Tidak bisa dipungkiri Bima mampu menjadi endorsement terbesar yang menghubungkan Candra dengan para pembeli karyanya. Popularitas Candra semakin meningkat pesat berkat tangan handal eksekutif muda itu, tawaran datang dari berbagai kalangan yang tertarik dengan karya lukisannya.
Keduanya sering bertemu seperti rekan bisnis pada umumnya, namun ada maksud lain dari Bima. Saat akan pergi ke kios lukis Candra, ia akan menjemput Indira di kantornya untuk menuju tempat yang sama.
"Aku sekalian mau ketemu Candra dan kebetulan lewat tempat kerja kamu."
Alasan klasik itu selalu berhasil, Indira tidak perlu lagi naik kopaja. Ia dan Bima menaiki mobil berwarna hitam dengan desain elegan. Mobil yang dikemudikan Bima itu membelah kota secara diagonal. Menyusuri jalan raya hingga sampai di jalan-jalan yang becek dan berlubang di sekitar pasar.
Yang searah belum tentu bearkhir pada tujuan yang sama. Bisa saja upaya pendekatan Bima untuk merebut hati Indira adalah cara yang salah. Melihat Indira sering diantar pulang oleh Bima, Candra malah senang perempuan itu tidak harus berdesakan di dalam bis tua, tidak juga harus menunggu terlalu lama di halte hingga pulang larut malam.
"Lukisan kamu bisa mengisi pameran lelang, harganya juga pasti jauh lebih mahal," ujar Bima pada Candra.
Lukisan seniman jalanan itu sudah bisa disandingkan dengan karya-karya berbagai seniman lulusan universitas terbaik di dunia. Jika dulu Candra sulit untuk menjual lukisannya, kini karyanya menjadi salah satu yang termahal. Kanvas-kanvas yang dulu berdebu itu kini sudah bisa diadu dengan tawaran yang berharga tinggi. Namun Candra tidak pernah berpuas diri. Sebagus apapun karya seorang seniman, jika ia hanya terjebak dalam keindahan mahakaryanya, maka lukisannya tidak akan pernah berkembang.
***
Belum lama senar harpanya putus, kini Harum tidak sengaja membuat alat musik itu terjatuh. Bagian pilar harpanya patah dan kini ia terpaksa harus membawanya ke toko alat musik untuk diperbaiki. Sebenarnya ia ingin pergi ke bengkel musik, tapi harpa yang berukuran mencapai tiga per empat dari tinggi badannya itu akan sulit untuk dibawa. Mendorongnya dari kafe menuju lift saja membutuhkan tenaga ekstra. Perempuan itu seharusnya menuju lift barang, tapi ia tidak tahu letaknya dimana.
Beruntung lift penumpang tidak dipadati banyak orang sehingga bisa lebih memudahkan Harum. Ia tidak perlu bedesakan untuk meletakan harpanya yang berukuran cukup besar. Harum berusaha untuk menahan pintu lift agar tetap terbuka selama ia memasukan alat musiknya tersebut.
Tangannya sedikit kesulitan menahan lift, beruntung ada orang yang mau membantunya. Tangan lelaki itu memegang pintu lift sehingga Harum bisa mudah memasukan harpanya.
"Thank you!" ucapnya refleks dan menekan tombol menuju lantai ground.
"Don't mention it," balasnya sambil tersenyum. "Aku suka lihat penampilan kamu main harpa."
Harum menatap bingung, namun ia berusaha tersenyum mendengar pujian itu. Ia selalu merasa penampilannya di tempat ia bekerja hanya dinikmati sebagai audio, bukan visual. Tidak mungkin ada orang yang mengingatnya bermain harpa, ia bukan sebagai pemain orkestra dan belum pernah juga tampil di konser pembuka musisi papan atas.
"Kamu suka makan di Cloud 8?"
"Pelanggan tetap."
Harum tertawa mendengarnya, pria yang berdiri disampingnya itu pasti memiliki pengahasilan di atas rata-rata. Kafe berskala besar dengan dilengkapi restoran dan bar yang berada di lantai tertinggi gedung di Jakarta itu bukan semacam rumah makan cepat saji dengan harga yang terjangkau. Pengunjung yang datang biasanya untuk merayakan momen tertentu saja.
"Udah pernah coba semua menu disana?"
"I guess so, tapi sayang ga bisa delivery."
