Candra yang sejak awal Indira kenal selalu memiliki prinsip yang dipegang dan tanpa ragu menentang hal-hal yang dianggapnya tidak sejalan. Penghasilan Candra yang pas-pasan dan pekerjaannya yang hanya seniman jalanan tidak pernah Indira permasalahkan. Ia selalu meyakini seniman itu akan berlabuh pada pencapaian tertingginya dalam berkarya.
Candra hidup dengan pergulatan ide dan mimpi. Hobinya menyerap keindahan dan melahap utopia yang menakjubkan, dengan begitu caranya bertahan dari realitas kehidupan yang bertolak belakang.
Indira selalu senang berbincang banyak hal dengan Candra, namun kini ia hanya berharap hubungannya bisa lekas membaik dengan seniman itu. Karena hanya Candra yang mau mendengar keluh kesahnya.
Ia kembali teringat tentang perbincangannya malam itu.
“Kamu tidak ingin pulang? Mungkin orangtuamu sebenarnya ingin memberimu harta warisan.”
“Jejak langkahku bukan untuk melihat masa lalu.”
Seniman itu tidak punya medium untuk menapaki sesuatu yang sudah ia tinggalkan di masa lampau.
“Bagaimana jika ibumu merindukanmu?”
Pulang bukan sebagai nostalgia romantis, melainkan sebagai pengingat paling sadis yang mengusik memorinya untuk kembali pada momen sulit ketika memilih untuk menjadi seorang pelukis.
“Aku ingin merayakan kehilangan dengan tidak melihat ke belakang. Bukankah itu cara yang tepat?”
“Kamu hanya berpura-pura lupa bahwa mereka selalu menyayangi dan tidak pernah melupakanmu.”
“Nanti karyaku sendiri yang lebih dahulu menghampiri mereka,” suaranya yang bergetar terdengar penuh keyakinan.
“Kamu terlalu banyak mengkhayal.”
Indira ingin melihat khayalan itu menjadi kenyataan. Indira ingin membawa Candra pada titik dimana karya-karyanya menempati berbargai ekshibisi dan galeri seni. Perempuan itu yang selalu percaya pada mimpi-mimpi Candra, namun seringkali seniman itu yang mengkhianati mimpinya sendiri. Meskipun begitu bagi Indira, Candra adalah ikhtisar perjuangan, dedikasi yang diberikan seniman terhadap karyanya.
“Aku harus membeli kanvas ukuran kolosal atau mendaftarkan karyaku agar bisa dipajang di billboard jalan tol. Aku juga bisa melukis tanda pengenal lalu lintas dan dengan itu karyaku bisa mudah temui di sepanjang jalan.”
“Jasamarga tidak membutuhkan pelukis kaya kamu, lukisan tanda pengenal itu ga ada gunanya.”
“Aku mau coba.”
“Pasti ditolak!”
Candra selalu percaya kegembiraan hati. Saat tidak ada aktivitas lain yang dilakukannya, ia bisa menghabiskan berjam-jam mengamati apapun yang terlihat disekitarnya. Pantas saja Indira menjulukinya seniman gila yang sering menghabiskan waktu dengan percuma.
Kini pelukis itu memempengaruhi otak Indira bekerja, memenuhi ruang-ruang di dalam labirin kepalanya. Bukan tentang kerinduan akan kehadirannya yang Indira nantikan, melainkan kemarahannya pada seniman itu. Padahal Indira menduga Candra pasti sudah lupa dengan omong kosongnya tadi sore. Lelaki itu memang tidak pernah diliputi perasaan bersalah.
“Bagaimana jika orangtuaku sudah mati Indira?” pernah suatu ketika ia tiba-tiba bertanya hal itu pada Indira, “Akhir-akhir ini ibuku sering hadir dalam mimpiku seperti arwah penasaran yang ingin menebus rasa bersalahnya.”
“Anak durhaka sepertimu yang seharusnya mati lebih dulu.”
Seniman jalanan yang tidak memahami konsep berduka itu juga tidak pandai memaknai kehilangan. Ia pun tidak mengenal kesedihan akut yang pernah dialami Indira. Seniman itu mudah berdamai dengan kehilangan dan mengerti bahwa sesuatu yang tak kembali, memang harus diikhlaskan dan dilupakan.
