Dibandingkan membeli senar harpa di toko musik yang harganya lebih mahal, ia lebih memilih untuk membeli senar di bengkel musik. Letak bengkel musik itu dekat stasiun dan sedikit tersembunyi di dalam pasar. Aroma tidak sedap tercium saat ia menyusuri jalanan yang becek dengan tumpukan sampah menggunung di kanan dan kirinya. Dilihatnya anak-anak jalanan yang menjual plastik dan para kuli panggul yang tidak peduli beban seberat apapun di punggungnya.
Interior bangunan itu tidak terlihat seperti bengkel musik dari depan. Bel yang menggantung di depan pintu berbunyi saat Harum masuk ke tempat itu. Dilihatnya seorang pria nampak terkejut dan terbangun setelah mendengar suara bel, ia sedang mencuri waktu untuk tidur siang.
Aroma kayu yang tercium kuat membuat Harum ingin berlama-lama di tempat itu. Kapan lagi ia bisa melihat langsung proses pembuatan biola selain di bengkel musik yang sedang ia kunjungi. Serbuk-serbuk kaya nampak berserakan di tempat itu. Harum mengamati pengrajin alat musik yang sedang memastikan biola yang ia buat menghasilkan lekuk yang sempurna, berkali-kali ia menyerutnya dengan alat khusus.
"Senar biola?" tanya penjaga toko itu. Wajah kantuknya masih terlihat jelas, membuatnya tidak fokus dengan permintaan Harum.
"Senar harpa," jawabnya cepat untuk mebenarkan.
Pria itu masih belum juga menemukan senar yang diminta oleh Harum dan malah menemukan kotak-kotak yang berisi senar gitar.
"Senar harpa di etalase kedua, bukan disitu," teriak pria paruh baya yang sedang membuat biola.
"Kenapa dipindahkan?"
"Biasanya juga memang disimpan disitu," jawabnya kesal seperti ingin melemparkan stik drum ke kepala lelaki itu.
Setelah mendapatkan senar harpa yang ia mau, Harum segera membayarnya. Penjaga toko itu ternyata bukan hanya tidak tahu letak senar harpa tapi juga ia tidak tahu harganya. Pria paruh baya itu kembali berteriak, suaranya tidak terdengar jelas karena bunyi mesin pemotong kayunya yang berisik.
Harum hanya tersenyum melihat itu, berharap tidak ada stik drum yang akan melayang. Ia sebenarnnya ingin melihat proses pembuatan biola sampai selesai, namun waktunya tidak cukup. Suara bel kembali berbunyi saat ia keluar dari tempat itu. Chrysanthemum kering yang dirangkai melingkar, menghiasi bel yang menggantung di pintu. Hiasan kecil itu mampu memberikan kesan rustic pada bengkel musik di tengah pasar itu.
Perempuan itu kembali melihat senar yang dipegangnya, memastikan bahwa itu memang senar harpa dan bukan senar gitar ataupun senar biola. Ia takut penjaga toko memberikan senar yang salah, tapi untungnya hanya prasangkanya saja yang salah. Dengan segera Harum memasukan senar yang baru dibelinya ke dalam tasnya.
Suara klakson mobil yang terdengar nyaring mengarah padanya, ia tidak sadar berjalan sedikit ke tengah. Harum segera menepi membiarkan truk kuning sampah itu lewat lebih dulu. Dari kejauhan, pandangannya melihat seorang yang tidak asing dan sepertinya pernah ia lihat tapi entah dimana.
“Si eksekutif muda dan kekasihnya,” gumamnya ketika mengingat pernah melihat mereka berdua di tempatnya bekerja.
Si eksekutif muda duduk bersebelahan dengan perempuan yang juga dilihatnya kemarin. Di hadapan mereka, seorang pelukis yang sedang tidak memegang kuas melainkan benda kecil berwarna hitam. Mereka asyik berbincang seperti perjumpaan tiga sahabat lama. Entah apa yang membuat si pengusaha kaya itu berada di pinggiran pasar.
Harum kembali berjalan menyusuri stasiun, tidak biasanya ia naik kereta untuk pergi bekerja. Jika bukan karena lupa bahwa hari ini ia harus masuk lebih awal, mungkin ia akan lebih lama di bengkel musik itu. Suasana stasiun yang ramai membuat ia tidak tahu gerbong mana yang harus dinaiki. Jam yang menggantung di stasiun menunjukan hampir pukul dua, sepuluh menit waktu yang harus ia tempuh agar bisa sampai tepat waktu.
"Keretanya tadi baru aja berangkat, tunggu aja satu jam lagi."
“Satu jam? Ga ada yang lebih cepat lagi Pak?”
Petugas stasiun itu menggeleng.
Harum memilih untuk duduk di peron stasiun, bukan untuk menunggu satu jam melainkan untuk berpikir. Dengan terpaksa ia akan menggunakan jatah bolosnya hari ini. Berharap atasannya tidak marah dan memaklumi izinnya kali ini. Padahal sejak kemarin para pegawai kafe itu sudah diperingatkan untuk datang lebih awal karena ada acara penting yang akan diselenggarakan di tempatnya bekerja.
Waktu memang seringkali menjadi teman sekaligus musuhnya. Tapi ia berusaha tidak peduli, waktunya yang sudah berlalu tidak akan kembali. Mungkin senarnya yang putus kemarin bukan sebuah kebetulan, melainkan memang bertujuan agar ia hari ini dapat beristirahat. Jemarinya sudah kebas, tubuhnya sudah sering terkena angin malam saat pulang bekerja. Lagu yang biasanya ia dengar seharusnya bukan lagi Mariah Carey melainkan lagu Begadang-nya Rhoma Irama.
