitek yang termasyhur suatu saat nanti. Tak cukup terbakar pula semangatnya untuk dapat membayangkannya.

Bintang selalu iri dengan orang-orang yang sudah memiliki mimpi dan ambisi, termasuk Langit. Bintang iri dengan bagaimana orang-orang menceritakan mimpi mereka dengan mata yang berkilat-kilat. Walaupun mimpi yang mereka ceritakan dengan berapi-api tersebut masih dalam bentuk wacana dan belum terealisasikan, namun menurut Bintang, memiliki mimpi saja sudah cukup dibandingkan dirinya yang hanya menjalani hari ini dan tidak tahu akan jadi apa hari esok.

Sama halnya seperti hari ini, hanya untuk makan siang saja, Bintang sangat kebingungan dalam membuat keputusan. Jujur saja, semenjak masuk universitas dan harus tinggal di kota kembang ini, Bintang merasa semakin melarat. Memang, tabungannya yang berupa uang hasil peninggalan ayahnya masih sangat lebih dari cukup. Namun, sampai kapan Bintang harus terus menggunakan uang peninggalan ayahnya tersebut? Bintang pun harus sangat berhemat dalam menggunakannya. Ingin sekali Bintang mencari pekerjaan paruh waktu untuk menghasilkan uang sendiri, namun jangankan untuk bekerja, untuk dapat tidur dalam satu jam saja sudah merupakan suatu mukjizat bagi mahasiswa arsitektur.

“Dor!” Fajar pun tiba-tiba sudah ada di belakang Bintang, bersama dengan Luna dan juga Omar, yang juga satu kelompok dengan mereka dalam mata kuliah studio. “Woi, kok ngelamun? Hati-hati loh, konon pohon ini katanya angker.” tanya Fajar, sambil memandangi pohon itu sambil menyipitkan matanya. Bintang pun sontak juga memandangi pohon itu dan bergidik ngeri. Seketika, Bintang bangkit dari tempat duduknya.

“Kok tadi kamu balik duluan, Bin? Kan padahal bisa bareng kita dari studio tadi,” tanya Luna.

“Iya, lapar banget.”

“Kamu lapar kok bukannya langsung makan, tapi malah jadi penunggu pohon?” timpal Luna. “Terus sekarang mau makan di mana?”

“Belum tahu…”

“Sama nih, kita juga lagi bingung. Lun, mau makan apa lo?” tanya Fajar.

“Hmm.. Terserah deh.” jawab Luna sekenanya.

“Oke, kita ke Terserah Café aja, yuk.” kata Fajar, sambil beranjak berdiri. Bintang dan Luna pun sama-sama mengernyitkan dahinya, sementara Omar hanya meringis melihat kelakuan temannya itu.

“Hah? Memang ada ya?” tanya Bintang.

“Jangan bercanda ya lo, Jar.” tukas Luna, sambil mengepalkan tangannya ke arah Fajar.

Ternyata, Terserah Café memang benar ada dan nyata. Kafe yang mengambil konsep outdoor ini—yang untungnya masih berkonsep, bukan konsep terserah—terletak di dalam gang seberang kampus mereka, dan memang baru buka sehingga belum banyak orang yang tahu keberadaan kafe tersebut. Bintang sangat kagum dengan konsep marketing kafe ini yang sangat menjawab keresahan orang-orang akan jawaban “Terserah” untuk pertanyaan “Mau makan di mana?”, sehingga dengan adanya kafe ini, orang akan langsung pergi ke sini apabila lawan bicaranya menjawab “terserah”.

“Habis makan, lanjut bikin studio di sini yuk.” ajak Omar.

“Boleh juga tuh. Tapi jangan lama-lama, nanti diusir.”

“Wah… Kalo bikin tugas paling enak di kosnya Langit sih, ruang tamunya lebar dan sejuk.” timpal Fajar, tanpa seizin empunya kos.

“Wah, bener banget sih. Sebentar, gue chat Langit dulu,” sahut Omar, sambil meraih ponselnya.

“Oke, habis ini gue langsung balik deh.” ujar Bintang.

“Lah, lo ikut aja Bin! Santai. Luna juga ikut aja. Sekalian nugas studio bareng, biar nggak ketiduran. Gue biasanya sering ketiduran kalau ngerjain tugas sendiri, terus gue sama Omar sudah beberapa kali bikin tugas bareng di kos Langit.” sahut Fajar.

“Iya, ini Langitnya santai kok, dia bilang kita semua boleh ke kosnya.” Omar pun juga menyahut. “Tapi katanya kita semua nanti harus bantu beresin kamar dia.”

“Jah! Ogah lah!” Bintang dan Luna pun menjerit histeris. Melihat kamar laki-laki saja mereka sudah malas, apalagi membereskannya.

