Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #8

Pepotret

Sore ini terasa lebih sejuk dan lebih kelabu dibanding hari-hari biasanya, seolah hujan sedang menunggu dan menimbang kapan waktu yang tepat untuknya bergemuruh. Setelah merampungkan semua kelas pada hari ini, alih-alih langsung kembali ke kos dan tidur dengan udara yang sejuk ini, Bintang langsung buru-buru berlari menuju Gedung Rektorat. Katanya, Sektretariat Pepotret terletak tepat di sebelah Gedung Rektorat. Hari ini merupakan perkumpulan perdana Pepotret untuk semester ini, sekaligus perkenalan bagi anggota baru Pepotret.

Bintang pun menemukan Sekretariat Pepotret, sebuah ruangan yang kira-kira berukuran 5 x 5 meter, lebih lebar dibandingkan ruangan-ruangan seketariat komunitas mahasiswa lain pada umumnya, contohnya sekretariat himpunan mahasiswa yang kira-kira hanya berukuran 3 x 3 meter. Ruangan tersebut berdinding putih gading, dengan banyaknya foto-foto yang ditempelkan di dinding tersebut. Belum sempat Bintang melihat karya-karya jepretan Pepotret, sudah ada seseorang yang menghampirinya terlebih dahulu. Seorang gadis berambut pendek dan dihiasi bandana, jauh lebih pendek dari pada rambut Bintang yang panjangnya hampir sebahu.

“Hai! Lo anggota baru ya? Udah daftar kan waktu pengenalan UKM kemarin?” tanya gadis itu. Bintang mengangguk. Gadis itu pun mengulurkan tangannya, “Kenalin! Nama gue Reya.”

“Ah, maaf agak telat, Kak. Baru selesai kelas. Namaku Bintang.” Bintang pun menyambut uluran tangan tersebut sambil tersenyum.

“Lo dari jurusan Arsitektur ya?” tanya Reya.

“Kok tahu?” Bintang terkejut, padahal Bintang baru menyebutkan namanya.

“Iya, kelihatan dari dandanan lo yang agak edgy gitu. Hahaha..” jawab Reya. Bintang pun semakin terkejut dan bingung karena merasa penampilannya biasa saja dan merasa tidak terdapat unsur edgynya sama sekali. Bintang hanya memakai kemeja tipis agak longgar berwarna navy yang dimasukan ke dalam boyfriend jeansnya yang agak kekecilan, sehingga semakin menunjukkan siluet tubuhnya yang tinggi kurus itu. Bintang pun berkaca pada pintu Sekretariat Pepotret dan merutuk dalam hati mengapa tubuhnya seperti orang kurang gizi. Apakah ini yang disebut edgy? Lancip seperti pensil HB yang baru saja dibelinya. Aksesoris yang dikenakan Bintang juga biasa saja, hanya tas punggung berwarna tosca yang dibelinya bersama Luna dalam suatu bazaar brand lokal di Cihampelas Walk beberapa minggu lalu, dan juga sepatu keds kuning gading bermerek Bata yang dibelinya saat diskon 50%.

  “Ah, bisa saja.” jawab Bintang. “Kak Reya sendiri dari jurusan mana? Sudah tahun ke berapa di kampus?”

“Gue anak Hukum. Udah tahun ketiga nih, udah tua. Hahaha.. Sini, ayo kenalan sama yang lain.” Reya pun mengajak Bintang berkenalan dengan anggota senior Pepotret yang lain dan juga anggota baru. Para anggota baru rupanya sudah saling berkenalan terlebih dahulu sebelum Bintang datang. Mereka semua baik, ramah, dan asyik, tidak seperti yang Bintang kira bahwa pertemuan pertama UKM akan seperti adegan di film-film, di mana akan terdapat adegan perpeloncoan terlebih dahulu. Tidak ada satupun anggota baru yang berasal dari jurusan Arsitektur juga seperti dirinya dan entah mengapa, Bintang sedikit senang akan kenyataan itu. Entah karena Bintang senang karena mendapatkan teman-teman baru dari berbagai fakultas, atau Bintang sudah bosan melihat teman-teman seangkatannya di jurusan Arsitektur. Padahal, baru saja sebulan ia berkuliah. Bagaimana nasibnya selama empat tahun ke depan? Itu pun kalau Bintang lulus tepat waktu.

“Agenda hari ini masih santai, masih perkenalan aja. Minggu depan baru kita mulai pertemuan pertama, belajar pemotretan model. Sekarang ngobrol-ngobrol dulu aja, Bin, sama yang lain, boleh lihat-lihat juga foto-foto kita, sebagian besar hasil pameran semua, loh. Oh ya, sama ini gue kasih booklet Pepotret ya, buat dilihat di rumah.” papar Reya panjang lebar, sambil memberikan booklet Pepotret, yang memiliki sampul bernuansa monokrom dengan bahan hard cover. Bintang pun menerima booklet tersebut. Niat juga, nanti saja deh bacanya di kos, pikirnya, sambil memasukan booklet tersebut ke dalam tasnya.

“Boleh lihat-lihat, Kak?” tanya Bintang.

“Boleh banget, dong! Sok atuh mangga (Bahasa Sunda: Silakan saja, silakan).”

