2011.
Sudah setahun berlalu semenjak Bintang tiba-tiba terbangun di kasur rumah sakit, terkejut akan kenyataan bahwa ia belum mati, kemudian masih harus menetap di rumah sakit sampai sepenuhnya pulih dan diperbolehkan keluar. Saat tiba-tiba terbangun di rumah sakit, ia sangat terkejut akan kenyataan bahwa ia masih hidup, karena seingatnya, dia telah menenggak puluhan obat tidur dan juga tidak lupa menyilet tangannya sendiri karena tidak percaya dengan kekuatan obat tidur. Dengan kebrutalan yang telah ia lakukan, harusnya ia kini sudah mati bukan?
Walaupun sangat terkejut, tetapi, entah mengapa Bintang tidak sedih akan kenyataan bahwa ia masih harus hidup setelah ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak terpikir untuk kembali mati saja, toh, bagaimana caranya? Bintang sudah tidak tahu lagi harus bagaimana supaya ia mati sungguhan. Bintang pun bergidik ngeri membayangkan apa yang mungkin terjadi pada dirinya seandainya ia kini sudah mati. Anehnya, terbesit perasaan lega karena ia masih diijinkan hidup, walaupun tidak tahu ke depannya bagaimana ia dapat memperoleh kekuatan untuk menjalani hidupnya yang hampa dan perih. Mungkin, suatu saat akan ada keajaiban yang megubahnya? Seperti keajaiban yang masih mengijinkannya hidup kini.
Bintang masih ingat rasanya saat pertama kali menginjakkan kaki keluar dari rumah sakit. Tidak ada satu pun yang menjemputnya. Untuk sekadar berjalan pun, rasanya sangat berat sekali. Bintang tidak tahu apa yang harus ia hadapi pada esok hari, begitu pula seterusnya. Ia harus kembali menghadapi hari-hari yang menyebalkan. Perkuliahan yang berat dan menyebalkan. Pertemanan yang aneh dan menyebalkan. Bintang pun mulai menarik napas, berharap ia akan mendapat energi atau keajaiban yang dapat membuatnya bertahan menjalani hari esok hanya dengan menarik napas. Namun, langit yang teduh sore itu, beserta udara dingin kota Bandung yang sedang sejuk-sejuknya, membuat Bintang menghembuskan napas lega.
Tak lama kemudian, Bintang pun juga menemukan satu fakta unik. Ternyata, tidak ada satu pun orang yang mengetahui bahwa Bintang masuk rumah sakit, kecuali penjaga kos yang langsung membawanya ke rumah sakit. Baik penjaga kos dan pihak rumah sakit pun tidak ada yang mengetahui kontak teman-teman Bintang, terlebih lagi, Bintang tidak memiliki keluarga yang bisa dihubungi. Saat itu pun, kampus sedang libur semester sehingga tidak ada yang menyadari bahwa Bintang menghilang. Yah, mungkin begini lah nasib anak sebatang kara yang tidak punya banyak teman. Bintang pun sangat berterima kasih kepada penjaga kos dan sebagai bentuk terima kasih, ia memutuskan untuk keluar saja dari kos tersebut dan pindah ke kos lain.
Bintang pun dapat melanjutkan hidupnya lagi. Pada semester berikutnya, ia mengulang mata kuliah Studio Perancangan setelah sebelumnya ia tidak memenuhi persyaratan untuk mengikuti ujian akhir, tidak masalah. Hidup tidak berakhir hanya karena gagal satu mata kuliah, bukan? Kini, ia menjalani kuliah seperti biasanya. Namun, tidak untuk menjadi mahasiswa “B” seperti yang dikatakannya dulu. Bintang belajar dan berusaha sekuat tenaga agar bisa menjadi mahasiswa “A” juga, seperti Langit dan Luna, dan berhasil mendapatkan beasiswa kampus.
Bicara soal Langit dan Luna, hubungan Bintang dengan mereka sudah tidak secanggung dulu lagi. Mereka bertiga sudah dapat berteman lagi seperti biasanya, dan Bintang tidak keberatan menjadi obat nyamuk mereka berdua. Bintang tidak peduli dengan perasaannya sendiri yang bahkan tak dapat ia deskripsikan. Anehnya, setahun belakangan, ia merasa lebih dekat dengan Langit lebih dari sebelumnya. Tak tahu juga mengapa. Rasanya seperti menemukan teman lama yang tak pernah bertemu lagi. Padahal, hubungan pertemanan mereka juga biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa, apa lagi Langit juga sudah bersama dengan Luna. Tetapi, untuk apa Bintang memusingkan perasaannya yang bahkan ia sendiri tidak mengerti? Ia memilih tidak peduli, seperti biasanya. Yang penting, Langit bahagia. Bintang pun juga bahagia. Sayangnya, beberapa minggu lalu, Langit dan Luna memutuskan untuk mengakhiri hubungannya. Alasannya? Bintang juga tidak tahu. Langit dan Luna memilih diam soal ini, Bintang pun juga sungkan untuk bertanya lebih lanjut apabila mereka juga tidak bercerita terlebih dahulu. Biarlah percintaan mereka menjadi urusan mereka berdua saja, mungkin memang cinta pada kenyataannya tidak seindah di film-film romansa yang selalu berakhir manis dan bahagia. Untung saja, pertemanan mereka bertiga masih berlanjut seperti biasanya.