Namun, setelah dibujuk oleh Fajar dan Omar, mereka semua akhirnya ikut ke kos Langit yang memang benar memiliki ruang tamu yang lebar, nyaman, dan memiliki jendela yang besar sehingga dapat membawa angin yang sejuk ke dalam ruangan. Di ruangan itu, mereka pun bersama-sama mengerjakan tugas untuk mata kuliah studio di ruangan itu. Seketika, ruang tamu yang semula kosong dan rapi, kini berubah menjadi bagai kapal pecah yang penuh dengan kertas, potongan karton dan grayboard yang digunakan untuk membuat maket. Tetapi, tak ada yang berniat membereskannya sebelum mereka menyelesaikan tugasnya, toh dibereskan nantinya juga akan berantakan lagi. Mereka tetap menyelesaikan gambar kerja dan membuat maket sambil asyik mengobrol. Fajar dengan Omar yang sedari tadi asyik guyonan sendiri. Luna dengan Langit yang terlihat sedang seru dengan obrolan mereka, mungkin karena pembawaan mereka berdua yang sama-sama ceria dan supel sehingga mereka cepat akrab. Sementara, seperti biasa, Bintang tidak banyak berbicara. Kepala Bintang juga sedikit pening karena tugas yang tidak kunjung selesai dan tidak dapat merampungkan dirinya sendiri.

“Kok diem aja, sis?” seseorang tiba-tiba muncul di depan Bintang yang sedang fokus dengan tugasnya, namun bukan Fajar, bukan Omar, bukan juga Langit atau Luna yang sedari tadi bersama dengannya.

“Wah, ada Dimzki nih di sini! Sini, gabung sama kita! Sini, duduk sini.” sambut Fajar dan Omar, sembari mengosongkan bangku di sebelah mereka untuk Dimas, yang tadinya penuh dengan tumpukan partisi maket. Telinga Bintang sedikit ngilu mendengar nama ‘Dimski’ yang terucap, ternyata tidak hanya ‘Langski’ yang menggelikan. Kepala Bintang yang tadinya sedikit pening pun semakin ngilu rasanya melihat pemandangan Dimas. Siapa sih yang bisa-bisanya mengundang Dimas ke sini? Sedetik kemudian Bintang dapat menjawab pertanyaannya sendiri, tentu saja siapa lagi kalau bukan sang empunya kosan. Kini, tekad Bintang untuk dapat pulang terlebih dahulu pun semakin besar.

“Gak ah, gue di sini aja, lebih lebar.” kata Dimas, sambil duduk di kursi sebelah Bintang yang memang sedari tadi kosong. Bintang pun memegangi kepalanya yang semakin pening.

“Bintang, kamu kenapa? Pusing ya? Kok wajahmu agak pucat,” tanya Luna. Ternyata, Luna peka sekali.

“Sedikit..” jawab Bintang.

“Oh, gue ada obat sakit kepala kok. Gue ambilin dulu di kamar ya.” Langit menawarkan diri.

“Eh, nggak usah Langit, merepotkan. Biar aku saja yang ambil sendiri.” Bintang pun menggelengkan kepalanya dan beranjak dari kursinya.

“Lo beneran puyeng ya Bin? Emang lo tahu kamarnya Langit kok main mau ambil sendiri aja? Sini, gue anter aja.” sahut Dimas, yang membuat Bintang ingin pulang saja rasanya karena tidak ingin melihat manusia yang satu ini. Bukan, bukan ingin pulang. Tapi ingin berkata kepada Langit bahwa ia tidak perlu obat sakit kepala, namun ia ingin agar Langit segera mengusir manusia pengganggu ini agar Bintang tidak melihatnya lagi dan tidak sakit kepala.

“Ah, kalian berdua, kenapa sih selalu akrab?” tanya Langit. “Ya udah sini Bintang sama gue aja yuk ambil obatnya ke kamar gue.” Langit pun beranjak pergi bersama Bintang.

“Eh, gue ikut dong! Mau sekalian minta karton nih!” Dimas pun juga beranjak dari tempat duduknya dan ikut bersama Langit dan Bintang.

“Modus mulu si Dimas, tapi kok salah caranya nyet,” timpal Fajar.

“Hahaha, iya, lihat Bintangnya jutek begitu.” sahut Omar, sambil tertawa. “Tapi gue rasa, si Dimas kok juga nggak sadar ya kalau dia sedang modus.”

“Bodo amat. By the way, si Langit juga kelihatannya suka sama Bintang nggak sih?” tanya Fajar. “Tadi dia langsung sigap nawarin obat begitu tahu Bintang pusing. Terus, inget nggak, waktu kita tugas disuruh gambar gedung hukum, mereka berdua udah datang duluan terus kelihatannya deket banget.”

“Yaelah, itu mah biasa aja kali! Gue ada bukti yang lebih hot. Lo nyadar nggak sih, kalau lagi di studio, Langit suka ngelihatin Bintang?” sahut Omar, yang sangat antusias.

“Hah? Masa sih? Perasaan lo aja kali, Mar! Lagipula, ngapain juga lo ngeliatin Langit?! Astaghfirullah, Omar.” tanya Fajar, sambil menutup bibirnya. Omar pun langsung melayangkan jitakan ke kepala Fajar.

Luna pun menatap mereka berdua dengan tajam. “Rumpi terus macam ibu-ibu arisan!” kata Luna, sambil menggelengkan kepalanya. “Ternyata, cowok juga bisa rumpi, ya.”

Lihat selengkapnya