Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #10

Menghilang

Sudah seminggu ini Bintang tidak pernah menampakkan batang hidungnya dan menginjakkan kakinya ke kampus. Bukan hanya karena sekadar ingin bermalas-malasan, banyak alasan yang melatarbelakanginya. Tentunya alasan utamanya yakni kejadian sial dengan Kana dan Pak Mahmud tempo hari di kelas Studio Perancangan. Selain itu, Bintang memang ingin memakai ‘jatah bolos’-nya yang selama ini tidak pernah ia gunakan sama sekali karena ia tak pernah absen kuliah sekalipun dan tadinya ia sisihkan untuk keperluan darurat. Toh, Bintang sudah pasti tidak lulus mata kuliah Studio Perancangan, sekalian saja ia tidak masuk kelas-kelas mata kuliah lainnya pada minggu terakhir sebelum ujian ini. Bintang sangat sedang tidak ingin ke kampus. Bintang tidak ingin bertemu siapapun. Bintang juga tidak ingin belajar. Bintang tidak ingin melakukan apa-apa.

Bintang sama sekali tidak rindu akan dunia luar setelah sekitar satu minggu mengurung diri di kamar dan tidak berangkat kuliah, bahkan tidak pernah keluar dari kos untuk sekadar membeli makan. Ia hanya menghabiskan harinya dengan tidur, menonton film, makan seadanya, dan membaca buku, kemudian tidur lagi. Bintang sangat heran dengan orang-orang yang sulit tidur sampai mengkonsumsi obat tidur, karena Bintang dapat tidur dengan sangat mudah dan bahkan sangat lama, bagian tersulit dalam tidur baginya adalah untuk bangun lagi. Namun, malam ini sepertinya Bintang harus keluar dari cangkangnya karena kini Bintang tersadar bahwa bahan makanan, terutama mie instan yang sangat diagungkan oleh Bintang, sudah habis semua. Akhirnya, Bintang memberanikan diri untuk membeli makan di luar. Terpaksa. Setelah membeli makan yang tentu saja akan ia bungkus untuk dimakan di kos dan bukan untuk dimakan di tempat, Bintang juga berencana untuk ke minimarket untuk membeli pasokan bahan makanan, apabila tidak malas. Dengan demikian, ia tidak perlu keluar kos lagi pada hari esok dan seterusnya.

Bintang pun berjalan menyusuri jalanan di sekitar kosnya menuju warung di dekat kampusnya untuk membeli makan, tidak lain dan tidak bukan tentunya adalah Warkop Gendut yang sesungguhnya sangat dirindukan Bintang, tetapi enggan untuk ia kunjungi akhir-akhir ini selama ia mengurung diri. Dalam perjalanannya menuju Warkop Gendut, Bintang melewati kos Langit. Ah, Bintang benci pikirannya. Ingatan akan kejadian canggung saat Bintang mengunjungi kos Langit kala itu otomatis terputar lagi dalam ingatannya tanpa ia inginkan. Ingin muntah rasanya apabila mengingatnya. Terlebih, Bintang memang benci melihat adegan romantis di film. Tak disangka ia harus melihatnya dengan mata kepalanya sendiri di dunia nyata.

Namun, tak dapat dipungkiri Bintang rindu. Bintang rindu Langit. Bintang rindu Luna. Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir kali berbincang-bincang dengan mereka. Bintang rindu berbicara ngalor ngidul dengan Langit tentang kampung halaman mereka di Warkop Gendut, yang akan ia kunjungi sekarang. Bintang rindu melihat mata Langit yang berkilat-kilat setiap kali membahas arsitektur. Bintang rindu meledek sekaligus memohon pada Luna untuk membagi atau mereferensikan setidaknya satu saja dari sekian banyak lelaki yang dekat dengan Luna. Bintang rindu makan bersama Luna di kantin hampir setiap siang. Tak bisakah mereka berteman seperti biasanya saja? Mengapa mereka harus terjebak dalam situasi aneh dan canggung seperti ini? Andaikan saja pertemanan mereka bisa kembali lagi seperti sedia kala, Bintang janji, Bintang akan menghapus seluruh perasaannya ke Langit yang, toh, belum sepenuhnya ia yakini juga. Bagaimana ia bisa yakin kalau tidak tahu dan tidak pernah merasakannya? Namun, selama ini mereka juga tidak tahu, kan? Bintang tidak pernah mengatakan dan menunjukkan apa-apa. Jadi, mengapa keadaan tidak bisa kembali saja seperti sebelumnya?

Bintang pun sadar, waktu memang tidak dapat diputar kembali. Kesempatan yang sudah hilang pun juga tidak bisa datang kembali.

Seperti yang baru saja terjadi, saat Bintang tiba-tiba harus menyaksikan Langit yang tertabrak truk yang tengah mengebut dengan mata kepalanya sendiri. Andaikan waktu dan kesempatan dapat diulang kembali, andaikan jin pengabul permintaan yang konon bersemayam di cangkir emas itu keluar hendak membeli makan juga sepertinya sekarang kemudian menemui dirinya dan memberinya satu permintaan—bukan tiga, karena Bintang hanya butuh satu—Bintang hanya ingin kembali ke satu menit lalu saja untuk dapat menyelamatkan Langit. Bintang bahkan tidak ingin kembali ke sepuluh tahun lalu saat orang tuanya masih bersama, karena ia tahu mungkin ia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Namun, andaikan satu menit lalu Bintang menyadari bahwa ada Langit di seberang jalan, ia pasti akan menyebrang jalan menuju sisi jalan tempat Langit berada, dan memberitahu Langit supaya jangan menyebrang. Supaya jangan tertabrak dengan mengenaskan seperti ini. Menghasilkan luka di sekujur tubuhnya. Dan luka di benak Bintang.

***

“Tadi… Gue.. Mau nyamperin lo.” gumam Langit, yang sudah berada di dalam ambulans yang membawanya. Bintang pun ikut bersama Langit dalam ambulans tersebut. Bintang menatapi dan meratapi sekujur tubuh langit. Langit terluka parah, namun untuk ukuran manusia yang telah dihantam truk, beruntung tubuhnya masih utuh dan hingga kini ia masih belum kehilangan kesadarannya. Kemudian, Bintang melihat ada goresan luka di pergelangan tangan Langit, dan terbelalak melihatnya. “Ini gue habis.. Bikin maket buat tugas Arsitektur Hijau. Terus kebeset.” Sebagian kebingungan Bintang pun terjawab, padahal hampir saja Bintang pikir Langit ingin mengakhiri hidupnya. Ingin Bintang bertanya lebih lanjut mengapa Langit masih keluar dari kosnya alih-alih mengobati tangannya yang terluka cukup parah, mungkin sesungguhnya tadi Langit sedang mencari obat? Tetapi, Bintang tidak sempat bertanya karena kedua mata Langit sudah terpejam. Tertidur. Dan belum pernah bangun lagi sejak saat itu.

***

Lihat selengkapnya