"Kita sampai sini aja, Cii. Aku nggak bisa lanjut lagi," ucapku sambil menatap lekat wajah cantik yang masih menjadi pemenang di hatiku. Aku melepasnya sebagai hadiah terakhirku untuknya yang selalu setia menemani masa-masa terberat dalam hidupku. Dia adalah gerbang yang membawaku pada dunia asing, dunia yang jauh berbeda dari apa yang selama ini aku diami. Ayu yang memberiku cahaya dan terlepas dari kegelapan yang mengurungku selama ini. Hanya saja, semakin aku mencintainya, rasanya rasa bersalahku padanya semakin hebat. Empat tahun kita berjalan bersama, tapi selama itu aku terus berbohong tentang siapa aku.
Seandainya dia tahu bahwa aku hanya seonggok daging yang bernyawa tapi tak memiliki jiwa, apakah dia akan tetap menerima. Kurasa aku terlalu egois jika terus menahannya dan terlibat lebih dalam pada carut-marut hidupku. Ah, tapi sepertinya bukan itu alasanku melepas Ayu. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan jika suatu hari nanti gadis yang kucintai ini membuangku seperti Bapak dan Ibu.
"Kamu bercanda 'kan, Moo?" tanya Ayu dengan wajah terluka dan mata berkaca-kaca, "aku punya salah sama kamu? Aku ... aku ...." Air mata Ayu tumpah, tangisnya pecah. Aku ingin memeluk Ayu tapi ku urungkan. Dia harus bisa bangkit sendiri tanpa diriku. Aku sadar keputusanku ini sangat menghancurkan dirinya, tapi ini lebih baik daripada dia harus hancur bersama diriku.
"Aku nggak bercanda. Kita memang sudah tidak bisa sama-sama lagi, Cii."
"Tapi apa alasannya? Karena kita beda keyakinan? Aku mau belajar, Moo. Aku mau ikut kamu, tapi jangan gini juga caranya. Aku butuh waktu," rengek Ayu enggan berpisah denganku. Aku tahu, Ayu tidak pura-pura, dia benar-benar mencintaiku apa adanya, hanya saja sebagai Biru yang dia kenal, bukan sebagai Biru yang gila dengan kehidupannya. Bahkan sampai detik ini Ayu tidak tahu kalau aku hanya tamat sekolah dasar. Sudah terlalu banyak kebohongan yang kubangun demi memuluskan hubunganku dengan Ayu, dan semakin dalam rasaku, semakin sulit aku menutupi kebohongan-kebohongan itu lagi.
"Bukan, Cii. Aku tidak mempermasalahkan itu. Masalahnya bukan di kamu, tapi aku," tegasku dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Aku hanya berusaha sekuat tenaga menyembunyikan laraku sendiri.
"Apa masalahnya, Moo? Gimana aku bisa tahu kalau kamu nggak cerita, kita bisa bicarakan baik-baik. Nggak harus putus kaya gini. Aku sayang sama kamu, Moo. Empat tahun, Moo. Apa itu nggak cukup buat menunjukkan bahwa aku serius sama kamu, hah?" Emosi Ayu mulai tersulut, dia memang berhak marah. Akan lebih baik jika Ayu membenciku, maka aku akan lebih mudah melangkah pergi dari hidupnya.
"Selama ini aku bohong sama kamu, Cii."