Bagi orang kebanyakan, standar kecantikan yang menjadi patokan untuk menilai wanita cukup umum, seperti kulit putih, rambut panjang dan indah, badan seperti jam pasir. Namun, Langit tidak peduli terhadap standar kecantikan dan omong kosong itu, sungguh ia tak pernah peduli. Menurutnya, gadis yang berada di depannya ini sangat cantik bagai dewi musim panas di kota kembang yang dingin itu. Kulitnya yang sawo matang, mata bulatnya yang terkadang dibingkai kacamata bulat, bibir tipisnya, rambut pendeknya yang sedikit ikal dan juga memperlihatkan lekuk tengkuknya yang indah, juga badan langsingnya yang memakai kemeja sedikit kebesaran berwarna biru muda—ya, gadis ini sangat gemar memakai baju berwarna biru, entah biru muda, biru tua, beri kehijauan, dan biru-biru lainnya—yang membuat siluetnya terlihat memukau.
Sudah beberapa bulan ini Langit memerhatikannya, sejak hari pertama mereka masuk kuliah, tepatnya saat ospek. Hari itu, Langit pertama kali melihatnya saat ia bertengkar dengan sahabatnya sejak SMA yang kebetulan juga masuk kuliah dengan jurusan yang sama dengannya, Dimas. Langit awalnya tergelak melihat mata bulat gadis itu yang bersembunyi di balik bingkai bulat memelototi Dimas dengan galak. Kemudian, ternyata gadis itu sangat unik. Auranya dapat berubah 180 derajat dari panas dan penuh kemarahan menjadi sangat dingin dan tak acuh dengan keadaan sekitarnya, apakah ia lebih pantas disebut dewi musim dingin ketimbang dewi musim panas? Setelah bertengkar dengan Dimas hari itu—dan tentunya bukan hanya hari itu, namun hari-hari selanjutnya—Bintang kembali terdiam dan tidak menghiraukan sekitarnya, terlihat asik dengan dunianya sendiri. Dunia yang ia buat sendiri. Jarak yang ia bangun sendiri.
Sekali lihat Langit juga langsung tahu bahwa tabiat gadis itu memang sama persis dengan namanya, Bintang. Dian Bintang. Nama yang cukup unik walaupun sedikit pasaran. Langit juga sedikit bertanya-tanya, mengapa ia tidak dipanggil dengan nama depannya saja, Dian? Mungkin nanti akan ia tanyakan, sekalian berkenalan, bila gadis itu juga balik menatapnya. Sayangnya, hal itu tidak kunjung terjadi. Mata mereka tidak pernah bertemu dalam tatapan diam. Setiap kali Langit menatap gadis itu dalam diam, gadis itu tidak pernah menoleh ke arahnya. Seperti biasa, asik dengan dunianya sendiri. Jarak yang ia bangun sendiri. Gadis itu memang persis seperti bintang, yang berkilau indah dan bersinar terang namun beigut jauh dan tidak akan pernah tergapai.
Tetapi, hal itulah yang membuat Langit semakin tertarik. Seperti menemukan cahaya baru dalam hidupnya. Rasanya persis seperti saat kita melihat bintang yang paling besar dan paling bersinar di langit, rasanya ingin terus menatapnya dan pergi menyongsongnya, andai mampu.
Terlebih lagi, saat melihat gadis itu duduk sendirian di tepi pohon Gedung Fakultas Hukum. Saat melihat gadis itu makan siang sendirian di kantin. Saat melihat gadis itu makan malam sendirian di Warkop Gendut. Saat melihat gadis itu duduk sendiri di sudut paling ujung kedai kopi dekat kampusnya, menyesap kopinya sambil melihat pemandangan di luar melalui jendela dengan tatapan kosong, bahkan tidak menyadari Langit juga ada di kedai kopi itu. Jujur, Langit sangat kagum akan kesendirian gadis itu, tak tahu juga mengapa. Ada hal dan aura yang menarik darinya, yang Langit juga sulit menjelaskannya. Yang jelas, Langit malu saat membandingkan dirinya sendiri dengan gadis penyendiri ini, Langit yang seumur hidupnya belum pernah sendirian, yang selalu dibimbing oleh orang tuanya, yang selalu ditemani oleh teman-temannya, dan yang selalu dikerumuni oleh para gadis yang memujanya—yang sesungguhnya tidak ia pedulikan. Langit memang tidak pernah punya pacar, pun peduli dengan para fansnya itu. Belum pernah ia tertarik pada seorang gadis dan tak tahu bagaimana caranya tertarik? Untuk Langit, semua gadis sepertinya sama saja, hanya dapat menilai dan mengagumi seseorang dari tampang atau materi, bahkan tanpa mengenalnya lebih jauh. Tetapi, gadis itu sangat berbeda. Ia terlihat seperti tidak peduli terhadap apapun.
