Bayaran yang ia terima sebagai seorang muralis dadakan tidak begitu banyak. Mungkin hanya nol sekian persen dari total pajak daerah, tapi penghasilan itu cukup membuat Candra memiliki uang untuk membeli peralatan melukisnya. Tidak tangung-tanggung, ia membeli sepuluh kanvas dan enam kaleng cat dengan warna yang berbeda-beda, tidak hanya hitam putih.
“Kalau digabung ini bisa jadi kanvas ukuran besar.”
“Buat menyaingi billboard di jalan?”
“Buat menandingi baliho partai.”
Mungkin jika ia menjadi calon legislatif, ia tidak akan pergi ke studio foto untuk dicetak di baliho. Melainkan Candra akan melukiskan potret dirinya, tak lupa disertai peci dan gelar haji.
Indira membantu Candra membawakan kanvas dan alat-alat lukisnya. Mereka berjalan diantara kios-kios pedagang yang menjajakan berbagai macam jenis kebutuhan. Puluhan kilo Ikan-ikan segar nampak baru datang dari pengepul. Dilihatnya juga beberapa ikat kangkung dan bayam yang sebagian layu karena sepi pembeli. Keduanya melangkahkan kaki menyusuri pasar, melewati stasiun kereta hingga ke bagian ujung pasar.
Gerbong-gerbong tua yang biasa membawa Indira dan Candra ke tujuan yang berbeda itu dipenuhi lalu-lalang penumpang. Kursi-kursi di dalam kereta terisi penuh. Kursi yang disediakan khusus untuk penyandang disabilitas juga diduduki oleh penumpang. Indira selalu merasa kursi-kursi itu tidak tepat sasaran, sebab mereka yang menggunakan kursi roda tetap saja kesulitan untuk masuk ke dalam gerbong kereta.
“Mungkin stasiun kereta hanya dirancang untuk manusia yang punya kaki dan mampu menggunakan kakinya.”
“Dunia memang tidak pernah adil, ” sahut Indira
Jakarta bukan kota yang ramah untuk penyandang disabilitas, begitu yang Indira lihat. Jakarta juga menjadi kota di mana kesenjangan terlihat nyata. Tepat di balik gedung-gedung tinggi sekitar pasar, perempuan itu masih suka menjumpai mereka yang menggantungkan nasib bawah jembatan.
“Mau kemana sih? Aku iya-iya aja lagi tadi,” keluh Indira. Seharusnya ia tadi mengintrogasi Candra terlebih dahulu sebelum akan mengajaknya pergi ke suatu tempat.
“Kamu mau survey tempat baru buat jualan lukisan?”
Pandangan Candra mengarah pada sebuah rumah makan yang ramai dikunjungi pembeli, “Kalau aku jualan lukisan di Rumah Makan Padang gimana?”
“Nanti lukisan kamu beralih fungsi jadi nampan.”
“Orang Padang itu punya keahlian khusus buat angkat banyak piring sekaligus pake tangan.”
“Ya karena mereka ga punya nampan.”
***
Setelah menyusuri jalan, melewati gang dan kios-kios pedagang, mereka tiba di depan gedung yang sedang dalam tahap pembangunan. Tidak terlihat pekerja proyek di tempat itu, hanya terlihat dua mobil beko, alat-alat berat dan bahan-bahan bangunan yang belum digunakan. Bagian depan gedung itu ditutupi dengan dengan pagar seng dan digembok rantai.
“Ga cuman vandalisme, ternyata kamu emang ahli di banyak kegiatan ilegal.”
Indira melipat kedua tangannya, ia melihat Candra yang sedang berusaha membuka gembok yang terkunci.
“Kepala proyek disini udah kenal sama aku. Pas aku bilang melukis disini bisa dapat banyak inspirasi apalagi kalau malam, jadi dia kasih duplikat kuncinya deh.”
“Aku curiga ada unsur pemaksaan.”
“Sebelum menilai orang innocent kaya aku, seharusnya kamu pakai azas praduga tak bersalah,” bela Candra.
“Atau jangan-jangan ada perjanjian yang bisa mengancam dan merugikan satu pihak sedangkan pihak lainnya mendapat keuntungan berkali lipat.”
