Potret

Sinar Shinta Emilisa
Chapter #3

Pixel 3

Bursa seni memiliki nilai transaksi tinggi yang menjanjikan dan menguntungkan, namun hal itu hanya dilirik sebagian orang. Sebagian orang yang jeli melihat peluang besar itu adalah Armand. Ia tahu betul mengoleksi karya seni dengan harga fantastis bagi para koleganya dijadikan sebagai tiket untuk mendapat titel jetsetter. Para pengusaha yang dikenal Armand kebanyakan memiliki galeri seni hingga museum pribadi di rumahnya. Bagi para miliuner itu, mengkoleksi karya seni sama halnya dengan kepuasan pribadi dan penanda status sosial.

Prospek tinggi yang ditawarkan dari bursa seni juga sebanding dengan resiko yang kapan saja bisa menghantui. Krisis moneter yang masih butuh waktu untuk benar-benar pulih itu berpengaruh pada penjualan karya seni yang dilakukan oleh seorang art dealer seperti Armand. Selain itu ia pun dihadapi masalah kasus penggelapan pajak yang menimpa perusahaanya. Jual beli karya seni yang ia lakukan sering dituduh sebagai upaya money laundry.

Hendak mewarisi perusahaan cacat dengan serangkaian kasus yang dinodai oleh kelakuannya sendiri bukan perkara yang mudah bagi Armand.

“Aku ga pernah meminta untuk dilahirkan apalagi disuruh menanggung beban orangtua. Bukannya itu seharusnya tanggung jawab papa?” cecar anaknya.

“Kamu harapan kita satu-satunya Bima,” ujar perempuan itu lembut menyeimbangkan tempramen suaminya yang tinggi.

Pada momen itu Bima menyadari bahwa menjadi kaya adalah sebuah kutukan. Lahir dengan berbagai macam privilege tidak lantas bisa membuat Bima memiliki banyak kemudahan. Ia melewati banyak penolakan yang terjadi dalam dirinya untuk bisa menerima hidupnya kini. Sang penyendiri itu terpaksa menjadi eksekutif muda.

Ia tidak memahami seni, ranah yang menjadi sektor perusahaan ayahnya. Seni yang ia lihat seringkali hanya terjebak dalam bingkai imajinasi seniman dan penilaian kuratornya sendiri.

“Kamu tidak perlu memahami seni, apalagi terjun menjadi seorang seniman,” ujar Armand berusaha meyakinkan Bima untuk menjadi seorang art dealer.

“Cukup melakukan networking dan pembeli akan menghampirimu dengan sendirinya,” sambung Armand yang sering menghadiri after party untuk memperluas networking yang dimilikinya.

“Seni itu ranah personal Bima, kamu harus melakukan pendekatan intimate,” tegas Armand yang sudah mahir menjadi penghubung karya antara seniman dan mereka yang kebanyakan uang.

Ekosistem seni rupa yang berkembang saat ini dapat tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Menurut Armand, hal ini sedikit dipengaruhi oleh nouveau rich—sebutan yang disematkan untuk Orang Kaya Baru. Sektor yang menarik bagi kasta baru ini menjadi potensi yang penting bagi seorang art dealer seperti Armand.

Sedangkan bagi Bima hal itu tetap saja sia-sia jika pada akhirnya ia harus membereskan masalah hukum di perusahaan ayahnya. Armand masih berusaha kuat menjaga reputasi perusahaan yang sudah diujung tanduk itu. Berbagai cara ia lakukan untuk menyelesaikan masalahnya dan kini pengusaha kaya itu menggantungkan harapannya pada Indira.

“Saya yakin kamu sudah membaca berkas-berkas yang sudah dikirim ke email, nanti kamu juga bisa menghubungi asisten saya lebih lanjut.”

Pertemuan dengan kliennya kali ini terasa berbeda. Indira tidak seperti dihinggapi beban kerja yang sedang dilemparkan kepadanya. Entah mengapa ia merasakan kehangatan makan malam bersama keluarga yang utuh. Momen yang tidak pernah lagi ia rasakan setelah kepergian ibu.

Arman bukan seorang workaholic yang memaksakan kerja dan memaksakan meeting di hari Minggu. Tanpa harus lembur dan dengan bermalas-malasan saja kekayaanya tetap bisa mengalir. Sejujurnya Armand mengundang gadis itu agar Bima tidak perlu ragu. Ia ingin menunjukan anaknya itu bahwa Bima memiliki tameng pengacara handal yang mampu menyelesaikan masalah perusahaan.

Mereka berempat menikmati hidangan utama yang disajikan. Ikan salmon panggang dengan taburan caviar dan saus tartar. Armand tidak terlalu membahas panjang lebar mengenai masalah hukum yang menimpa perusahaannya. Sebaliknya, ia berusaha menciptakan perbincangan santai.