Rasanya ingin sekali saja Langit menemani gadis penyendiri itu. Sekali saja. Tidak apa-apa kan? Maka, malam itu di Warkop Gendut ia putuskan untuk duduk di depan gadis itu, walaupun tadinya ia hanya berencana untuk membungkus saja makanannya. Ia lebih suka duduk di depannya dibandingkan di sampingnya, karena dengan duduk di depannya, ia dapat memandangi seseorang yang ada di hadapannya ini dengan lebih leluasa. Ternyata, keputusannya malam itu untuk ikut duduk menemani gadis itu berbuah manis. Langit dapat mengetahui banyak hal yang tak terduga dari gadis itu, bahkan kenyataan bahwa mereka berasal dari kampung halaman yang sama. Langit jadi penasaran, di kampung halaman mereka yang kecil itu, mungkinkah mereka pernah berpapasan? Entahlah, sepertinya tidak pernah. Karena kalau pernah, pasti Langit akan mengingatnya.
***
Dugaan Langit salah. Dan ia pun baru menyadarinya hari ini.
“Halo, Langit! Piye kabare nang Bandung, nak?” ibu Langit pun menyambut dengan riang melalui telepon siang itu, masih kental dengan logat Jawanya, walaupun telah bertahun-tahun menetap di Jakarta. Tidak seperti Langit yang sudah kehilangan aksen Jawanya.
“Langit mah baik-baik aja kok, Ma.”
“Aduh! Deloken, logatmu wes koyok cah Bandung ae, nak.” timpal ibunya. “Hey, ngomong-ngomong, kamu bertemu anaknya Tante Dianita, ndak? Dia kuliah di tempatmu juga, lho! Mama jektas eruh tekan dekan kampusmu, kalau anaknya Dianita kuliah di sana juga. Dekan kampusmu, Bu Tuti, kan temannya Mama.” lanjutnya.
“Tante Dianita siapa ya?” Langit pun terdengar bingung.
“Aduh! Piye toh kamu ini nak, masih mudah kok wes pikun! Itu lho, Tante Dianita tetangga kita dulu di Surabaya. Masa kamu lupa?” tukas ibunya. Langit pun mengernyitkan keningnya, berusaha mengingat-ingat.
“Oooh! Aku baru ingat, Tante Dianita yang itu ya. Maklum lah Langit lupa, kan udah lama banget itu, Ma. Berarti, anaknya…” Langit pun seketika mematung.
“Iya, si Dian! Masa kamu lupa sama Dian! Astaga, Langit. Di Bandung jangan makan indomie terus kamu, ya! Mbok ya makan sayur, biar sehat dan nggak pikun!” ibunya pun mengomel karena tak habis pikir dengan ingatan anak jaman sekarang yang tampaknya lebih lemah dibandingkan ingatan wanita paruh baya seperti dirinya. Padahal, ibunya takkan pernah melupakan mereka. Dianita dan keluarganya.
Seketika, Langit pun merasa sangat bodoh. Bagaimana bisa ia tidak sadar selama ini bahwa Dian Bintang adalah Dian? Ternyata, rasa ingin tahu Langit selama ini bukan karena sekadar kemisteriusan sang bintang. Namun, karena ia tanpa sadar telah menemukan temannya yang telah lama hilang.
***
Ternyata, menemaninya sekali malam itu di Warkop Gendut tidaklah cukup. Melihat gadis itu selalu sendirian, Langit menjadi selalu ingin menemaninya, bukan hanya sekali saja. Bukankah memang seharusnya Langit yang terus menemaninya, andai saja mereka dahulu tidak berpisah begitu saja? Terlebih, saat gadis itu terduduk diam di bawah hujan seperti sekarang, Langit tahu bahwa ia harus segera ke sana, tanpa banyak berpikir lagi. Langit tahu bahwa gadis itu tidak peduli terhadap apapun, tetapi manusia mana yang juga tak peduli dengan guyuran hujan? Ah, untung Langit membawa payung dan jas hujan. Ia bisa memakai jas hujan yang sangat tipis itu, biar Bintang saja yang memakai payungnya.
