Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #9

Sudut Sendiri

Hari demi hari dilalui Bintang dengan seadanya saja. Tugas-tugas perkuliahan yang semakin bertumpuk dan mengakibatkan Bintang tidak tidur hampir setiap malam mengakibatkan Bintang semakin ingin berhenti kuliah saja. Yang lebih parah dari banyaknya tugas yang bertumpuk adalah, entah mengapa, sulit bagi Bintang untuk menemukan ketertarikan atau kesenangan dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Padahal, kata orang, kita harus menyenangi apa yang kita jalankan. Do what you love, love what you do. Namun, Bintang kini merasa tersesat karena tidak dapat merasakan apa yang dimaksud oleh pepatah tersebut. Teringat lagi olehnya sorot mata Langit yang berbinar saat membicarakan kesenangannya karena dapat berkuliah di jurusan arsitektur kala mereka mengerjakan tugas sketsa di Gedung Fakultas Hukum tempo hari. Bintang pun makin merasa bingung karena sampai kini sorot mata yang sama tidak dapat ia pancarkan dari kedua matanya sendiri.

Selain beratnya perkuliahan, orang-orang di sekitarnya yang kelihatannya masih membicarakannya membuat ia semakin malas untuk menjalani kehidupan. Sedangkan, teman terdekatnya, seperti Luna, masih sering menemani Bintang walaupun kini sudah tidak sesering dulu karena Bintang kini tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di kampus dan memilih untuk langsung pulang saja setelah kelas usai. Selain itu, Luna sendiri juga terlihat semakin sibuk dengan perkuliahannya dan Bintang pun demikian, mencari waktu untuk bernapas saja kini sulit bagi Bintang.

Sementara itu, Langit juga masih seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa semenjak peristiwa hujan dan payung tempo hari. Serta peluk tentunya. Tidak dapat dipungkiri, Bintang yang tidak pernah didekap oleh orang lain selain orang tuanya masih terus teringat dan terpikirkan akan insiden tersebut meskipun Bintang selalu lupa untuk mengembalikan payung Langit. Langit pun bahkan tidak pernah menanyakan payungnya, apa lagi kejadian hari itu. Ingin sekali Bintang bertanya, apakah Langit masih ingat akan kejadian itu? Apakah Langit juga terus memikirkannya, seperti Bintang? Apakah menurut Langit hal tersebut merupakan hal yang biasa, dan Langit sudah terbiasa melakukannya dengan semua orang? Namun, Bintang tidak tahu bagaimana cara menanyakannya—lebih tepatnya, apakah pertanyaan-pertanyaan seperti itu harus ditanyakan? Bintang pun memilih untuk menyimpan saja tanda tanya yang berkecamuk dalam pikiran dan hatinya tersebut. Bintang sangat lelah selalu menjadi orang yang menyimpan tanya selama hidupnya, namun, mungkin menyimpan semuannya sendiri adalah jalan lebih baik untuk menghindari kecanggungan yang dapat terjadi karena membahas kejadian itu.

Bintang pun mulai merasa seperti robot—atau bahkan zombie—dengan kesehariannya yang membosankan dan melelahkan. Setiap hari, kegiatan Bintang hanya bangun tidur, mandi, sarapan (bila ingat dan tidak malas), pergi kuliah, makan, pulang ke kos, mengerjakan tugas sampai larut malam, tidur (bila beruntung), bangun tidur lagi, dan seterusnya. Tidak ada yang istimewa. Bila ada sesuatu yang menyenangkan, mungkin hanya kopi. Ya, sejak menjadi mahasiswa, Bintang menemukan fakta bahwa ia menyukai dan membutuhkan kopi agar ia dapat menjalani harinya. Sebelumnya, saat masih sekolah, Bintang hanya mengkonsumsi kopi apabila sedang nongkrong di coffee shop bersama teman-temannya pada akhir pekan. Namun kini, kopi sudah menjadi konsumsi sehari-hari Bintang. Tiap pagi, Bintang membuat kopinya sendiri, dan hal ini terkadang mengakibatkan asam lambungnya kumat karena ia meminum kopi dengan perutnya yang kosong tanpa sarapan terlebih dahulu. Berawal dari kopi bubuk murah yang ia beli di supermarket yang lama kelamaan dirasa tidak memberikan efek, kini Bintang sudah dapat membuat secangkir kopi dari bubuk kopi robusta yang berampas, walaupun sedikit repot karena harus menyaring ampasnya terlebih dahulu, kemudian harus menambahkan creamer dan gula dengan takaran yang pas agar rasanya nikmat atau setidaknya dapat diminum. Sesekali, Bintang meminum kopi yang lebih indah rupanya dibanding kopi seadanya yang dibuatnya sendiri—seperti latte atau cappucino—saat ia mengunjungi coffee shop langganannya di dekat kampus untuk memakai WiFi. Di coffee shop ini, ia tidak takut akan dilihat atau melihat orang lain karena terdapat tempat duduk single yang menghadap ke jendela, dan tentu saja sudut ini menjadi spot favorit Bintang. Terkadang, ingin rasanya Bintang mengajukan lamaran ke coffee shop tersebut untuk bekerja paruh waktu sebagai barista. Sudah dapat uang saku, dapat ilmu membuat kopi pula. Kemudian, bertahun-tahun lagi, ia dapat membangun coffee shop sendiri bermodalkan ilmu pembuatan kopi yang ia dapat sebagai barista. Namun, mengingat kuliah di jurusan arsitektur yang membuatnya untuk sekadar tidur atau bahkan bernapas saja susah, Bintang memilih untuk mengurungkan niatnya.