“Duka punya batas waktu. Kesedihanku atas orangtuaku sudah kedaluwarsa sejak dulu.”
Candra berbeda dengan Indira yang terkadang masih diliputi rasa kehilangan, “Ibuku tidak pernah hadir dalam mimpiku, sepertinya ia tidak tahu kamar tidurku sudah pindah di lantai dua.”
Sosok perempuan pertama dalam hidup Indira itu tidak pernah singgah dalam mimpnya. Tidak banyak pula momen yang ia habiskan dengan perempuan yang ia cintai itu. Kenangan bersama ibunya hanya menjelma abstraksi tak kasat mata yang ia anggap berharga.
“Ibumu sudah tenang. Tidak perlu lagi bergentayangan untuk mengkhawatirkan anaknya yang tak kunjung hidup mapan sepertiku.”
Sejak kehilangan sosok ibu, Indira tidak lagi mengenal keluarga ideal. Potret keluarga yang menjadi dambaan semua orang, termasuk dirinya. Keluarga sempuna dan kasih sayang utuh hanya fiksi yang ia lihat di film keluarga. Cerita dalam film yang pernah ia tonton itu menampilkan keluarga impian hanya untuk mereka yang memang punya keluarga. Sedangkan untuk yang tidak memiliki, silakan bermimpi terus.
Bertemu dengan Candra membuat Indira bangun dari mimpi itu. Dua anak piatu yang hidup tanpa sosok ibu itu menapaki kesengsaraan mereka menjadi hal yang menyenangkan. Keduanya disatukan oleh perpaduan dua jenis kehilangan dan penderitaan yang mampu mereka tertawakan. Bagi mereka hal itu bukan hanya kesedihan dua orang saja, tapi juga melingkupi jutaan anak di luar sana yang hidup tanpa mengenal sosok ibu.
“Aku merasa terasingkan dan didiskriminasi saat Hari Ibu,” ujar anak perempuan itu.
“Hatimu memang dipenuhi iri dan dengki kan?”
“Aku bingung kenapa ayahku tidak mau memberikan ibu baru.”
“Karena tidak ada ibu tiri yang mau anak sepertimu”
Indira memahami ayahnya butuh waktu lama untuk benar-benar mengubur objek kehilangan dan melebur kenangan. Lelaki itu seringkali melakukan penghakiman atas dirinya sendiri yang merasa ditinggalkan. Butuh waktu lama dan tidak akan pernah cukup untuk melepas kesedihannya pelan-pelan.
***
Perempuan itu terjaga pukul tujuh pagi, biasanya Indira tidur lagi jika hari libur karena tidak harus berangkat kerja. Berbeda dengan hari itu, ia ingin pergi ke suatu tempat yang sudah lama tidak dikunjunginya. Biasanya hari libur ia suka bekeliling pasar mencari makanan-makanan yang masih hangat dan pagi buta sudah dijajakan. Ia sudah mengenal dan hapal beberapa penjual yang sering ditemuinya.
Pagi itu ia melihat beberapa pedagang sedang berkumpul di depan rumahnya. Sebagai seorang dokter mata, Windu juga membuka toko optik di rumahna. Hari itu ia sengaja melakukan kegiatan cek mata gratis. Para pedagang di sekitar pasar nampak antusias. Keluhan mereka sulit untuk membaca nominal uang dalam kegiatan transaksi jual beli yang dilakukan di pasar. Kebanyakan mengalami gangguan penglihatan karena faktor usia, dan sebagian dari mereka memang sudah tua.
Indira melihat ayahnya sibuk menyiapkan lensa dan berbagai peralatan yang ia butuhkan. Ia segera menghampiri lelaki itu, dan berdiri di dekat etalase kaca yang memajang berbagai macam jenis kacamata kecuali kacamata kuda.
“Ayah kok ga bilang kalau hari ini ada acara di rumah?”
“Katanya hari ini kamu mau pergi naik kereta, bosan terlalu sering naik kopaja?”