Langkah kaki perempuan itu kembali menyusuri stasiun menuju pintu keluar. Pandangannya tertuju pada seorang pengamen yang memakai blangkon dan pakaian khas Jawa, tidak biasanya ia melihat hal itu di Jakarta. Lagu yang dimainkannya Bengawan Solo. Alunan itu membuatnya kembali mengingat masa-masa saat pertama kali ia bermain harpa. Seseorang pernah bilang padanya, Bengawan Solo bukan untuk mengenang kesedihan, melainkan peradaban pernah hidup di sepanjang alirannya.
Langkah kakinya tidak lagi terburu-buru menuju pintu keluar. Ia berhenti sejenak, mendengar lagu itu selesai dimainkan. Irisan kenangan yang sudah lama terkubur itu muncul kembali dalam benaknya.
***
Tidak ada menu keadilan hari ini, sepiring keputusan terpaksa ditelan. Sidang berjalan alot, Indira menganggap jaksa penuntut umum hanya membacakan dalil dan dalih yang memberatkan kliennya. Tim advokasi Arman yang diketuai oleh Indira sudah berupaya untuk melakukan pembelaan disertai rangkaian bukti yang validitasnya tidak perlu diragukan, namun hal itu dianggap tidak meyakinkan dan ditolak dalam perisidangan.
"Semua bukti sudah saya tunjukan, kamu pasti lebih paham mengenai hal ini. Saya percayakan kamu untuk memenangkan sidang selanjutnya," tegas Armand pada Indira yang ia temui di selasar kantor pengadilan setelah persidangan hari itu selesai.
"Jangan sampai saya menyesal karena salah pilih pengacara seperti kamu."
Indira melihat jelas arogansi yang terpancar pada garis-garis wajah pengusaha kaya itu.
Sebagai High Net-Worth Individuals, Armand merupakan sasaran empuk bagi otoritas pajak. Meskipun memiliki bukti yang kuat untuk melakukan pembelaan, tapi tidak bisa dipungkiri ia memang mengaburkan kepemilikan aset miliknya. Hal itu Arman lakukan menghindari pembayaran pajak yang tinggi.
Sebagian mobil-mobil mewah yang dimilikinya bukan atas nama Arman ataupun nama anak dan istrinya, melainkan kepemilikan mobil tersebut atas nama asisten rumah tangga dan juga supirnya. Para pekerja itu ia anggap loyal, dan tidak akan mengambil alih ataupun mengakui mobil mewah tersebut meskipun kepemilikan itu atas nama mereka.
"Gimana pak rasanya mengemudikan mobil sendiri?"
Setelah persidangan itu selesai, Indira diantar pulang oleh supir pribadi Armand.
"Kalau harus bayar pajaknya mahal, mending saya naik bajaj aja deh," ujarnya pria itu.
Supir pribadinya sudah bekerja lima belas tahun dengan Armand. Walaupun Armand bukan sosok atasan yang ramah kepada bawahannya, tapi entah kenapa pria itu tetap bertahan. Mungkin faktor ekonomi menjadi alasan utama di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
"Kalau Bima jarang pulang ke rumah ya pak?" tanya Indira setelah tadi ia melihat Armand dan Bima menaiki mobil yang berbeda.
"Dia lebih suka tinggal di apartemen, katanya ga suka nginjek tanah."
Indira tersenyum mendengar alasan itu, “Kurang membumi gitu pak?”
“Iya, lebih suka melangit.”
Bangunan pencakar langit yang tinggi menjulang memang cocok untuk orang seperti Bima yang lebih suka melangit daripada membumi. Ia tak perlu membangun pagar tinggi untuk menghindari basa-basi ataupun diusik tetangga kanan kiri. Privasinya dapat terjamin di tempat yang ia bayar mahal itu.
Pindah dari rumah orangtuanya juga menjadi cara Bima untuk membangun batasannya sendiri dengan Armand. Indira bisa melihat jelas sekat pembatas yang tercipta antara ayah dan anak itu.
***
Mobil yang ditumpangi Indira tidak berhenti di depan rumahnya melainkan di sebelah kios pedagang panci. Tidak ada Candra di tempat itu, tidak mungkin Candra sudah tidur padahal waktu masih menunjukan pukul tujuh malam.
Ia melangkahkan kaki, mencoba mengingat jalan yang pernah dilewatinya waktu itu. Penerangan di tempat itu tidak memadai tapi ia tidak peduli. Berbekal ilmu bela diri yang pernah dipelajarinya, tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai serangan yang datang tiba-tiba. Namun ia tidak pernah dilatih untuk melawan binatang, kecuali manusia yang kelakuannya demikian maka tidak ragu untuk ia habisi.
Dari kejauhan, Indira melihat anjing yang menggonggong dan berjalan ke arahnya. Perempuan itu berusaha mempercepat langkahnya namun tidak berhasil. Anjing liar berwarna hitam itu mengejarnya. Indira berusaha berlari cepat untuk menghindari kejaran anjing yang tidak bisa ia jinakan itu. Hak sepatunya yang sedikit tinggi cukup menyulitkannya, tapi ia tidak mungkin melempar sepatu itu agar si anjing menjauh. Jalanan sempit yang berbatu hampir membuatnya terjatuh, beruntung ia segera menyeimbangkan diri.
"DASAR ANJING!" makinya setelah hewan itu tidak berhasil mengikuti Indira saat ia melewati pintu pagar bangunan.