Walaupun sudah tidak sesering dulu, namun Bintang masih sesekali memegang kameranya dan memotret obyek random di dalam kampus dan sekitarnya—seperti pemandangan kota dari atas atap gedung, pepohonan di dekat gedung rektorat yang konon katanya angker, atau gedung Fakultas Ekonomi yang gedungnya paling megah dari antara gedung fakultas lainnya, mahasiswanya pun tak kalah megah dan cetar—untuk melepas penat. Ia juga masih mengikuti klub Pepotret, walaupun hari pertamanya di Pepotret kurang menyenangkan. Anehnya, setelah hari pertama Bintang di Pepotret, foto Dianita Larasati sudah tidak ada di situ. Bintang juga tak tahu mengapa. Namun, Bintang tidak peduli akan hal itu. Terlebih lagi, tidak ada satupun anggota Pepotret yang pernah menanyakan Dianita Larasati kepadanya. Bintang merasa nyaman dan merasa Pepotret merupakan salah satu tempat teramannya selain kamar kosnya, tidak seperti kelas-kelas jurusan arsitektur yang selalu membuatnya tidak tentram karena banyaknya pasang mata yang melihatnya ketika ia masuk kelas yang kemudian disusul oleh bisikan-bisikan dari bibir beberapa pasang mata tersebut setelah melihatnya, yang membuatnya ingin cepat-cepat pulang—atau bahkan ingin menghilang saja.

Sore ini, seperti minggu-minggu sebelumnya, merupakan jadwal mingguan klub Pepotret. Agenda Pepotret pada hari ini adalah sesi pemotretan model. Bintang pun merasa sedikit canggung karena ia lebih sering memotret benda, ruangan, atau pemandangan dibandingkan manusia. Dahulu, klub fotografinya di SMA pun juga beberapa kali mengadakan sesi pemotretan model dan pada saat-saat itu, Bintang selalu merasa canggung saat harus berkomunikasi dengan modelnya. Bintang takut kecanggungan itu akan terjadi kembali hari ini. Namun setidaknya, model tersebut pastilah bukan orang yang ia kenal.

Bintang sadar ia salah saat melihat Langit masuk ke dalam ruang sekretariat Pepotret, bersama dengan Dimas.

“Nah, ini dia guys, model kita hari ini! Yang kiri ya guys, bukan yang kanan. Kenalin, ini Langit, anak Arsitektur. Langit udah banyak pengalaman jadi model dari dulu, model baju lah, banyak lah pokoknya. Kalau yang sebelahnya bukan model kita ya guys! Ikut-ikut aja doi. Tapi mereka berdua adik kelas gue waktu SMA. Baik-baik ya sama mereka. Okay, let’s start!” Dika, salah satu senior Pepotret, memberikan sambutan kepada Langit dan Dimas. Seperti biasa, beberapa pasang mata pun menatap kagum ke arah Langit. Kemudian, sesi pemotretan pun dimulai. Langit pun mulai berpose—dan terlihat sangat mahir, andaikan Bintang yang ada di depan sana, sudah pasti Bintang akan mati duluan karena gugup—sementara para anggota Pepotret berkerumun untuk memotretnya dari berbagai sisi, termasuk Bintang.

“Kok lo gak foto gue aja, Bin? Rame banget di situ, kan.” tanya Dimas, yang tiba-tiba sudah muncul di samping Bintang.

Sorry, kamera gue nggak bisa motret makhluk halus.” sahut Bintang, sambil tetap memotret.

“Ya ampun.. Jahat banget lo, Bin. Bukannya Langit yang makhluk halus?! Kan dia baik hati dan lemah lembut.” timpal Dimas.

“Bodo amat.” ujar Bintang, sambil memutar bola matanya dan mengangkat bahu. “By the way, lo ngapain sih di sini?!” tanya Bintang, melihat Dimas yang tidak berkontribusi apapun saat ini.

“Disuruh nemenin sama si Langit, katanya dia takut sendirian ke sini, nggak ada yang kenal. Kita lupa kalau ada lo juga ternyata di Pepotret. Tahu begitu tadi kan gue nggak perlu temenin.” jawab Dimas. “Ngomong-ngomong, udah kerjain tugas studio belum?” tanya Dimas.

“Belum sama sekali.” jawab Bintang sambil menggelengkan kepalanya.

“Mau ikut bikin tugas di kos Langit nggak besok? Gue mau kerjain tugas studio di kos Langit. Gue mau pinjam copic[1] nih, si Langit kan lengkap banget tuh copicnya.” Dimas pun menawarkan Bintang untuk ikut mengerjakan tugas di kos Langit.