Selain Langit dan Luna, makhluk yang bernama Dimas pun juga masih hidup sampai sekarang dan juga masih setia menjadi teman bertengkar Bintang. Bahkan, level Dimas kini telah naik. Beberapa bulan lalu, Dimas menyatakan perasaannya kepada Bintang, ditemani pemandangan bintang-bintang yang berkilauan di langit malam yang terlihat dari jendela sebuah bangunan restoran di Lembang yang mereka kunjungi sebagai bagian dari tugas mereka untuk dapat meneliti lebih jauh bangunan tersebut. Dimas pun sudah bersiap-siap untuk ditolak, atau ditertawakan, atau yang lebih parah lagi, dijitak. Namun, siapa sangka, Bintang malah memutuskan untuk menerima perasaan Dimas. Dimas yang selalu ada untuknya, Dimas yang suka mengejeknya namun selalu berada di sampingnya sebelum dan sesudah Bintang keluar dari rumah sakit, Dimas yang dapat mencairkan sifat Bintang yang dingin dan membangkitkan ekspresinya—membuatnya marah dan tertawa sekaligus, tidaklah buruk untuk dapat menjadi pacar pertama Bintang. Bintang tidak ingin bodoh lagi untuk masalah cinta.
Bintang masih aktif dalam klub Pepotret. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk bergabung dalam klub fotografi khusus jurusan Arsitektur seperti yang pernah dikatakannya pada Langit dan Luna, karena merasa klub Pepotret sudah cukup menyalurkan hobi fotografinya. Kemudian, Bintang—dan juga semua orang—yang tadinya menganggap ia hanya mahasiswa apatis, tidak akan pernah menyangka bahwa Bintang akan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, bahkan kini mengetuai program kerja majalah kampus. Bintang sangat menikmati eksekusi program kerja ini, selain karena ia sangat suka menulis, mendesain, dan fotografi sekaligus yang mana semua elemen tersebut dapat ditemukan dalam majalah, Bintang juga banyak belajar hal baru, seperti sulitnya mencari tema dan konten baru setiap bulannya, mencari dan memilih iklan untuk dimasukkan ke dalam majalah, pertimbangan jumlah halaman yang juga mempengaruhi perhitungan ekonomis dalam proses pencetakan, dan juga banyak bertemu media partner lainnya.
Bintang cukup Bahagia dengan kehidupannya sekarang. Ia dapat meneruskan kuliahnya dengan nilai akademis yang baik dan mendapat beasiswa, walaupun setelah lulus kuliah nanti ia tidak bertekad akan menjadi arsitek. Namun, bukan berarti hasil kuliah arsitekturnya akan menjadi sia-sia, Bintang tentunya akan memakai ilmu arsitekturnya untuk merancang sendiri rumahnya dan juga kedai kopi yang ingin ia dirikan suatu saat nanti. Sampai kini, Bintang juga masih tidak tahu persis akan menjadi apa ia di masa depan. Ia hanya ingin menjalani yang terbaik sekarang dan suatu saat nanti, ia yakin pasti akan menemukan hal yang menjadi impiannya untuk masa depan. Satu per satu. Yang terpenting, ia tetap harus hidup untuk hari ini dan juga hari esok dan tidak menyia-nyiakan kehidupannya lagi.
Selain kuliah, berbagai kegiatan non-akademis yang melelahkan membuatnya banyak mendapat pengalaman dan kesenangan baru. Terlebih, ia juga memiliki pacar yang menyenangkan. Bintang sudah dapat menemukan hal-hal kecil yang dapat membuatnya senang saat bangun tidur dan bersemangat dalam menjalani hidup, walaupun belum seberapa dan belum dapat mengubah dunia. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Bintang masih sering merasa sepi dan hampa, terutama setiap kali ia beranjak tidur, namun tidak apa-apa. Bintang sudah tidak merasa sesakit dan seperih dulu lagi. Setiap kali terpikirkan akan kedua orang tuanya, Bintang sudah tidak memiliki keinginan untuk menyusul mereka lagi, melainkan, untuk menjadi anak yang rajin dan pintar, seperti perintah orang tuanya. Sehingga, bila suatu saat Bintang berkesempatan untuk bertemu dengan mereka lagi, Bintang dapat melihat kedua orang tuanya tersenyum padanya dengan bangga dan bukan dengan sesal. Bintang pun tersenyum, berterimakasih kepada keajaiban yang telah menyelamatkan hidupnya sehingga ia kini masih dapat menikmati hidupnya yang sekarang, yang ternyata tidak seburuk itu bila diperjuangkan.