"Jadi kalian satu almamater tapi beda jurusan?"

"Beda angkatan juga Pa."

Indira dua tahun di atas Bima. Bima mengingat jika ia sempat bertemu Indira saat keduanya sempat aktif di beberapa kegiatan mahasiswa. Sejujurnya Indira sudah lupa dengan kejadian itu namun ia berusaha pura-pura mengingatnya.

***

Mobil Mercedes Benz itu sering dibiarkan terparkir semalaman, karena akan berbahaya bila pemiliknya yang mengemudi. Jika saja tadi ia tergoda untuk meneguk whisky yang dipesan Armand, mungkin malam itu Bima akan dipesankan taksi atau dijemput supir pribadinya. Namun ia beruntung tidak meminumnya dan bisa mengantar gadis itu pulang.

"I adore you, you still meet your client even it's Sunday. Is it the way to spend your weekend?"

Ternyata tidak hanya Candra yang suka meledeknya karena bekerja di hari Minggu, namun Bima yang baru dikenalnya juga. Indira bisa saja menolak permintaan Armand untuk bertemu di akhir pekan, namun hal itu sama artinya ia akan kehilangan kesempatan untuk menangani kasus ini.

"Honestly i didn't feel like going to work today, but i remember that i was born cute not rich like you."

"I was born naked."

Indira menoleh mendengar jawaban Bima.

"Well, keep your hardwork Dira!" Bima menggantungkan penuh harapannya pada Indira. Ia meyakini papanya tidak akan sembarang memilih orang untuk mengatasi kasus hukum yang menjerat perusahaan keluarganya.

"Indeed. You can count on me," ujarnya sambil mengalihkan pandangan keluar kaca mobil untuk melihat lanskap kota di malam hari.

Inner beauty sebuah kota dapat bertambah setelah diguyur hujan. Rutinitasnya yang sibuk membuat Indira seringkali ingin kabur sejenak dari Jakarta yang terlalu kaku. Ia ingin mengunjungi Paris yang menjadi bucket list jutaan orang di dunia, namun ternyata menikmati kesederhanaan Jakarta di dalam mobil saja sudah cukup memberikan kesan magis dan membuatnya bahagia.

Dunia yang tidak pernah adil menurut Indira berlaku juga pada kota. Di belahan bumi sana, muncul kota-kota megah serupa istana para pasha yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusianya dan memukau para pendatang yang berkunjung. Di belahan bumi lain, kota-kota justru memperparah kualitas hidup manusianya, menantang kehalusan masyarakatnya dan hanya mampu mengeskplotasi peradabannya.

Entah mengapa malam itu terasa berbeda, Jakarta menunjukan kecantikan yang selama ini tidak pernah ia lihat dan sepertinya sengaja disembunyikan oleh kota itu. Kecantikan itu seolah ditampilkan khusus hanya untuk Indira yang sudah terlalu sering naik kereta dan kopaja serta bertemu asap ibukota. Keindahan yang hadir dan bisa ia nikmati serupa bentuk penghargaan untuk perempuan yang tidak pernah lelah menjumpai kemacetan dan kesemrawutan Jakarta.

“Kamu suka seni Dira?”

Pertanyaan Bima menyadarkan lamunan Indira.

“Aku suka lukisan.”

“Picasso or van Gogh that you like the most?” Bima berusaha mengingat nama pelukis terkenal yang pernah ia baca di ensiklopedia.

I don’t know exactly,” tidak mungkin ia menyebut Candra sebagai pelukis favoritnya, seniman gila itu pasti akan besar kepala jika mengetahuinya, “Maybe da Vinci.”

Seniman renaissance dengan karya Monalisa yang paling terkenalnya itu terlintas dalam benak Indira.

You know i envy with Italy,” ujar Bima menyebut tempat kelahiran da Vinci, “Semua orang di kota-kota itu seniman.”

Indira tersenyum mendengar alasan yang diutarakan Bima.

Apa yang kamu suka dari seni?" tanya Indira.

“Sejujurnya aku hanya dipaksa untuk suka,” jawabnya tertawa, “Tapi aku suka arte povera.”

Hal yang dikagumi Bima merupakan ‘seni yang miskin.’ Konotasi miskin dalam arte povera mengacu pada penggunaan bahan baku yang digunakan. Bukan cat untuk lukisan, bukan pula marmer untuk ukiran melainkan bahan alternatif yang biasa ditemui di lingkungan seharian seperti kardus, kain hingga cangkang telur.

“Sudah bosan dengan hidup kaya dan kamu menjadikan kemiskinan sebagai hiburan?”

“Kurasa begitu,” jawab Bima.

“Of course not, that’s just the way you think,” sambung Bima membantah perspektif Indira, “Menjadi kaya itu kutukan.”

“Aku mau dikutuk jadi kaya.”

Lihat selengkapnya