Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #1

Pixel 1

“Kenapa banyak lukisanmu yang hitam putih?”

"Aku melukis realitas hidupku sendiri.”

“Yang suram dan tidak berwarna?” tanya Indira.

“Yang juga sulit dan berliku,” jawabnya tanpa ragu.

***

Sama halnya dengan bernafas, melukis sudah menjadi kebutuhan hidupnya. Meskipun ia tidak mahir menggunakan teknik ataupun menerapkakan unsur estetik dalam karyanya, tapi Candra tidak peduli. Ia terus melukis menurut apa yang hatinya suka dan yang dipikirnya baik, karena itu pula lukisannya tidak laku dan sepi membeli. Baginya menjadi pelukis adalah kebebasan, namun dirinya dibatasi oleh standar kemapanan yang tidak bisa ia dapat dari melukis.

“Apa yang bisa kamu hasilkan dari cat-cat minyak itu?”

Bauran bakat dan goresan cat yang dihasilkan oleh Candra hanya dipandang sebelah mata. Orangtuanya menjadi pembunuh pertama mimpi-mimpi yang ia lukiskan, namun Candra tidak kehilangan arah. Ia tetap memilih untuk kuliah di Institut Kesenian. Jalan yang dilaluinya tidak mulus. Tempat pendidikannya itu bubar tak lama setelah Candra menempuh kuliah beberapa semester disana.

Ia memilih untuk mengasah kemampuannya dengan otodidak. Buku dan pengetahuan ia dapatakan dari berbagai pendekatan intelektual yang diperolehnya tanpa melalui pendidikan formal. Candra menjadi seorang nomad di sudut-sudut kota. Dengan kondisinya yang serba pas-pasan, rasa ingin tahunya yang tidak mengenal batasan itu mampu melintasi ruang-ruang budaya yang ia temui. Melesatkan mimpinya menuju Galeri Nasional, namun pendaratannya hanya berujung sebagai seniman jalanan yang menjajakan karyanya di pinggiran pasar.

“Katamu pelukis itu hidupnya tidak boleh berjauhan dari cahaya matahari, tapi pukul dua belas siang saja kau masih tidur.”

“Aku sudah bisa melukis dengan penerangan bulan. Sama-sama cahaya bukan?”

“Tidak ada bulan tadi malam.”

Jika dalam mitologi Yunani terdapat Muses yang beranggotakan sembilan dewi inspirasi, Candra selalu meyakini Indira pemimpin dari kelompok tersebut. Perempuan itu selalu berhasil menjadi sumber inspirasi sekaligus pelariannya dalam berkarya. 

Meskipun Indira tak jarang mematahkan semangatnya,“Benar kata orangtuamu, kamu memang tidak berbakat.”

Namun disisi lain ia selalu mendorong Candra untuk tidak pernah berhenti berkarya, “Tapi cobalah bikin lagi.”

Indira membuat Candra tidak pernah membiarkan cat-catnya mengering, “Sudah ku bilang kan melukis itu bernafas. Badanku pegal-pegal jika tidak melukis.”

“Tidak ada pegal-pegal yang disebabkan gangguan pernafasan.”

Candra beruntung mengenal Indira yang memahami idealismenya. Perempuan itu satu-satunya yang berani mengkritik karyanya. Bukan hanya tentang lukisan yang dikritiknya, perempuan yang berprofesi sebagai pengacara itu memang sering menggerutu tentang manusia dan keluh kesahnya terhadap dunia.

“Dunia tidak pernah adil.”

“Kalau dunia dipenuhi keadilan, nanti apalagi yang mau ditegakan oleh pengacara sepertimu?”

“Menara pisa.”

Hanya Candra yang mau sabar menanggapinya. Ia selalu berusaha menjadi pendengar yang baik meskipun tidak jarang terpaksa.

