2019.
Lima tahun sudah berlalu sejak Bintang berhasil menyandang gelar sarjana dan kembali ke kampung halamannya. Kini, Bintang tengah menempuh karirnya sebagai desainer grafis salah satu perusahaan penerbit terbesar di Indonesia yang berdomisili di Surabaya. Tampaknya kecintaan Bintang terhadap dunia desain dan kepenulisan lah yang membuatnya berlabuh di sini. Tepat seperti dugaan, Bintang memutuskan untuk tidak meniti karirnya di dunia arsitektur, tidak seperti teman-temannya yang lain, termasuk Luna, Langit, dan Dimas. Luna kini sedang dalam puncak karirnya sebagai arsitek senior di perusahaan pengembang properti di Jakarta. Sedangkan Dimas—yang sangat tidak disangka-sangka karena perangainya yang tengil dan menyebalkan itu—berakhir menjadi dosen salah satu universitas favorit di Jakarta. Sedangkan Langit, setelah terakhir mendengar kabar bahwa ia bekerja di salah satu biro arsitektur di Surabaya, Bintang tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Padahal, mereka berada dalam kota yang sama. Mungkin Bintang saja yang terlalu kuper, bahkan teman-temannya sering menegur Bintang karena tidak memiliki media sosial.
Bukannya Bintang tidak pernah tertarik untuk berkarir di ibukota saja seperti Luna dan Dimas, dengan peluang dan pendapatan yang tentunya akan lebih menjanjikan. Namun, ia sudah terlanjur nyaman di sini, di kampung halamannya ini, dan di rumahnya, yang telah ia rombak total. Rumah yang memang bisa dibilang cukup besar tersebut, bagian depannya kini juga sudah dirombak menjadi sebuah kedai kopi kecil berkonsep Belanda. Tepat seperti dugaan, ilmu yang Bintang dapatkan dari studi Sarjana Arsitektur-nya memang benar adanya hanya bermanfaat untuk merancang rumah dan kedai kopinya sendiri. Selain meniti karir di perusahaan penerbit, Bintang memutuskan untuk merintis usaha sendiri sebagai selingan. Namun, kedai kopinya tidak sepenuhnya dikelola olehnya karena pekerjaan tetapnya yang mengharuskannya berada dari pagi hingga sore di kantor, sehingga ia merekrut orang lain yang sudah ahli dan memiliki pengalaman dalam menjadi supervisor kafe. Kedai kopinya yang hanya ia dirikan dengan ekspektasi akan menjadi usaha kecil saja, tidak disangka-sangka mengundang banyak pengunjung yang rela mengantre. Oleh karenanya, Bintang kini mulai memikirkan untuk membuka cabang baru di tempat lain saja, karena ia tidak ingin memperbesar kedai kopi yang berada di rumahnya lantaran ruang di dalam rumahnya memang sudah tidak cukup lagi untuk memperlebar kedai kopinya tersebut.
Selain karena sudah terlanjur nyaman di sini, ia tidak terlalu tertarik tinggal di ibukota karena kemacetan yang tiada tara. Tidak seperti di Surabaya, di mana ia tidak perlu berjuang dengan kemacetan setiap pagi. Hanya butuh sekitar 10 menit untuk dapat sampai ke kantornya dengan Suroboyo Bus, bus kota yang beroperasi di Surabaya. Sampai kini, Bintang memang belum memiliki keberanian untuk membawa kendaraan sendiri karena ia masih fobia menyetir. Di samping itu, Bintang juga lebih nyaman menggunakan kendaraan umum.
“Kak Bintang, jangan lupa meeting sama Pak Bos untuk project baru ya di ruang meeting.” ujar Tara, salah satu kolega Bintang. Bintang pun mengangguk. Ia pun segera membereskan laptop serta buku catatannya untuk dibawa ke ruang meeting. Selain membereskan peralatan, ia pun juga tak lupa untuk membereskan hati dan pikirannya. Pertemuan dengan Pak Bos selalu menjadi saat menegangkan baginya, walaupun sudah lima tahun ia bekerja di sini. Bintang tak pernah dapat menebak perasaan Pak Bos yang tak menentu setiap harinya.
“Siang, Bintang. Sudah makan kamu?” sambut Pak Bos dengan riang sembari memasuki ruang meeting. Bintang hanya mengangguk. Sepertinya mood Pak Bos sedang bagus hari ini.