***
2014.
Empat setengah tahun berlalu sejak pertama kali Bintang menginjakkan kakinya di Bandung untuk berkuliah. Walaupun sedikit terlambat dibandingkan waktu kelulusan yang seharusnya, yaitu empat tahun, namun Bintang merasa empat setengah tahun berlalu begitu cepat. Padahal, tadinya ia berpikir empat tahun akan berlangsung begitu lama. Udara Bandung kini sudah tidak sesejuk dulu lagi, apa lagi ditambah dengan toga yang sedang dipakainya, yang membuatnya bagaikan sedang berada di dalam sauna. Hari ini, akhirnya Bintang resmi lulus dari universitasnya dan berhasil menyandang gelar Sarjana Arsitektur di belakang namanya. Gelar yang membuatnya memiliki kapabilitas untuk kelak dapat merancang rumah dan kedai kopinya sendiri.
Teringat kembali olehnya perjuangannya yang tak mudah untuk dapat meraih gelar Sarjana Arsitektur. Empat setengah tahun tentunya bukan waktu yang singkat. Terlebih lagi, setahun terakhir yang terasa berjalan sangat lambat bagi Bintang dengan tugas akhir dan skripsi yang harus dirampungkannya dengan titik darah penghabisan dan juga butiran air mata serta keringat yang terkuras. Dalam penyusunan skripsinya, ia memilih rumah sakit sebagai tema karena tadinya ia pikir rumah sakit akan menjadi topik yang mudah karena tidak memerlukan desain yang apik layaknya mall, kafe, atau rumah mewah. Ternyata dugannya sangat salah, keseluruhan fungsi dan prosedur dalam bidang medis pun mau tak mau harus ia pahami untuk dapat membuat bangunan dan ruang yang mengakomodasi pelayanan kesehatan secara tepat guna yang juga menjamin keselamatan banyak orang. Ia harus memahami alur, sirkulasi, fasilitas, instalasi beserta semua hal dan istilah ajaib lainnya di dalam rumah sakit, yang membuat kepalanya meledak dan merasa dirinya sudah bagaikan dokter jadi-jadian saja. Ia juga sangat salah mengenai desain rumah sakit yang tadinya ia pikir tidak perlu terlalu estetis. Ternyata, visual rumah sakit pun juga sangat berpengaruh terhadap persepsi dan kesehatan mental para pasien rumah sakit. Bayangkan pasien rumah sakit yang harus berhari-hari bahkan berbulan-bulan tinggal di rumah sakit, tentunya bangunan yang datar dan membosankan akan terasa seperti penjara. Apa boleh buat, Bintang sudah terlanjur memilih topik ini dan sudah tenggelam terlalu dalam. Bintang harus menuntaskannya sampai akhir.
Dalam penyusunan skripsinya tersebut, Bintang memilih rumah sakit di dekat kampusnya sebagai objek. Rumah sakit tempatnya dulu dirawat. Rumah sakit ini memang bukan tergolong rumah sakit yang mewah, bangunan rumah sakit ini masih ala Belanda kuno yang tentunya sudah dengan sedikit perbaikan. Namun, yang membuat rumah sakit ini nyaman adalah suasananya yang hijau dengan taman bunga yang luas yang dapat dipandangi dari selasar ataupun koridor rumah sakit. Entah mengapa, ia selalu merasakan perasaan yang aneh tiap kali berkunjung ke rumah sakit ini. Rasa jengah yang mengganggu yang membuatnya ingin segera meninggalkan rumah sakit ini, namun sekaligus perasaan ingin berlama-lama menetap seolah masih ada yang tertinggal di sini. Bintang juga tak tahu mengapa. Apakah benar kata orang, bahwa rumah sakit adalah tempat yang paling mistis di dunia selain kuburan? Bicara soal kuburan, Bintang sangat gemar menetap di koridor rumah sakit ini sambil menatap taman yang sudah bak kuburan saja—dengan luas tak manusiawi serta pohon-pohon kamboja yang berdiri tegak dan bergerombol menghiasi taman—terutama saat hujan. Bau rumput dan juga bunga yang dibasahi air hujan merupakan aroma favorit Bintang, yang kontras sekali dengan bau rumah sakit yang sangat dibencinya.