Kepala proyek itu berhutang budi pada Candra, karena ia sempat menggagalkan pencurian bahan bangunan di tempat itu. Ia juga sebenarnya merasa tidak enak saat menolak lamaran kerja Candra, karena , menurutnya lelaki itu tidak punya keahlian untuk mengerjakan konstruksi bangunan. Jika tempat itu bisa membantu Candra untuk terus melukis dan tidak kehilangan pekerjaan, rasa bersalahnya sedikit termaafkan.
“Kamu pernah daftar kerja disini?”
“Iya. Karena dewi inspirasi aku lagi marah, jadi susah melukis dan ga ada kerjaan. Tapi katanya tangan seniman terlalu lembut. Ga cocok buat aduk semen.”
“Cocoknya pegang kuas dan kanvas aja?”
“Bukan,” ia menggeleng.
Candra menjawab pertanyaan Indira sambil mengelus lembut kepala perempuan itu. Si pemilik kepala nampak tidak suka, Indira yang keras kepala itu sepertinya memang tidak cocok dengan hal yang lemah lembut.
“Emangnya aku kucing?”
Ia segera menghempas tangan Candra agar menjauh dari kepalanya.
“Oiya kamu kan macan.”
Indira memukul Candra dengan tumpukan kanvas yang dibawanya. Lelaki itu mengaduh kesakitan sambil memegang bahunya, namun Indira tidak peduli.
“Emangnya boleh ke atas? Bukannya masih tahap pembangunan ya? Kalau nanti tiba-tiba roboh gimana?”
“Dinaiki beban apapun kuat kok, kecuali kalau pengaruh berat kamu itu karena banyak dosa kayanya sih ga bisa naik kesini.”
“Untuk mengurangi berat aku, nih kamu yang bawa.”
Indira memberikan tumpukan kanvas yang sedari tadi ia pegang kepada Candra.
“Dir, tangan aku kan cuman dua,” bujuknya pada Indira, “Kamu tahu ga menolong orang itu bisa mengurangi dosa loh dan dapat pahala juga. Belum beramal kan hari ini?”
“Udah nih. Aku udah sedekah pake senyum,” ujarnya sambil menarik dua sudut bibirnya dengan terpaksa. Ia pun tak lupa menunjukan giginya sekian detik. Perempuan dengan senyum joker itu meninggalkan Candra. Ia tidak peduli jika lelaki itu harus membawa peralatan lukisnya sendiri.
Terdapat dua jalur untuk menaiki bangunan itu, lewat tangga atau lewat jalan untuk mobil. Indira memilih jalan yang kedua, sedangkan Candra lewat tangga. Lelaki itu masih mencari tali untuk mengikat kanvas-kanvasnya agar mudah dibawa. Ia melihat Indira sudah berjalan jauh dan meledeknya.
“Awas nyasar Dir,” teriaknya dari bawah.
***
Indira tiba lebih dulu di lantai empat, sebenarnya ia tidak tahu Candra akan mengajaknya ke lantai berapa. Namun ia hanya penasaran dengan konstruksi bangunan itu hingga ia melangkahkan kakinya menuju lantai teratas. Jika Candra tidak membawanya ke bangunana itu, ia tidak tahu akan ada gedung parkir vertikal di sekitar rumahnya.
Dari ketinggian itu pandangannya melihat raut wajah ibukota yang sibuk dan tampak muram. Langit pun cemberut seharian, namun tidak menghalangi penjual es yang menjajakan dagangannya. Sayup-sayup klakson terdengar, suaranya yang menderu bercampur dengan suara bising knalpot motor yang sudah dimofidikasi. Atap-atap rumah dengan genteng berwarna oren kehitaman ditutupi oleh jemuran yang tak kunjung kering.
Tidak lama kemudian Candra tiba di lantai empat dengan nafas yang terengah-engah.
“Banyak banget bawaanya kaya mau pindah lapak,” tawanya melihat Candra yang membawa kaleng cat, kanvas dan dua botol minuman. Lelaki itu nampak sedikit kelelahan karena harus membawa banyak peralatan lukis.
“Pantas aja kamu ga cocok kerja disini, naik empat lantai aja udak kaya abis naik gunung.”
“Tadi aku abis vertical running, pemanasan buat jadi atlet lari olimpiade.”
Sebotol minuman sudah ia teguk habis. Candra kembali membuka botol kedua. Saat Indira melihat ke arahnya, ia pura-pura ingin meminum kembali