Namun, payung saja ternyata tidak cukup untuk melindunginya dari hujan. Selain hujan yang turun dari langit, ternyata hujan juga turun dari kedua mata sang bintang. Sial, apa yang terjadi? Apakah Langit ada salah bicara? Padahal, Langit hanya ingin menghiburnya. Langit tak tega melihatnya. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Ia sama sekali tidak pernah menangani orang menangis. Tetapi sungguh, Langit tak tega. Entah mengapa, dadanya sangat sakit melihat air mata itu.
Refleks, tangannya merengkuh kepala Bintang dan mendekapnya dalam dada Langit yang terasa perih itu. Langit juga kaget dengan perbuatannya sendiri. Tak pernah sekalipun ia memeluk wanita, kecuali ibunya. Sial, sedang apa sih dia? Bagaimana kalo Bintang murka dengan perbuatannya dan menganggap ia mesum? Namun bagaimana lagi? Hatinya sangat perih tidak terperi melihat gadis penyendiri yang biasanya kokoh dan dingin seperti gunung es tersebut kini menangis lemah. Bukankah itu memang tugas langit, menyingkap awan mendung yang menghalangi sehingga bintang pun dapat terlihat bersinar kembali?
Untung Bintang tidak marah, bahkan tidak menepis tangan Langit. Malah, ia makin menangis sejadi-jadinya. Apakah Langit jahat? Di satu sisi, ia tidak ingin melihat Bintang menangis. Namun di sisi lain, ia ingin waktu seterusnya berhenti pada saat ini saja.
***
“Jadi, bisa kan, bro?” tanya Dika sang anggota senior Pepotret, kepada Langit yang berada di hadapannya, di depan pintu sektretariat Pepotret. “Gampang kok, nggak usah pose aneh-aneh. Natural aja. Untuk bayaran, rokok aja cukup lah ya?”
“Gampang lah. Nggak usah bayaran segala, kayak sama siapa aja, bro.” ujar Langit. “Tapi, gue boleh minta tolong satu hal aja, nggak?”
“Minta tolong apa tuh? Gampang lah. Asal jangan minta tolong beliin rokok sepuluh dus ya.” Dika pun terkekeh.
“Berapa kali sih gue harus bilang ke orang-orang kalau gue nggak ngerokok.” tuturnya, sambil meringis. “Gue mau minta tolong… Hmm, sorry kalau agak aneh ya. Tapi, gue boleh minta tolong turunin foto yang itu, nggak?”
“Waduh, bisa aja sih sebenernya. Itu foto lama juga. Cuma, kalau boleh tahu, kenapa nih, bro? Gue harus ngomong sama anak-anak lain juga soalnya. Foto itu lumayan penting soalnya, bro. Masterpiece Pepotret, man.” tanya Dika. Langit pun termenung. Wah, rupanya anak-anak Pepotret memang belum tahu kabar yang telah beredar di jurusannya, ya? Atau pura-pura tidak tahu?
“Oh, itu. Anu.. Teman gue yang anak Pepotret, dia bilang merinding sampai mau menangis katanya setiap kali melihat foto itu. Soalnya, dia memang agak sensitif sama arwah sih.” jawab Langit. Terpaksa ia harus berbohong. Namun, sepertinya kebohongannya berhasil. Dika pun seketika merinding. Ternyata Dika memang belum tahu, bukan pura-pura tidak tahu. Baguslah kalau begitu.
***
Asap rokok yang tebal itu mengepul di udara malam yang dingin, membuat asap tersebut makin terlihat tebal. Bukan Langit yang menyemburkannya, Langit tidak pernah tertarik merokok. Baginya, mie instan jauh lebih nikmat dari segi rasa dan keharuman. Namun, tidak dengan orang di sebelahnya yang rutin menghabiskan satu kotak rokok setiap harinya, siapa lagi kalau bukan Dimas.
“Lo tuh kebiasaan deh dari SMA. Kurang-kurangin, kek.” kata Langit, sambil mengibaskan asap yang terbawa angin ke arahnya. Ah, baunya macam asap knalpot saja.
“Justru makin banyak ini, Sky. Bandung kan dingin, gue kan butuh penghangat.” sahut Dimas. Sesungguhnya, Dimas pasti akan sedikit terganggu apabila ada yang menegur kebiasaan merokoknya. Tetapi, entah mengapa ia peduli setan kalau Langit alias Langsky yang berkomentar, sama halnya seperti Langit yang peduli setan namanya diubah-ubah seenak jidat oleh Dimas.