Prang!
Pyar!
"Apa maksud dari semua ini, Bu!" teriakku tak terima. Aku melmpar jendela kaca dengan gelas hingga pecah berkeping-keping. Aku Bumi, Anak sulung Purwanti, wanita yang selalu kupanggil ibu.
Sudah sebulan lebih aku lulus dari salah satu pondok terbesar di Jawa Timur. Seperti rencana semula, aku hendak melanjutkan studiku dengan mendaftar Akademi Militer. Aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari, bahkan saat aku masih duduk di bangku kelas tiga madrasah. Tetapi apa yang aku dapati tidak sesuai harapan.
Ibu tiba-tiba saja menjadi asing, hidupnya hanya berdiam diri di dalam kamar. Kata Bapak, Ibu sedang wirid, menjalani tirakat yang diperintahkan sehingga tidak bisa keluar kamar. Bahkan sudah sebulan aku di rumah tidak sekali pun dia menemuiku, padahal sebagai seorang anak yang selama hampir enam tahun hidup di pondok, aku merindukannya. Setidaknya aku berharap beliau menyambut kepulanganku.
"Keluar, Bu! Atau aku akan menghancurkan seisi rumah!" teriakku kalab. Ini bukan lagi tentang Ibu yang tidak menyambutku, tapi lebih dari itu. Apa yang mereka jalani sangat bertentangan dengan apa yang aku pelajari selama enam tahun di pondok pesantren.
Rumah menjadi gelap gulita tanpa listrik padahal kami tinggal di tengah kota. Bapak dan Ibu tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Sedangkan setiap hari aku selalu melihat beberapa orang datang ke rumah menemui Bapak, tanpa kuketahui apa yang mereka bicarakan.
Satu hal lagi yang membuatku sulit menerima keadaan adalah kondisi Biru, kenapa dia masih belum mendaftar sekolah padahal tahun ajaran sudah jauh terlewat. Pendaftaran di pondokku pun sudah terlewat lebih jauh lagi. Setiap kali aku bertanya, jawaban mereka hanya satu 'belum waktunya'.
Satu dua minggu aku masih bisa menerima, tapi semakin kesini aku semakin merasa banyak kejanggalan terjadi. Setidaknya, mereka memberiku penjelasan yang lebih masuk akal tentang apa yang mereka jalani. Bukannya malah mendiamkan aku dan hanya bisa menebak-nebak tanpa bias memahami apa pun.
"Keluar, Bu!" Aku kembali berteriak kencang sambil melempar apa pun yang ada di tangannku ke jendela-jendela kaca di rumah. Sudah cukup aku menunggu dan meminta penjelasan baik-baik, tetapi mereka selalu berkilah dan Ibu tetap tidak menemuiku sama sekali.
Praaank!
Pyaaar!