Potret Tanpa Cahaya

Nayyukkii
Chapter #1

PTC BAB 1

"Biarkan aku keluar, Bu! Atau kita bertiga mati bersama di sini, hah?!" Aku berteriak sambil menodongkan pisau ke arah bapak dan ibuku. Aku kalab, mataku menggelap. Aku hanya ingin terlepas dari belenggu yang mengungkungku selama hampir 10 tahun.

"Sabar, Le. kita bisa bicarakan ini baik-baik," lirih Ibu dengan suara bergetar karena mendengar ancamanku sembari memegang sebilah pisau.

"Aku cuma mau lepas dari ini semua, Bu!" pekikku sambil mengayunkan pisau ke arah mereka.

Braak!

Sebuah suara benda jatuh membuyarkan mimpi burukku, nafasku terengah. Rupanya tanganku menyambar jam digital, sehingga terjatuh dan pecah. Lagi-lagi mimpi itu datang menyerangku, membuat kepalaku terasa begitu pening. Aku terbangun dan bersandar pada dinding kamar kos berukuran 4x4. Sembari memijat pelipis aku memandang sekeliling, ruang sempit ini lebih mirip kapal pecah dari pada sebuah kamar.

Selembar kertas tergeletak di samping tempat tidurku, surat terakhir yang aku terima dari Bapak dan Ibu sebagai salam perpisahan. Setelah mengurungku selama 10 tahun, lalu mereka meninggalkan aku begitu saja. Tanpa satu pun bekal untuk bertahan hidup. Duniaku begitu gelap gulita, tanpa cahaya. Namaku Awan Biru, tapi hidupku tak seindah nama yang mereka berikan padaku. Aku hanya mengenal hitam dan putih.

Ponselku tiba-tiba berdering menampilkan nama Desak Ayu, kekasihku. Wanita pertama yang aku ajak belajar mengenal dunia. Dia yang menemaniku bangkit, berjalan dan berlari meski terseok tanpa arah. Tapi sudah hampir dua minggu aku mengabaikannya, tanpa alasan. Aku menghilang begitu saja. Dia beberapa kali mendatangi kosku tapi tak pernah ku hiraukan lagi.

Sebuah pesan muncul, masih dari Ayu.

Mocci ❤️: Moo, kamu kemana? Kenapa tiba-tiba ngilang? Aku telepon nggak bisa, aku whatsapp juga nggak ada balasan. Aku salah apa sama kamu, Moo?

Mocca dan Mocci adalah panggilan kesayangan kami. Aku hanya membaca pesan Ayu dari notifikasi yang muncul di layar ponselku. Tak ada niatan untuk membalasnya, karena tak ada satu pun hal yang bisa aku jelaskan padanya tentang kondisiku. Siapa yang bisa memahami apa yang aku rasakan saat ini? Kukira tak akan pernah ada. Semua yang terjadi dalam hidupku jauh dari nalar manusia normal.

Lihat selengkapnya