Bintang pun mulai mengitari Sekretariat Pepotret mulai dari sisi kiri. Sisi kiri dihiasi dengan foto-foto monokrom, sedangkan sisi kanan dipenuhi dengan foto berwarna, seolah sisi kiri merepresentasikan masa lampau dan sisi kanan memperlihatkan masa modern. Bintang pun asyik melihat foto-foto monokrom di sisi kiri yang sebagian besar merupakan hasil jepretan dari belasan bahkan puluhan tahun lampau. Bintang pun membayangkan bila seandainya saja dirinya berada di masa lalu dan dapat menghasilkan foto-foto analog monokrom seperti itu yang lebih memerlukan keahlian dan kesabaran dibanding memotret dengan kamera digital yang pengaturannya lebih mudah dikontrol, pasti akan sangat seru dan menantang. Bintang tertegun, kehidupannya kurang lebih sama seperti kamera analog, memotret tanpa tahu persis seperti apa hasilnya nanti. Kemudian, perhatian Bintang pun tertuju pada salah satu foto monokrom di dinding sisi kiri yang berukuran paling besar, dan ia terdiam memandangi foto tersebut. Tubuhnya seketika membeku.

Lah, Bin, kok diem aja?” tanya Reya, yang tahu-tahu sudah ada di belakangnya. “Ini Dianita Larasati, lo tahu kan? Artis jaman dulu yang terkenal banget.” ujar Reya dengan sangat bersemangat, Bintang pun mengangguk lemah. “Ah, iya. Siapa sih yang nggak tahu beliau? Dulu beliau alumni Pepotret juga loh! Dianita Larasati tuh kebanggaan kampus dan Pepotret lah pokoknya. Sayang, beliau sudah tiada. Andaikan masih ada, kan bisa kita undang workshop di sini.”

Sudah sekian lama Bintang tidak berjumpa dengan wajah dan nama itu. Mirisnya, ia harus mendengar dan melihatnya lagi hari ini, saat ia sudah mencoba melupakan semuanya dan memulai lembaran baru di kota yang sama sekali baru yang dengan yakinnya ia pikir tidak akan ada jejak ibu maupun ayahnya sama sekali. Namun, ia salah. Ia sadar, ternyata, ia tidak begitu mengenal orang tuanya. Dan lucunya, Bintang mengambil kampus dan bahkan UKM yang sama persis seperti ibunya, tanpa sengaja karena ia bahkan sama sekali tidak tahu bahwa ibunya pernah berkuliah. Salahnya karena tidak terlalu mengenal ibunya, ia tidak tahu apa-apa tentang ibunya dan apa yang ibunya sukai, apa yang ibunya benci selain ayahnya dan dirinya, latar belakang pendidikan ibunya, masa kecil ibunya, dan lain sebagainya. Bintang tidak tahu apakah ia harus senang karena tidak terlalu mengenal ibunya sehingga kepergian ibunya tidak terlalu meninggalkan beban yang berat baginya, atau malah harus sedih karena hampir tidak tahu apa-apa sama sekali tentang orang yang sudah mengandung, melahirkan, dan membesarkannya walaupun hanya sampai ia berusia tujuh tahun, di mana ia akhirnya bisa membaca dongeng sendiri dan bahkan sudah tak percaya lagi pada dongeng.

“Sedih banget. Suaminya juga, eh, maksudnya mantan suami, mereka kan sudah pisah. Siapa ya namanya? Gue lupa, yang pengusaha itu loh. Beliau kan juga meninggal. Mereka punya anak nggak, ya? Gue lupa, kalau iya, kasihan banget anaknya. Oh, iya, mantan suaminya itu juga…”

“Kak, maaf, aku ke toilet dulu ya. Kebelet.” Bintang pun memotong dongeng Reya yang sudah ia hafal di luar kepala dan tidak ingin ia dengarkan lagi, sambil bergegas keluar dari ruangan itu.

***

“Dian, jangan kelamaan tidurnya, ayo bangun.” Seseorang pun membangunkannya saat matanya tengah terpejam. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang memanggilnya dengan nama itu, rasa kantuknya hilang dalam sekejap karena terkejut. Saat Bintang membuka matanya, orang tersebut sedang membuka jendela kamar Bintang supaya cahaya beserta udara pagi hari masuk ke dalam ruangan.

“Ibu?”

“Iya, Nak. Ayo bangun dan siap-siap, kita kan mau pergi belanja sama Ayah.” ajak Ibu. Bintang yang masih linglung dan setengah sadar pun cepat-cepat bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Bintang langsung beranjak menuju meja makan untuk mendiamkan perutnya yang sedari tadi berbunyi kencang. Di meja makan, sudah tersedia bubur ayam buatan Ibu, salah satu menu favorit Bintang. Bintang merasa cukup beruntung, karena memiliki kedua orang tua yang pandai memasak dan selalu membuatkannya makanan lezat.

“Dian capek ya kemarin, sekolahnya? Sampai hari Sabtu begini bangunnya kesiangan.” tanya Ibu.

“Iya, Dian capek, Bu. Banyak banget tugasnya, Dian sampai begadang terus mengerjakannya.” keluhnya, sambil menyuapkan sesendok bubur ayam kesukaannya ke dalam mulutnya.

“Kalau kecapekan, minta tolong Ayah dan Ibu, dong, Dian. Jangan mengerjakan semuanya sendirian.” ujar Ayah.

“Nggak apa-apa, Yah. Dian sudah biasa sendiri. Lagipula, Ayah dan Ibu kan sibuk. Dian nggak mau ganggu Ayah dan Ibu.” sahut Bintang.

“Ya nggak ganggu lah Dian, kan Dian anak Ayah sama Ibu.” kata Ibu, sambil mengelus kepala Bintang.

“Dian, lanjut makan saja ya. Ayah dan Ibu harus pergi duluan.” kata Ayah, sambil membereskan piringnya dari meja.

“Loh, tadi katanya mau ajak Dian? Kok Dian nggak jadi ikut?” tanya Bintang.

Lihat selengkapnya