Potret Bintang

Stella Vania
Chapter #14

Galaksi

1992.

Pembangunan mal yang baru-baru ini dimulai di dekat kompleks perumahan itu menjadi perbincangan warga penghuninya. Pada saat itu, hanya ada dua mal di Surabaya, dengan demikian mal yang sedang dibangun dan diperkirakan baru akan rampung empat tahun lagi ini akan jadi mal ketiga. Hal ini pun cukup membuat heboh warga kompleks perumahan tersebut, termasuk Deddy dan Dianita, sepasang suami istri muda yang baru menikah dan baru saja tinggal di kompleks itu, dan juga tetangga sebelah rumahnya, Lani dan Dirga, pasangan suami istri yang sudah sedikit lebih tua dibandingkan Deddy dan Dianita dan juga sudah lama menempati kompleks itu.

“Haduh, lama-lama Surabaya iki jadi kayak Jakarta saja. Isinya bangunan-bangunan tinggi tok.” keluh Lani, sambil mengelus perutnya yang berisi janin berusia sekitar tujuh bulan. “Aku iki jadi susah tidur siang sejak mal itu dibangun. Berisik, nduk. Wetengku yo ngelu krungune[1].” lanjutnya.

“Hey, mbok pikir perut punya telinga, apa?” timpal Dirga, suami Lani. Lani pun sontak memukul lengan suaminya itu.

“Heh! Diam kamu, cah gendeng! Ndak ikut hamil dan melahirkan, mana paham kamu rasanya mengandung!” Lani pun mengomel sambil memukul lengan Dirga lagi. Deddy dan Dianita pun hanya dapat menggeleng-geleng melihat kelakuan tetangganya itu. Bahkan di depan mereka, tetangganya itu tak sungkan-sungkan untuk bertengkar layaknya anjing dan kucing. Bukan, anjing dan kucing pun bahkan terlalu imut untuk dapat disamakan dengan tetangganya itu. Mungkin singa dan harimau lebih tepat untuk menggambarkan mereka.

“Aduh.. Sakit. Ampun, Mah.” Dirga pun memilih untuk menyerah, ketimbang dipukuli lagi oleh istrinya. Sesungguhnya, bukan lengan Dirga yang sakit karena dipukuli oleh Lani, karena pukulan Lani hanya terasa bagaikan gigitan semut. Telinganya lah yang lebih sakit karena harus mendengar teriakan istrinya tersebut. “Apa itu nama malnya? Galaxy Mall, ya? Apa nama anak kita juga dinamakan Galaksi saja ya, Yang?” tanya Dirga. “Galak..sih. Seperti ibunya.” lanjutnya, yang membuat lengannya kembali menjadi sasaran empuk bagi istrinya.

“Memang sudah gendeng orang ini! Nanti malam kamu tidur di luar sana, di tanah Galaxy Mall sekalian biar tidur di semen kamu!”

“Haduh, sabar tho, Mbak. Ojok dirungokne[2].” tutur Dianita lembut, sambil menepuk lembut pundak Lani. “Tapi, Mbak, ketimbang putramu dinamakan Galaksi. Piye kalau misalnya dinamakan Langit saja, Mbak?” Dianita tiba-tiba memberikan usul. Lani pun seketika mengernyitkan dahinya.

“Galaksi lah, Langit lah. Mbok pikir aku iki antek-antek NASA?”

“Bukan begitu, Mbak.” sahut Dianita, sambil meringis. “Dulu kan Mbak dan Mas Dirga bertemunya di atas langit, bukan? Waktu Mbak masih jadi pramugari dan Mas Dirga pilotnya. Terus, nama Langit kan juga sedikit mirip namamu, Mbak?”

“Hahaha! Boleh juga kamu, nduk!” Lani pun tertawa terpingkal-pingkal. “Gimana, Mas?”

“Jadi, Langit Galaksi?”

“Dasar cah gendeng!” kali ini Lani pun menjitak suaminya.

Lihat selengkapnya