“Bakal ada siapa saja?” tanya Bintang.

“Cuma gue doang. Malas ajak-ajak yang lain, nanti berisik kalau banyak orang. Kalau ajak lo kan nggak ngefek juga, jangkrik juga masih jauh lebih berisik daripada lo.” jawab Dimas. Bintang pun terdiam dan berpikir sejenak. Sesungguhnya ia lebih nyaman mengerjakan tugas sendirian dibandingkan harus mengerjakan tugas bersama orang lain. Namun, terkadang ia seringkali mengantuk saat mengerjakan tugas dan di saat itu pun, Bintang berharap ada orang lain yang dapat diajak bicara sehingga ia tidak mengantuk. Selain itu, peralatan arsitektur Bintang juga kurang lengkap—penggaris 60 sentimeternya baru saja patah karena tersenggol meja, lem kartonnya juga baru saja habis—dan Bintang bisa meminjam peralatan yang tidak ia miliki tersebut ke Langit, seperti halnya Dimas yang hendak meminjam copic. Jujur, Bintang bahkan tidak memiliki copic barang satu warna pun walaupun copic cukup penting untuk dimiliki mahasiswa arsitektur. Kesempatan bagus untuk dapat meminjamnya saja dari Langit.

“Boleh.” Bintang pun mengiyakan ajakan Dimas.

“Mantap! Besok siang ya. Kalau ke kos Langit, langsung masuk aja ke kamarnya. Gue juga biasanya langsung masuk ke kamarnya. Ruang tamunya sekarang rame banget soalnya sama anak kos yang lain.”

“Dasar manusia tak berakhlak.” timpal Bintang, sambil melanjutkan memotret Langit. Setelah itu, Bintang langsung melihat-lihat hasil fotonya seharian ini dari kameranya. Bintang pun terpana melihat hasil fotonya sendiri, ia tidak bisa memilih kemampuan memotretnya atau subjeknya lah yang membuat hasil fotonya bagus.

***

Malam setelah pemotretan, Bintang pun langsung melihat-lihat lagi hasil fotonya dari sesi pemotretan tadi. Seperti biasa, Bintang ingin memilah-milah mana yang akan ia simpan, mana yang akan ia cetak, dan mana yang akan ia hapus. Namun, malam ini Bintang lebih semangat daripada hari-hari biasanya. Mungkin karena kali ini modelnya adalah teman yang cukup dekat dengannya, dan Bintang bangga memiliki teman seperti Langit yang ternyata adalah model pria yang sangat berbakat. Meskipun demikian, ia kembali mengutuki nasib sialnya yang membawa Dimas ke dalam Sektretariat Pepotret sore tadi. Andaikan tidak ada Dimas yang terus mengajaknya berbicara, pasti hasil fotonya akan jauh lebih bagus.

Namun, melihat semua hasil foto itu membuat Bintang makin bingung karena tidak ada foto yang bisa dipilih, karena semuanya sangat layak untuk disimpan. Langit terlihat sangat bersinar dengan kemeja putihnya. Bintang tidak memiliki kemeja putih karena dengan kulitnya yang sawo matang, merasa ia tidak akan cocok memakai kemeja putih. Tetapi beda halnya dengan Langit, kulit putih Langit seakan bersaing dengan kemeja putih yang dipakainya tadi. Akhirnya, tidak ada satupun foto yang ia hapus. Bintang suka semua hasil fotonya. Foto saat Langit berpose bersandar pada tembok. Saat Langit duduk dengan santai di bangku. Biasanya Bintang selalu menyukai foto candid. Entah mengapa, kali ini, ia suka dengan hasil foto ketika Langit melihat ke arahnya sambil tersenyum. Beberapa hasil fotonya seperti itu. Bintang akan memilih salah satu untuk dicetak dan dipajang bersama foto-foto lain di kamarnya.

Saat itu bukanlah kali pertama Bintang memotret Langit. Bintang pun mengambil salah satu foto yang terpajang di kamarnya, foto Langit yang sedang menggambar saat tempo hari mereka ditugaskan untuk membuat sketsa Gedung Fakultas Hukum. Bintang pun kemudian berpikir, ia rela bila selamanya harus bersama Langit yang bersinar seperti itu. Tidak harus di sampingnya, Bintang rela untuk menjadi orang yang terus ada di belakangnya dan mengabadikannya dalam ingatan dan potret.

***

Tok! Tok! Tok! Bunyi ketukan pun terdengar pada daun pintu kamar kos Bintang. Siapa pula di tengah siang bolong begini yang mampir ke kosnya? Padahal Bintang tidak memesan makanan.

“Apa?” tanya Bintang malas, setelah melihat makhluk yang muncul di balik pintu kamarnya. Dimas.

“Lah, kan kita mau bikin tugas bareng di kos Langit? Lupa lo?” tanya Dimas.

“Iya, tapi kan kita mau bikin tugasnya di kos Langit. Bukan di kosku. Terus, ngapain kamu ke sini?” tanya Bintang.

“Mau ngajak bareng ke sananya. Kan kos lo searah ke kos Langit.” jawab Dimas.

Lihat selengkapnya