Menjadi pengacara perempuan seringkali dinomor-duakan. Indira sempat menjadi topik pembicaraan utama diantara para advokat berkat kasus kelas kakap yang berhasil ditanganinya. Namun headline yang sering didengarnya hanya sebagai pengacara cantik yang pandai merayu hakim dan mempunyai kenalan banyak jaksa.

“Memangnya siapa yang bilang kamu cantik?”

Indira hanya menatapi sinis dan tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Candra tidak pernah protes ketika Indira menggerutu dan mengomel tentang manusia. Perempuan itu terkadang ingin berterimakasih karena kesabarannya, namun hal itu hanya akan membuat Candra besar kepala.

Tidak bisa dipungkiri, memang selalu menyenangkan berbincang dengan seniman itu. Terkadang Candra mengajaknya berpetualang ke dunia yang dihadirkan oleh Picasso, ke jagad yang dihamparkan oleh da Vinci dan van Gogh.

Lukisan-lukisan Candra menyajikan banyak simbolisme dramatis yang nampak sureal dan lekat dengan metafora. Ia memilih perpaduan warna yang sederhana, namun bisa memberikan kesan dan makna yang berbeda. Sebagian orang mengiranya pelukis surealis, namun nyatanya bukan.

“Kenapa banyak lukisannmu yang hitam putih?” tanya Indira.

“Cat hitam putih itu lebih murah harganya dan aku tidak perlu membeli banyak warna, mungkin disitu letak keindahannya,” jelasnya sambil membersihkan debu-debu yang menempel dilukisannya.

Indira selalu mengagumi kejujuran lelaki itu dalam berkarya, beharap lebih banyak orang yang dapat melihat itu.

Hanya menunggu waktu seniman itu akan benar-benar bangkrut dan tidak bisa membeli kanvas ataupun cat minyak. Goresan kuasnya mulai kehilangan arti dan karyanya hanya menempati ruang sunyi di jalur-jalur yang tak lagi tersentuh.

Lalu lalang pengunjung pasar disibukan untuk membeli kebutuhan Hari Raya. Membeli lukisan bukanlah kebutuhan yang utama. Hanya sebagian orang yang menjadikan lukisan sebagai hiasan dinding di rumahnya. Sebagian lainnya lebih memilih furniture dengan harga mahal dan memiliki nilai jual untuk dipamerkan di ruang tamu.

“Sepertinya aku akan mulai menyukai monokromatik. Kamu masih bisa melukis dengan arang kan?”

Candra tersenyum mendengar usulan Indira, “Boleh juga, mungkin besok aku coba cari arang atau pakai charcoal.”

Idealisme yang dipegang oleh lelaki itu tidak mampu membantunya untuk sekedar memperoleh penghasilan yang mencukupi, namun itu cukup membuatnya mendapatkan kebebasan jiwa yang menjadi resep eksistensinya selain ketulusan dalam berkarya. Sama halnya dengan Indira, entah apa yang mempengaruhi pemikiran keduanya.

“Aku menolak tawaran kerja di firma.”

“Kenapa?”

“Lembaga Bantuan Hukum lebih menarik.”

Bukan pilihan yang mudah bagi Indira untuk menolak firma hukum yang sudah terkenal dan cukup ternama di kalangan para advokat. Gaji tinggi dengan bayaran per jam mecapai puluhan dollar tidak mempengaruhi keputusannya. Dengan pendapatan tersebut, Indira bisa saja dengan mudah membeli kendaraan pribadi dan mencukupi kebutuhannya, tapi ia memilih untuk tidak tegiur.

“Aku bisa naik kopaja, kebetulan ada jurusan yang melewati kantor LBH. Jadi semoga ga macet kalau berangkat kerja.”

Ia lebih memilih menggunakan bus dengan bangku-bangkunya yang sudah mulai berkarat dibandingkan dengan membeli mobil SUV hitam yang nyaman dengan elegan.

“Kamu berhak untuk dapat yang lebih baik. Apa salahnya terima kerja di firma hukum yang terkenal?”

Lihat selengkapnya