Lift berhenti di lantai empat puluh enam. Pintunya terbuka, seorang berjalan keluar. Kini hanya menyisakan Bima dan Harum di dalam lift yang lengang itu.
"Biar esklusif, kamu emang harus makan di sana," ujarnya seperti seorang sales marketing yang handal.
"Exactly, makan sambil nikmatin orkestra. Such a good combination."
Mendengar Bima menyebut kata orkestra membuat Harum terenyuh. Tidak pernah terlintas dalam bayangannya suatu saat ia bisa menjadi pemain orkestra. Harum tidak terbiasa dengan lampu sorot. Saat memainkan harpa di tempatnya bekerja saja ia berada di posisi belakang. Ia hanya sebagai pengiring lagu, bukan penyanyi ataupun seorang yang bisa menjadi pusat perhatian.
"Bima,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Mungkin nanti kita ketemu lagi di Cloud 8."
"Haruma, panggil saja Harum."
Bima mengernyitkan alisnya mendengar nama perempuan itu, terdengar klasik seperti harpa miliknya.
"Harpa kamu kenapa?"
Harum menujukan bagian harpanya yang rusak, "Patah pilarnya, tidak sengaja jatuh."
"Aku kira kamu mau bawa pulang harpanya, karena udah ga main harpa lagi di Cloud 8."
"Hari ini emang ga main, karena aku harus ke toko alat musik."
"Semoga harpamu baik-baik saja."
"Tenang saja, setelah diperbaiki bunyinya tidak akan berubah menjadi suara gendang."
"I hope so, or it'll be weird."
Tawa mereka memecah keheningan ruangan berukuran sempit itu. Lantai lift terdengar berdenyit saat berhenti di lantai satu, Bima seharusnya turun tapi ia menunggu satu lantai lagi menuju lantai ground. Lelaki itu kembali membantu Harum untuk mengeluarkan harpanya.
"Berat juga ya ternyata."
"Kalau udah terbiasa ngga terlalu beratnya. Thanks for helping me, it means a lot."
"You're welcome, Harum."
Harum tersenyum kepada Bima. Si pengusaha muda yang ia kira arogan ternyata begitu ramah. Ia sudah salah menilai Bima yang sering dilihatnya dari kejauhan.
Senarnya yang putus kala itu membuat Harum melihat Bima, kini pilar harpanya yang patah juga berhasil mempertemukan Harum dengan pengusaha muda itu. Mungkin alunan harpanya sudah bersinkronisasi dengan melodi semesta untuk membuat Harum bisa berbincang dengan Bima. Obrolan yang singkat itu membuat suasana hatinya jadi lebih baik, padahal ia tadi kena teguran oleh atasannya karena hari ini tidak bekerja.
Tidak peduli jika ia harus membawa harpanya yang berat ke toko alat musik. Tidak peduli jika beban hidupnya lebih berat, berpindah dari satu tempat kerja ke tempat lainnya. Bahagianya hadir seperti alunan harpa yang menelisik masuk ke telinganya dan menenangkan segala kegelisahan. Selama ia masih terus bermain harpa, Harum selalu percaya ada seribu damai yang diam-diam menemani langkahnya. Tersembunyi dan tak terlihat, namun Harum bisa merasakannya.
***
Bintang-bintang kuning yang bertebaran dan menyala terang di langit malam Jakarta terekam dalam sapuan-sapuan kuas seniman itu. Lukisan itu baru selesai ia kerjakan. Mahakarya seniman itu mampu menafsirkan pemandangan melalui emosi dalam dirinya. Lukisan itu juga seolah mampu memvisualisasikan kesedihan sekaligus kebahagiaan sang pelukis.
Candra tidak membutuhkan pelukan sebesar dunia. Ia pun tidak perlu tiket undian untuk berkelana menjemput kebahagiannya. Ia hanya ingin tertidur malam ini, berkawan dengan kesunyian tanpa memikirkan apa-apa. Seniman itu menyadari dibalik pencapaiannya kini, ada masa yang dihilangkan, ada kegagalan yang pernah ia arungi sendirian. Ada sakit yang pura-pura tidak ia rasakan dan ada Indira yang selalu hadir sebagai penawar kegelisahannya.
"Jangan lupa cukur rambutmu, seniman tidak harus gondrong," ucap perempuan itu.