Potret Tanpa Cahaya

Nayyukkii
Chapter #5

PTC BAB 5

"Kapan Biru sekolah, Bu?" tanyaku lagi pada ibu yang sedang khusyuk dengan wiridnya. Entah apa yang dia baca, sudah dua tahun aku lulus dari SD. Seharusnya aku sudah kelas dua sekolah menengah atau seperti janji Bapak dan Ibu, seharusnya sudah kelas dua madrasah di pondok Mas Bumi, tetapi kenyataan masih saja di sini, terkurung di ruangan kecil ini.

"Sabar, Le. Kita ini sedang berjuang di jalan Allah. Semua yang kita lakukan harus mengikuti petunjuk Allah," jawab Ibu menghentikan wiridnya.

"Ibu nggak bohong, kan? Tapi Biru sudah telat mendaftarnya, Bu. Teman-teman Biru pasti sudah kelas dua sekarang." Hanya rengekan demi rengekan yang bisa keluar dari mulutku, tidak seperti Mas Bumi yang berani melawan. Bapak-Ibu selalu mengajariku untuk patuh dan menurut dengan mereka, sehingga semua emosi yang aku rasakan hanya bisa tertahan dan kupendam dalam-dalam. Bahkan tidak berani melawan atau pun membantah mereka sedikit pun.

"Keluarga kita ini istimewa, Le. Kita ini orang-orang pilihan. Kita tidak bisa disamakan dengan orang pada umumnya, jadi kamu harus bersabar karena itu adalah bagian dari perjuangan kita." Ibu menutup pertanyaanku dengan jawaban yang selalu sama setiap hari, entah sudah berapa juta kali bertanya dan jawabannya tetap sama. Menunggu petunjuk Tuhan, kadang aku pun bertanya Tuhan yang mana yang mereka maksud? Apakah Tuhan yang sama dengan yang aku sembah? Tak ada bantahan yang bisa keluar dari mulutku bahkan hanya untuk mempertanyakan apa yang mengganjal di hati pun tak berani. Rasanya memang setakut dan sepatuh itu pada mereka, jiwaku seperti tercetak tanpa bisa meluapkan emosi dengan benar.

Dengan langkah gontai aku kembali ke kamar yang hanya menggunakan penerangan lampu teplok, lalu membuka sketchbook pemberian Mas Bumi bulan lalu. Aku sangat suka menggambar anime, sehingga Mas Bumi membelikanku semua peralatan menggambar lengkap. Seharusnya minggu ini dia pulang, biasanya dia akan membawakan sesuatu untuk oleh-oleh. Kepulangan Mas Bumi dari Jogja sangatlah kutunggu karena dengan begitu setidaknya bisa menepis kesendirian di kamar gelap dan pengap ini.


"Assalamualaiku, Bu, Pak!" terdengar suara Mas Bumi di luar, sepertinya dia bari saja datang. Apakah kali ini dia mengajak Mbak Kinara? Rasanya begitu antusis ingin menyambut mereka, dengan perasaan yang membuncah aku kembali keluar kamar, tapi Ibu menahan, "Kamu di dalam saja, Le. Hanya Bapak yang dijinkan keluar," begitu ucap ibu. Tak ada bantahan, dengan perasaan kecewa aku kembali memasuki kamarku yang gelap.


Terdengar suara Bapak membuka pintu dan aku hanya bisa melihat kedatangan mereka dari balik kaca jendela. Mas Bumi tidak sendiri, ada Mbak Kinara yang menemani. Ah, rasanya ingin belajar lagi dengan mereka. Mbak Kinara selalu bisa mengajariku berbagai macam pelajaran, terutama bahasa Inggris. Mbak Kinara adalah mahasiswa pendidikan bahasa ingris, jadi dia sangat sabar mengajariku belajar selama ini.


"Biru mana, Pak?" terdengar Mas Bumi menanyakan keberadaanku.


"Di kamarnya, Le. Adik sedang tidak diijinkan keluar," jawab Bapak dan sepertinya Mas Bumi tidak terima begitu saja.


"Siapa yang tidak mengijinkan, Pak? Kenapa hanya untuk menemui kakaknya sendiri harus mengunakan ijin, ijin dari siapa maksud Bapak?" terdengar Mas Bumi terus mencecar Bapak dengan berbagai pertanyaan.


"Le, keluarga kita ini 'kan berbeda. Semua perilaku di dalam rumah ini itu diatur Allah. Semua harus atas ijin dan petunjuk Allah. Keluarga kita ini istimewa karena bisa menerima petunjuk langsung dari Allah," terdengar Bapak tidak mau kalah argumen dari Mas Bumi. Sedangkan aku hanya bisa mendengarkan pertengkaran mereka dari balik pintu kamar tanpa berani keluar.


"Allah yang mana yang Bapak maksud? Apakah Allah kita masih sama, Pak? Bahkan Rasulullah saja menerima wahyu melalui Malaikat Jibril. Bapak dan Ibu jangan mengada-ada!" pekik Mas Bumi terlihat mulai emosi, dia memang paling keras jika sudah membahas tentang keyakinan Bapak dan Ibu.


"Sabar, Mas. Istighfar," terdengar suara lembut Mbak Kin menenangkan amarah Mas Bumi.


"Saya enam tahun belajar di pondok, Pak. Saya juga belajar tasawuf, tapi tidak seperti ini? Yang kalian yakini sudah terlalu jauh melenceng!" bentak Mas Bumi yang tak terima dengan kondisi kedua orang tua kami. Aku sendiri masih tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku hanya lulusan SD yang tak tahu apa-apa, aku hanya bisa mengikuti apa pun perintah Bapak dan Ibu tanpa ada sedikit pun keberanian untuk membantah mereka.

Jam masih menujukkan pukul sembilang malam, tetapi pertengkaran antara Bapak dan Mas Bumi masih berlanjut semakin memanas. Bapak terdengar kehabisan kata untuk mematahkan argumen Mas Bumi.

"Di mana Ibu, Pak?" tanya Mas Bumi, aku masih setia duduk di balik pintu menguping pertengkaran mereka. Ya, seperti itulah aku, jika tidak diijinkan, maka aku akan patuh hingga perintah berikutnya. Perintah dari langit kata mereka, yang aku sendiri tidak tahu siapa yang memerintah Bapak dan Ibu hingga sedetail itu. Bahkan hanya urusan makan saja kami harus menunggu perintah, jika saja perintah makan itu tidak turun makan seharian aku akan menahana lapar yang menyiksa. Apakah Bapak dan Ibu mengkhawarirkan aku? Aku rasa tidak, selama itu perintah dari langit mereka tidak akan pernah peduli sekali pun karena kelaparan itu aku mati.

Lihat selengkapnya