Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #9

Pixel 9

16 tahun kemudian

Gema menemani ayahnya yang terbaring lemah, menggantikan ibunya yang kala itu tidak bisa berjaga di rumah sakit.

“Gimana kuliah kamu Gema?”

Ia hanya diam mendengar pertanyaan tersebut. Buta warna parsial yang dialami Gema menjadi penghalang sejak awal ia mendaftar di jurusan desain komunikasi visual. Gangguan penglihatan yang dideritanya membuat ia tidak bisa membedakan beberapa warna bila digabungkan dalam satu bidang. Jika bukan karena relasi ayahnya, mungkin Gema tidak akan diterima di kampus tersebut.

“Gimana kondisi Papa?” tanyanya balik.

“Kondisi hati Papa lebih baik daripada kamu.”

Bima tahu anaknya mengalami kesulitan. Keterbatasannya membuat ia harus berusaha lebih keras dalam mengerjakan rangkaian tugas. Namun hal itu tidak mengahalangi Gema untuk menjadi seorang teaching assistant dan berhasil mengalahkan beberapa temannya yang juga mendaftar sebagai asisten dosen. Sayangnya kondisi tersebut hanya belangsung di semester-semester awal. Kini di tahun ketiganya, gangguan indera penglihatan yang dideritanya menghambat ia dalam mengikuti perkuliahan.

You can go through it,” nasihatnya penuh keyakinan.

Garis-garis wajah Gema lebih serupa dengan ibunya, namun Bima seolah menjadi faktor dominan yang menurunkan sifat pada anaknya. Bima tahu betul anaknya memiliki ambisi yang menggebu, terlebih ambisinya kala itu untuk bisa masuk di jurusan yang ia inginkan.

“Papa juga pasti bisa sembuh.”

Ia yakin ayahnya dapat melawan penyakit yang dideritanya itu dan kembali beraktivitas normal. Gema mengenal Bima sebagai sosok yang selalu berhasil mewujudkan segala hal yang menjadi tujuannya. Pebisnis unggul yang berhasil mengekspansi perusahaannya di berbagai negara.

“Kamu tahu Gema, dari sekian banyak pencapaian Papa,” suaranya terdengar lirih mengenang masa kejayaannya dulu, “Tapi ada satu hal yang belum Papa dapat.”

Keheningan sejenak membingkai perbincangan hangat antara ayah dan anak tersebut, Gema menatap lekat ayahnya. Rangkaian kalimat yang terlontar dari lelaki itu menjadi pesan terakhir yang ia dengar. Pesan itu pula yang membuat benaknya dibalut banyak pertanyaan dan rasa ingin tahu yang tak kunjung menemukan jawaban.

***

“Mama ga perlu tahu Gema.”

Andai kala itu Gema menyakan alasan mengapa ayahnya ingin merahasiakan hal ini, mungkin akan banyak titik terang yang terlihat. Ia kembali mengamati foto yang berhasil ia temukan, berharap ia bisa mendapatkan petunjuk tentang apa yang sebenarnya mendasari keinginan ayahnya. Pandangan Gema terfokus pada dua orang yang berdiri di samping ayahnya dalam foto tesebut. Mungkin Mamanya mengenali dua orang itu, namun Gema tidak bisa menanyakannya untuk sekedar memastikan.

Gema berusaha mengingat kembali pesan yang disampaikan ayahnya, “Cari alamat itu Gema, temukan lukisan yang hilang untuk Papa.”

Lihat selengkapnya